Tolak Korupsi sejak Dini

Tolak Korupsi sejak Dini
Selasa, 13 Desember 2022 20:12 WIB

Oleh Yora Syafika Putri*

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya dengan kekayaan alamnya dan juga sumber daya manusianya. Kekayaan yang melimpah yang dimiliki dianggap sebagai jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup bangsa dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya. Namun, hal tersebut hanya bisa diperoleh suatu bangsa tentunya dengan pengelolaan sumber daya yang strategik, transparan, dan juga mengedepankan kepentingan masyarakat luas untuk kemakmuran.

Korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu Corruptus dan Corruption, artinya buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah. Dalam Black Law Dictionary di modul Tindak Pidana Korupsi KPK,

Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya.

Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada sembilan tipe korupsi yaitu:

A. Political bribery adalah termasuk kekuasaan di bidang legislatif sebagai Badan Pembentuk Undang-Undang. Secara politis, badan ini dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.

B. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum.

C. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.

D. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan.

E. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.

F. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.

G. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi.

Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang disebutkan di atas dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:
A. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
B. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.
C. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
D. Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang.
E. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
F. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
G. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:
1. Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan Pasal 20 Ayat (1) sampai (7), yaitu:
2. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
3. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
4. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
5. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) dapat diwakili orang lain.
6. Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
7. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
8. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
9. Melawan hukum baik formil maupun materil.
10. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
11. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
12. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Sebab-sebab terjadinya korupsi diantaranya adalah:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri di banding dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin lama semakin meningkat
2. Ketidakberesan manajemen
3. Modernisasi
4. Emosi mental
5. Gabungan beberapa faktor
Sedangkan menurut S H Alatas, korupsi terjadi disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi,
2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika
3. Kolonialisme
4. Kurangnya pendidikan
5. Kemiskinan
6. Tiadanya hukuman yang keras
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan
9. Perubahan radikal, dan
10. Keadaan masyarakat

Jenis jenis korupsi:

1. Merugikan Keuangan Negara
Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan penyelenggara negara yang melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi.
Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31/1999

2. Suap menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap menyuap terjadi jika transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak. Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa Pasal UU No. 31/1999 dan perubahannya, yaitu:
1. Pasal 5 UU No. 20/2021;
2. Pasal 6 UU No. 20/2021;
3. Pasal 11 UU No. 20/2021;
4. Pasal 12 Huruf a, b, c, dan d UU No. 20/2021;
5. Pasal 13 UU No. 31/1999.

3. Penggelapan dalam Jabatan

Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU No. 20/2001, Pasal 9 UU No. 20/2001 serta Pasal 10 Huruf a, b dan c UU No. 20/2001.

4. Pemerasan

Pemerasan adalah perbuatan di mana petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.[11] Pemerasan diatur dalam Pasal 12 Huruf (e), (g), dan (h) UU No. 20/2001

5. Perbuatan Curang

Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU No. 20/2001

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 Huruf (i) UU No. 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7. Gratifikasi

Berdasarkan Pasal 12B Ayat (1) UU No. 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan Pengadilan Tipikor adalah:
1. Memeriksa,
2. Mengadili, dan
3. Memutus perkara Tindak Pidana Korupsi.
Indonesia memiliki dasar-dasar hukum pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi pedoman dan landasan dalam pencegahan dan penindakan. Salah satunya adalah pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk menjadi penggawa pemberantasan korupsi di tanah air.
Dasar-dasar hukum ini adalah bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi. Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-undang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini penindakan kasus korupsi. Menyadari tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) juga mengajak peran serta masyarakat untuk mendeteksi dan melaporkan tindak pidana korupsi.

Berikut adalah dasar-dasar hukum pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
1. UU No. 3 tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang ini dikeluarkan di masa Orde Baru pada kepemimpinan Presiden Soeharto. UU No. 3 tahun 1971 mengatur pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimal Rp30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Walau UU telah menjabarkan dengan jelas tentang definisi korupsi, yaitu perbuatan merugikan keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun kenyataannya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi di masa itu. Sehingga pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya, Undang-Undang Anti Korupsi bermunculan dengan berbagai macam perbaikan di sana-sini.
UU No. 3 tahun 1971 ini dinyatakan tidak berlaku lagi setelah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Usai rezim Orde Baru tumbang, diganti masa Reformasi, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sejalan dengan TAP MPR tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain:
* Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi
* Komisi Ombudsman Nasional
* Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
dan beberapa lainnya.
Dalam TAP MPR itu ditekankan soal tuntutan hati nurani rakyat agar reformasi pembangunan dapat berhasil, salah satunya dengan menjalankan fungsi dan tugas penyelenggara negara dengan baik dan penuh tanggung jawab, tanpa korupsi.
TAP MPR itu juga memerintahkan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara, untuk menciptakan kepercayaan publik.

3. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Undang-undang ini dibentuk di era Presiden BJ Habibie pada tahun 1999 sebagai komitmen pemberantasan korupsi pasca tergulingnya rezim Orde Baru. Dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN ini dijelaskan definisi soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang kesemuanya adalah tindakan tercela bagi penyelenggara negara.
Dalam UU No. 28 tahun 1999 juga diatur pembentukan Komisi Pemeriksa, lembaga independen yang bertugas memeriksa kekayaan penyelenggara negara dan mantan penyelenggara negara untuk mencegah praktik korupsi. Bersamaan pula ketika itu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman.

4. UU Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo UU No. 31/1999 telah menjadi landasan hukum pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di tanah air. UU ini menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara.
Definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU ini. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dipetakan ke dalam 30 bentuk, yang dikelompokkan lagi menjadi 7 jenis, yaitu:
* Penggelapan dalam jabatan
* Pemerasan
* Gratifikasi
* Suap menyuap
* Benturan kepentingan dalam pengadaan
* Perbuatan curang
* dan kerugian keuangan negara.
5. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Melalui peraturan ini, pemerintah ingin mengajak masyarakat turut membantu pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran serta masyarakat yang diatur dalam peraturan ini adalah mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang Tindak Pidana Korupsi. Masyarakat juga didorong untuk menyampaikan saran dan pendapat untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Hak-hak masyarakat tersebut dilindungi dan ditindaklanjuti dalam penyelidikan perkara oleh penegak hukum. Atas peran sertanya, masyarakat juga akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah yang juga diatur dalam PP ini.

6. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK di masa Kepresidenan Megawati Soekarno Putri. Ketika itu, kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak efektif memberantas tindak pidana korupsi sehingga dianggap pelu adanya lembaga khusus untuk melakukannya.

Sesuai amanat UU ini, KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

UU ini kemudian disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. Dalam UU No. 19/2019 diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK, kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi.

7. UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang menjadi salah satu cara koruptor menyembunyikan atau menghilangkan bukti tindak pidana korupsi. Dalam UU ini diatur soal penanganan perkara dan pelaporan pencucian uang dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagai salah satu bentuk upaya pemberantasan korupsi.
Dalam UU ini juga pertama kali diperkenalkan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

8. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Perpres ini merupakan pengganti dari Perpres No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan pencegahan korupsi.
Stranas PK yang tercantum dalam Perpres ini adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia. Sementara itu, Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) adalah penjabaran fokus dan sasaran Stranas PK dalam bentuk program dan kegiatan.
Ada tiga fokus dalam Stranas PK, yaitu:
* Perizinan dan Tata Niaga
* Keuangan Negara
* dan Penegakan Hukum dan Demokrasi Birokrasi.

9. Peraturan Presiden No.102/2020 tentang tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diterbitkan Presiden Joko Widodo, Perpres ini mengatur supervisi KPK terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Perpres ini juga mengatur wewenang KPK untuk mengambil alih perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani oleh Polri dan Kejaksaan. Perpres ini disebut sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

10. Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi. Pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun juga pendidikan dan pencegahan. Oleh karena itu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan peraturan untuk menyelenggarakan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di perguruan tinggi.

Melalui Permenristekdikti Nomor 33 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi (PAK) di Perguruan Tinggi, perguruan tinggi negeri dan swasta harus menyelenggarakan mata kuliah pendidikan anti korupsi di setiap jenjang, baik diploma maupun sarjana. Selain dalam bentuk mata kuliah, PAK juga bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan kemahasiswaan atau pengkajian, seperti kokurikuler, ekstrakurikuler, atau di unit kemahasiswaan. Adapun untuk kegiatan pengkajian, bisa dalam bentuk Pusat Kajian dan Pusat Studi.

Kegiatan pengajaran PAK ini harus dilaporkan secara berkala ke kementerian melalui Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan.

Cara pencegahan korupsi sejak dini melalui Pendidikan anti korupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi korupsi berupa keseluruhan upaya untuk mendorong generasi mendatang agar mengembangkan sikap menolak secara tegas terhadap setiap bentuk korupsi.

Cara yang paling efektif adalah melalui media pendidikan. Diperlukan sebuah sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi, cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap Tindak Pidana Korupsi. Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan anti korupsi ini sangat penting bagi perkembangan psikologis siswa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor.

Mentalitas anti korupsi ini akan terwujud jika kita secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifkasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan situasi-situasi yang baru.

Pendidikan anti korupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi untuk menolak korupsi sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap perjalanan bangsa kita.

Model penyelenggaraan pendidikan anti korupsi bisa diterapkan dengan tiga cara yaitu:
* Model Terintegrasi dalam Mata Pelajaran
* Model di Luar Pembelajaran melalui Kegiatan Ekstra Kurikuler
* dan Model Pembudayaan atau Pembiasaan Nilai dalam seluruh aktivitas kehidupan siswa.

Oleh karena itu, perlu adanya perubahan baru dalam menyemaikan kebaikan melalui lembaga pendidikan. Perlu komitmen kuat dan langkah konkrit dalam menanamkan nilai kejujuran pada diri setiap generasi muda agar terbentuk pribadi mulia, jujur serta bertanggung jawab dengan segala yang diamanahkan kepada mereka. Dengan demikian, sekolah memiliki tugas besar dalam merealisasikan hal itu. Semua dapat berjalan sesuai harapan apabila ada peran nyata dari pihak sekolah, dukungan pemerintah serta partisipasi aktif masyarakat.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan anti korupsi ini adalah membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi sehingga tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi, dan mengerti sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi, serta menciptakan generasi muda bermoral baik serta membangun karakter teladan agar generasi muda tidak melakukan korupsi sejak dini. ***

*Penulis adalah Mahasiswi Semester 3 Jurusan Hukum Tata Negara, Program Studi Siyasah Syariyah, STAIN Bengkalis

Kategori : Opini
wwwwww