Merasakan Derita Petani Sawit

Merasakan Derita Petani Sawit

Kebun sawit. (foto: hariansib.co)

Rabu, 09 September 2015 01:02 WIB
MEMILIKI kebun sawit dianggap sebagai cara untuk memiliki pendapatan besar dan aman. Banyak warga Sumatera Utara yang berinvestasi di bidang ini. Ada yang membuka kebun sawit hingga keluar provinsi, antara lain Riau, Jambi, Aceh bahkan ke Bengkulu. Mereka tertarik karena kisah sukses petani sawit yang akhirnya memiliki uang banyak untuk membangun rumah, membeli mobil, menyekolahkan anak, dan lain-lain. Apalagi mengurus kebun sawit hanya capek di tahun-tahun awal saja. Setelah tiga tahun, panen sudah berjalan terus, asal sawit tetap dirawat. Memang investasinya tak sedikit, mulai dari membuka lahan, membeli bibit, memupuk dan menjaganya dari hama. Beberapa waktu lalu, berkebun sawit masih sangat layak (feasible) secara ekonomi. Bahkan, pendapatan masih jauh lebih besar dari pengeluaran.

Namun, sekarang kisah sawit sukses agak berbeda. Beberapa bulan terakhir, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus turun. Umumnya, TBS sawit hanya dijual pada level sekitar Rp 450 hingga Rp 800 per kilogram. Di beberapa daerah, ada yang ambruk hingga ke harga Rp 230 per kilogram. Sungguh mengenaskan, untuk biaya panen saja tidak mencukupi. Belum berbicara tentang pupuk dan perawatan.

Biaya panen sawit saat ini sekitar Rp150 ribu hingga Rp 300 ribu per ton. Setiap per satu hektare kebun sawit, paling tidak dibutuhkan sekitar lima hingga sepuluh sak pupuk. Jika harga pupuk Rp 200 ribu per sak, maka biaya untuk itu sudah Rp 2 juta/hektare. Belum termasuk upah tenaga kerja apabila dikerjakan orang lain. Tak heran, ada yang menunda panen karena harga begitu rendah. Jika dibiarkan akan berdampak ke produktivitas sawit ke depan.

Saat ini Indonesia masih merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 1990, produksi sawit Indonesia hanya 22 persen dari produksi dunia, Malaysia 55 persen dan negara-negara lain 23 persen. Data pada tahun 2010 produksi sawit Indonesia melonjak ke level 48 persen, Malaysia 39 persen, sedangkan negara lainnya 13 persen. Ini karena ekspansi lahan besar-besaran yang dilakukan perusahaan perkebunan, baik BUMN, swasta dan asing, serta petani secara perorangan.

Areal kelapa sawit Indonesia pada 2012 sudah mencapai 9.230 juta hektare. Produksi CPO sekitar 28 juta ton, dan nilai ekspor 21.3 juta ton atau 23.8 juta dollar AS. CPO untuk kebutuhan dalam negeri baru sekitar 10 juta ton. Mayoritas industri kelapa sawit Indonesia masih berkutat di hulu. Masih sangat minim yang masuk ke industri hilir, sebagaimana diinginkan pemerintah saat ini.

Pemerintah telah berupaya menahan laju ambruknya harga TBS sawit sebagai akibat turunnya harga CPO global. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution melaunching biodiesel 15 persen (B15) melalui Dukungan Dana Perkebunan Sawit. Mandatori B15 juga menjadi solusi yang efektif untuk menyerap CPO domestik sehingga diharapkan dapat berkontribusi pada kenaikan harga CPO. Pada gilirannya tentu akan menormalkan bahkan menaikkan harga TBS di tingkat petani.

Diharapkan ada tindakan nyata untuk menyelamatkan petani sawit. Berbeda dengan perusahaan perkebunan besar, daya tahannya lebih kuat menghadapi turunnya harga CPO. Pemerintah sebaiknya mendorong BUMN perkebunan membeli harga sawit petani dengan harga yang normal. Artinya, petani tidak terlalu dirugikan jika melepas sawitnya pada harga tersebut. Tentu bagi pemerintah tak terlalu sulit melakukan kajian tentang harga yang pantas untuk TBS per kilogram.

Perlu dikaji juga ekspansi perluasan perkebunan sawit. Apakah luasan lahan sawit saat ini sudah memadai atau lebih dari seharusnya. Jika memang sudah berlebih, sebaiknya diberlakukan moratorium pemberian izin baru. Hal itu sambil menunggu berkembangnya industri hilir CPO yang akan menampung semua produk dalam negeri.

(Mario A Khair)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww