Apa Itu Seorang Hakim

Apa Itu Seorang Hakim
Selasa, 13 Desember 2022 11:36 WIB

Oleh Sukma Dewi Pebriani

HAKIM merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili suatu perkara. Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim adalah penegak hukum dan keadilan yang wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Hakim sebagai pejabat negara yang diangkat oleh kepala negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-Undang yang berlaku. Karenanya, hakim merupakan profesi yang mulia karena hakim dituntut untuk menjalankan kode etiknya dengan profesionalisme. Namun dalam perkembangannya, menjadi sebuah keniscayaan akan terjadi gejala-gejala penyalahgunaan terhadap profesi hakim, yang seharusnya dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum dapat menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 8 UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 Angka 9 UU No.8 Tahun 1981 KUHAP, mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Profesi Hakim adalah profesi yang terbilang sangat mulia. Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 19 dikatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak dapat merangkap jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 31 Ayat (2)). Syarat dan tatacara pengangkatan Hakim pun tidaklah mudah. Ada beberapa syarat dan proses yang harus dijalani, sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim.

Ketika putusan Hakim terbeli, maka runtuhlah keadilan. Dalam menangani suatu perkara, hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Demikianpun, seorang hakim tidak diperkenankan menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 10 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009).

Dalam Islam, seorang Hakim dijanjikan pahala yang besar :
Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Artinya :“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.”
Di lain hadits juga diingatkan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
Artinya :“Barangsiapa yang dijadikan hakim diantara manusia, maka sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau” (HR. Tirmidzi).

Di Mana Hakim Bekerja?
Hakim bekerja di Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi. Karir seorang hakim diawali dari seorang calon hakim atapun menjadi seorang panitera, tahapannya dimulai dari Hakim Pratama – Hakim Pratama Muda – Hakim Pratama Madya – Hakim Pratama Utama – Hakim Madya Pratama – Hakim Madya Muda – Hakim Madya Utama – Hakim Utama Muda dan Hakim Utama.

Hakim juga digolongkan berdasarkan tingkatan pengadilannya seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Saat ini terdapat 4 badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu:
1. Hakim Peradilan Umum
2. Hakim Peradilan Agama
3. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara
4. Hakim Peradilan Militer yang memiliki kewenangan untuk mengadili perkara yang berbeda-beda.

1. Hakim Peradilan Umum
Hakim Peradilan Umum menangani berbagai perkara pidana dan perdata. Tugas utamanya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya. Dalam perkara perdata, hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha menciptakan peradilan yang sederhana dan ringan dalam segi biaya.

2. Hakim Peradilan Agama
Hakim Peradilan Agama menangani perkara diantara orang-orang yang beragama Islam. Tugas utama Hakim Peradilan Agama adalah mencatat dan meneliti berkas perkara yang diterima, menentukan hari sidang, menyidangkan perkara, membuat keputusan atau penetapan, mengevaluasi dan menyelesaikan perkara yang ditangani serta melaksanakan tugas khusus dan melaporkan pelaksanaannya kepada Ketua Pengadilan Agama.

3. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara menangani sengketa tata usaha negara. Tugas utamanya adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan yang termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

4. Hakim Peradilan Militer
Hakim Peradilan Militer melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer. Tugas utama Hakim Peradilan Militer adalah memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI aktif, dimana terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah sebab adanya aturan khusus Undang-Undang akan kepangkatan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Jam Kerja Hakim
Pada umumnya jam kerja hakim adalah sekitar 9-10 jam dalam sehari. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melebihi jam tersebut karena tergantung lamanya jalan sebuah persidangan.

Tugas Seorang Hakim
Hakim memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sebuah perkara yang diajukan dalam persidangan. Pasal 11 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan alasan tidak ada hukum atau hukum kurang jelas. Untuk itu, hakim wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara dalam persidangan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, setidaknya dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim. Tiga orang hakim tersebut terdiri dari satu hakim ketua serta dua hakim anggota. Pada perkara pidana, hakim memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak, serta memutuskan hukuman yang akan dijalani terdakwa. Sementara pada perkara perdata, hakim memutuskan apakah gugatan penggugat diterima atau ditolak.

Cara dan Syarat Menjadi Hakim
1. Pendidikan Strata 1
Bagi kamu yang tertarik untuk menekuni profesi hakim, maka harus memiliki minimal pendidikan gelar sarjana di bidang ilmu hukum, karena perkuliahannya yang mempelajari berbagai sistem hukum terkait kehidupan kemasyarakatan maupun kegiatan bisnis. Kamu juga akan belajar mengenai perundang-undangan termasuk di dalamnya hukum dasar (Konstitusi, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Tata Pidana) hingga hukum internasional dengan cakupan yang cukup luas. Selain itu kamu akan banyak melakukan kajian terhadap berbagai kasus hukum baik secara yuridis maupun normatif. Pendidikan Ilmu Hukum sendiri akan ditempuh dalam waktu 4 tahun.
Info lengkap mengenai Jurusan Hukum dapat dilihat di Ilmu Hukum

Pendidikan Hakim oleh Mahkamah Agung
Terdapat pendidikan khusus yang harus ditempuh untuy menjadi seorang hakim yaitu lulus dari pendidikan hakim yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Bentuknya bukan sekolah, melainkan pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang diselenggarakan oleh internal organisasi Mahkamah Agung.

Syarat-syarat menjadi hakim sendiri tercantum pada Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 yaitu:
1. Warga Negara Indonesia (WNI)
2. Bertakwa kepada Tuhan YME
3. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945
4. Sarjana hukum dan lulus pendidikan hakim
5. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajibannya
6. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun
7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/inkrah
Syarat menjadi hakim tertuang dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Berikut rinciannya:
• Warga Negara Indonesia
• Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
• Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
• Sarjana hukum
• Lulus pendidikan hakim
• Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
• Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
• Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
• Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/inkrah
Selanjutnya, dalam Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, untuk dapat diangkat menjadi ketua dan wakil ketua pengadilan negeri, harus berpengalaman paling singkat 7 tahun sebagai hakim pengadilan negeri.
Bahkan, keahlian yang harus dimiliki seorang hakim adalah:
* Kemampuan berpikir logis
* Kemampuan melakukan analisis
* Kemampuan komunikasi
* Pengetahuan hukum
* Kepemimpinan
* Penguasaan bahasa asing.

Sanksi Jika Seorang Hakim Melanggar Kode Etik
Seluruh sikap dan perilaku hakim harus dituntut menjaga kehormatan dan martabatnya dengan berpedoman pada kode etik yang telah ditentukan. Kode etik menjadi pedoman bagi hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pelanggaran terhadap kode etik akan dikenakan sanksi bagi hakim yang bersangkutan. Tak tanggung-tanggung, sanksi terberat yang dapat dijatuhkan adalah pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH).

Ada 10 prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yaitu:
1. Berperilaku adil
2. Berperilaku jujur
3. Berperilaku arif dan bijaksana
4. Bersikap mandiri
5. Berintegritas tinggi
6. Bertanggung jawab
7. Menjunjung tinggi harga diri
8. Berdisiplin tinggi
9. Berperilaku rendah hati
10. Bersikap profesional. Apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi.
Sanksi atas pelanggaran kode etik hakim diatur dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh hakim pada MA dan pada badan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, termasuk hakim ad-hoc dan pengadilan pajak.

Ada tiga jenis sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik, yaitu:
1. Sanksi ringan
2. Sanksi sedang
3. Sanksi berat.
Tingkat dan jenis sanksi akan diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang, tingkat keseriusan dan akibat dari pelanggaran yang dilakukan.
Adapun sanksi ringan terdiri dari teguran lisan, teguran tertulis atau pernyataan tidak puas secara tertulis.
Sementara sanksi sedang meliputi:
• penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun
• penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun
• penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun
• non-palu (tidak menyidangkan perkara) paling lama enam bulan
• mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah
• atau pembatalan atau penangguhan promosi.
Sedangkan untuk sanksi berat terdiri dari:
• pembebasan dari jabatan
• non-palu lebih dari enam bulan dan paling lama dua tahun
• penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama tiga tahun
• pemberhentian tetap dengan hak pensiun
• atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Selain itu, bagi hakim yang diusulkan untuk dijatuhi pemberhentian tetap dan pembelaan dirinya telah ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim, akan dikenakan pemberhentian sementara berdasarkan keputusan Ketua MA. Sanksi-sanksi ini berlaku untuk hakim karir pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Sementara untuk hakim di lingkungan peradilan militer, penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Jenis sanksi berbeda juga akan diterapkan pada hakim ad hoc. Sanksi untuk hakim ad hoc terdiri dari:
• sanksi ringan berupa teguran tertulis
• sanksi sedang berupa non-palu paling lama enam bulan
• dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Sanksi bagi hakim ad hoc ini sama dengan sanksi yang dijatuhkan untuk hakim agung yang melanggar kode etik.

Terkait sanksi yang telah dijatuhkan, Peraturan Bersama MA dan KY menegaskan, setiap hakim tidak dapat mengajukan keberatan atas keputusan tersebut.

*Penulis adalah Mahasiswi Semester 3 Jurusan Hukum Tata Negara, Program Studi Siyasah Syariyah, STAIN Bengkalis

Kategori : Opini
wwwwww