Pentingnya Menata Sistem Penyiaran di Tengah ”Serbuan” Media Sosial

Pentingnya Menata Sistem Penyiaran di Tengah ”Serbuan” Media Sosial

Sumber foto: https://m.facebook.com/TvMediaSosial.

Rabu, 01 September 2021 08:28 WIB

Oleh Mario Abdillah Khair Saragih*

PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan membawa dampak besar pada perubahan kultur maupun budaya. Kini kita hidup dalam dunia elektronik yang semakin canggih. Di era milenium kedua saat ini, hal yang sangat dirasakan manusia sejak ditemukannya mesin cetak surat kabar hingga era televisi adalah kemajuan teknologi informasi internet.

Hampir semua bidang profesi atau pun perangkat kerja kini sudah terintegrasi dengan layanan internet. Untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi, masyarakat modern saat ini dimanjakan dengan beragam pilihan media yang disertai pula beragam tontonan dan hiburan sepanjang hari melalui internet. Era konvergensi media sudah berakhir dan kini masuk ke era digital journalism disertai dahsyatnya serbuan media sosial.

Makna konvergensi dalam media dapat disimpulkan sebagai penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. Konvergensi media biasanya merujuk pada perkembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan dengan adanya konvergensi jaringan.

Tapi fakta yang tak bisa dipungkiri, kehadiran media sosial benar-benar membuat banyak hal menjadi berubah, tak terkecuali dalam jagat multimedia. Dunia jurnalistik yang bertransformasi ke era digital pun terancam. Keadaan yang nyaris sama juga terjadi di ranah penyiaran. Walau pemerintah dan DPR telah berusaha membahas kesiapan dan aturan migrasi jaringan media televisi ke sistem digital. 

Bagaimana tidak, berdasarkan pengamatan penulis, publik kini lebih banyak ”bermain” di saluran media sosial seperti; YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, dan lain sebagainya. Semua kebutuhan informasi dengan mudahnya didapatkan dari media sosial tersebut. Dan, biayanya juga murah. Padahal berita atau informasi yang muncul di media sosial tersebut belum (tentu) melalui penyaringan dan belum dapat dipastikan kebenaran informasinya.

Hal ini pula yang diingatkan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, tatkala menyampaikan pidato kunci pada acara In House Training Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), di Jakarta, dua tahun silam. (jpnn.com, 2019).

Dalam pernyataannya saat itu, Hidayat mengharapkan lembaga penyiaran mampu menjadi media penyeimbang untuk meluruskan berita-berita yang kurang benar, namun telanjur dikonsumsi masyarakat. ”Kalau ada lembaga-lembaga penyiaran yang berani mengabarkan berita bohong yang rugi tentu kita semua. Masyarakat sudah mendapatkan berita yang tidak benar, kadang menimbulkan keresahan dan akhirnya orang tidak akan percaya dengan kabar-kabar yang disampaikan lembaga penyiaran,” tandasnya.

Dalam pengamatan penulis, dengan semakin maraknya informasi palsu dan berita sumir di media massa, maka tidak heran jika muncul semacam terminologi ”bahwa di surat kabar yang dapat dipercaya hanya berita dukacita, sedangkan di televisi dan radio hanya kumandang azan”. Karena kedua segmen itulah yang tidak pernah mengalami kepalsuan.

Menyimak pendapat pimpinan MPR di atas, penulis berpendapat, kehadiran lembaga penyiaran masih signifikan sebagai garda terdepan untuk meluruskan informasi dan mengabarkan sebuah berita. Walau begitu, dalam pandangan penulis, perlu penataan sistem lewat regulasi mengingat era digital disertai gempuran media sosial ini menjadi tantangan baru di tengah keniscayaan teknologi.

Benar, saat ini ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Di dalamnya mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan penyiaran yang berlaku di Indonesia, yang mencakup tentang asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional, mengatur tentang ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia, jasa penyiaran, Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, Lembaga Penyiaran Komunitas, Lembaga Penyiaran Asing, stasiun penyiaran dan jangkauan siaran, serta perizinan dan kegiatan siaran. Namun, menurut hemat penulis, regulasi tersebut sudah tidak ”memadai” dengan kondisi kekinian.

Malah, tokoh sekelas Karni Ilyas, sejak 2005 sudah lantang menyatakan jika Undang-undang Penyiaran Nomor 32/2002 masih banyak kelemahan. Ketika berbicara soal itu, dia menjabat Ketua Asosiasi Pertelevisian Swasta Indonesia (ATVSI).

Menurut Karni, seperti dinukil dari liputan6.com, pemerintah tidak konsisten. Dalam peraturan sebelumnya, televisi swasta harus berkedudukan di Jakarta dan bersiaran secara nasional. Namun, sekarang televisi swasta mesti bekerja sama dengan televisi lokal. Padahal, jumlah televisi lokal di Tanah Air tidak mencukupi untuk sepuluh televisi swasta yang telah bersiaran secara nasional. Masalah besar lain yang dihadapi televisi swasta adalah tingginya biaya pembangunan jaringan di berbagai wilayah.

”Satu stasiun harganya satu juta dolar [Amerika Serikat]. Jika membangun lagi, apa ada penduduk atau pengusaha yang mau join mendirikan perusahaan terbatas dengan kami di daerah tersebut?” ujar pria yang sejak bergabung di tvOne akrab disapa Bang One itu.

Dorongan perlu dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 juga datang dari akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando. ”Dalam pandangan saya, bila memang Undang-Undang Penyiaran ini ingin disesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan lahirnya perkembangan-perkembangan baru yang saya sebutkan, yang harus dilakukan adalah penulisan ulang Undang-Undang Penyiaran," ujar Ade Armando yang dihadirkan sebagai ahli dalam pengujian Undang-Undang Penyiaran secara daring di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/11/2020). (antaranews.com, 2020).

Sekadar mengingatkan, penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. (Citra Umbara, UU Penyiaran, 2007).

Menjadi miris melihat banyak anak bangsa semakin akrab dengan media sosial yang aksesnya sangat mudah diperoleh. Namun pada bagian lain, instrumen yang bisa menjadi penyeimbang gencarnya ”serangan” media sosial yakni; lembaga penyiaran, belum bisa bertindak lebih ”garang” karena UU No 32 Tahun 2002 tersebut tak kunjung direvisi. Padahal, lewat pembaruan peraturan perundang-undangan penyiaran, kepentingan nasional dapat terlindungi. ***

https://www.potretnews.com/assets/imgbank/05092021/potretnewscom_dcddr_2214.jpg*Penulis, Mario Abdillah Khair Saragih, S.H. adalah pemerhati penyiaran, berdomisili di Pekanbaru.

Kategori : Opini
wwwwww