Dulu Oposisi, Sekarang Berkomposisi

Dulu Oposisi, Sekarang Berkomposisi

Ilustrasi/INTERNET

Minggu, 27 Desember 2020 15:22 WIB

Oleh Ofika R Julias*

KEKUASAAN merupakan tujuan utama dari adanya partai politik. Kursi kekuasaan yang begitu sedikit, sedangkan manusia begitu haus akan kekuasaan begitu banyak membuat perbuatan kekuasaan semakin tidak sehat.

Disebutkan dalam buku Filsafat Politik karya Henry J. Schmandt, bahwa semua organisasi cenderung mengonsentrasikan kekuasaan ketangan sekelompok kecil kaum elite. Di sinilah letak dari pergolakan politik di Indonesia yang tidak sehat terasa rasional. Dengan hanya dipentingkannya para elite politik oleh partai membuat masyarakat seakan tidak dihargai kontribusinya di bidang politik.

Begitu halnya fenomena yang terjadi di dalam perpolitikan di Indonesia. Tatkala Presiden Joko Widodo menunjuk rival oposisinya Prabowo Subianto sebagai salah satu menteri di kabinetnya.

Seperti yang kita ketahui, Prabowo Subianto merupakan rival politik Jokowi selama Pilpres 2014 dan 2019. Pada saat ini Prabowo Subianto telah menjadi sekutu politik Jokowi yang akan bekerja sama dalam kabinet pemerintahan.

Tidak hanya berhenti di situ. Publik dihebohkan lagi dengan cara Jokowi menunjuk pasangan Cawapres Prabowo Subianto yaitu Sandiaga Uno sebagai pengisi kementerian pasca-reshuffle kabinet sebagai Menteri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Tentunya hal ini mengejutkan para pendukung dan simpatisan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. Pertama dihebohkan dengan masuknya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di kabinet barunya Jokowi, kemudian saat ini disusul oleh pasangannya yaitu Sandiaga Uno sebagai Menteri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata.

Sangat unik dan menarik sekali perpolitikan di Indonesia saat ini. Ketika rival berat oposisi sudah melebur di dalam satu komposisi sebagai koalisi. Di saat yang bersamaan, ini membuat kekecewaan bagi para pendukung dan simpatisan pasangan Prabowo-Sandi terlebih lagi bagi kaum yang terlalu fanatik dan anti-Jokowi.

Mereka menaruh banyak harapan untuk tetap selalu ada dalam mengontrol dan mengkritik segala kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat atau merugikan kaum marjinal. Namun, harapan itu telah sedikit sirna disaat sebuah harapan diluar penalaran.

Kini posisi kaum partai oposisi sudah dapat dihitung dengan jari. Menjadi problem yang besar bagi kita disaat banyaknya para koalisi dibandingkan oposisi, terlebih lagi oposisi yang sudah melebur didalam koalisi dalam payung yang sama.

Hal ini dikarenakan antara peran koalisi dan oposisi menghidupkan nuansa demokrasi yang ideal di negara Indonesia sebagai penyeimbang berbangsa dan bernegara meskipun memiliki peran yang berseberangan. Posisi koalisi dan oposisi ditentukan juga oleh ideologi dan visi misi partai politik.

Dengan kata lain, koalisi ataupun oposisi dibangun karena dasar kesamaan atau perbedaan ideologinya. Idealnya dalam sistem kepemerintahan harus memiliki setidaknya 60 persen koalisi dan 40 persen oposisi di luar kepemerintahan. Dikarenakan pihak oposisi memiliki kemampuan lebih fleksibel dan objektif dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar check and balance parlemen berjalan dengan baik. Maka kehadiran oposisi pada saat ini sangatlah penting untuk kestabilan negara.

Perpolitikan di Indonesia saat ini mengajarkan kita bahwa perpolitikan perebutan kekuasaan lebih berperan aktif dibandingkan tujuan kesejahteraan. Sejatinya politik berjalan secara dinamis, realistis dan sedikit elastis. ***

*Penulis adalah Alumni ISPE (INDEF School of Political Economy)

Kategori : Opini
wwwwww