Media Massa bukan Tempat Propaganda Massa

Media Massa bukan Tempat Propaganda Massa

Gambar hanya ilustrasi. (INTERNET)

Minggu, 05 Januari 2020 16:42 WIB

Oleh Ofika R Julias*

MEDIA massa merupakan alat informasi bagi masyarakat, baik berupa kejadian maupun konflik yang terjadi. Media juga menyediakan beragam informasi mengenai ekonomi, sosial-budaya, pendidikan bahkan politik.

Tidak hanya sebatas itu, media massa juga sebagai wadah untuk menampung segala opini-opini masyarakat yang bersifat urgen kepada pemerintah dalam menyampaikan segala bentuk aspirasi demi kemajuan bersama.

Media massa juga merupakan sumber ilmu pengetahuan bagi masyarakat untuk mengetahui segala bentuk informasi atau kejadian-kejadian yang baru. Masyarakat yang awam akan sebuah pengetahuan akan terdorong oleh segala bentuk opini yang dipublikasikan oleh media.

Oleh karena itu, media sebagai sarana central rujukan bagi masyarakat harus menyediakan informasi bukan provokasi, sebagai referensi bukan bentuk intervensi, dan sebagai sarana bukan untuk menjadi bencana.

Sebagaimana identitasnya sendiri, media massa juga harus berjalan akan kepada koridor yang sepantasnya dilakukan untuk masyarakat. Di sini kita menganalogikan media itu seperti kitab suci umat beragama.

Dari perihal inilah, begitu pentingnya sebuah media massa bagi masyarakat untuk menjadikan sandaran pengetahuan dan bersifat kepada kepentingan individu maupun kelompok bagi masyarakat.

Sebagaimana harapan masyarakat kepada media sebagai pusat informasi kini telah padam, media yang diharapkan sebagai acuan dan rujukan kini lebih mengarahkan masyarakat kepada bentuk opini pembelaan politik. Sehingga informasi yang dipublikasikan oleh media merupakan seperti dukungan maupun cacian untuk setiap yang menjadi saingannya.

Bahkan publik yang tidak paham akan sebuah problem tersebut telah didorong untuk ”mengaminkan” info yang telah di-publish. Acapkali kita temukan media tidak sinkron menyediakan sebuah opini yang telah dipaparkannya. Malah, antara media satu dan media yang lain saling ”sikut”.

Bagi pihak tertentu, hal ini (mungkin) menguntungkan. Namun bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan, ini akan menjadi ”momok” bagi media massa yang menyediakan berita tersebut.

Sering kita menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam berita yang telah ditebitkan sebuah media. Hal itu dapat kita telaah dari berbagai aspek yang terjadi dalam fenomena dunia politik, akhir-akhir ini.

Tidak bisa dipungkiri, informasi yang disajikan media memengaruhi paradigma masyarakat. Sehingga dengan pengaruh media juga akan melahirkan asumsi-asumsi masyarakat yang buruk terhadap berita yang telah ”diaminkan tersebut. Karena media merupakan tonggak dari apa yang diterima oleh masyarakat.

Banyaknya berita hoaks menimbulkan kerancuan bagi masyarakat dalam menelan informasi tersebut. Bahkan hal ini menyebabkan ”perang” antarmedia.

Seiring berjalannya waktu pada masa era globalisasi, teknologi pun berkembang sangat pesat. Dengan banyak pembaruan-pembaruan yang muncul dan semakin mempermudah antarkelompok maupun individu.

Contohnya saja media sosial, dahulu hanya beberapa yang terkenal seperti Facebook namun setelah itu banyak bermunculan media sosial lainnya seperti Line, WhatsApp, Path, dan Instagram. Sehingga memudahkan kita dalam menyerap segala bentuk informasi yang tersebar.

Seperti yang kita ketahui bahwa media sosial merupakan hak individu namun penggunanya harus pula berpedoman pada aturan-aturan yang berlaku. Jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan terhadap orang lain, seperti berupa berita bohong, fitnah, dan lain-lain.

Bahkan hal serupa telah diatur dalam Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bagaimana kebijakan kita dalam menggunakan media untuk sarana informasi. Undang-undang (UU) ini pada awalnya untuk melindungi kepentingan negara, public, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime).

Saat itu ada 3 pasal mengenai defamation (pencemaran nama baik), penodaan agama, dan ancaman online. Kini, UU No. 18 tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 tahun 2016. Undang-undang yang disahkan pada Oktober 2016, itu dinilai tidak jauh beda dengan UU sebelumnya. Soalnya, salah satu hasil revisi adalah memberi kewenangan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu.

Dengan demikian sebagai makhluk yang cerdas kita harus mampu memfilter segala asumsi-asumsi opini publik di media. Sehingga tidak menimbulkan perpecahan akibat tak bisa menyaring opini yang diberitakan tersebut. Apalagi KUHP telah mengatur hal itu.

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengingatkan kita selaku makhluk sosial agar menggunakan media dengan cara arif dan bijaksana sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang dianggap negatif untuk pribadi maupun kelompok, berbangsa, dan beragama. Fatwa tersebut telah dipaparkan dalam Fatwa MUI No. 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa media sosial merupakan media elektronik, yang digunakan untuk berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum, dunia virtual, dan bentuk lainnya.

Masih dalam fatwa yang sama ditulis, informasi merupakan keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan. Baik data fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun nonelektronik.

Adapun tujuan hukum dari fatwa MUI ialah memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antarumat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.

Setiap umat yang berinteraksi melalui media sosial diharamkan untuk melakukan hoaks, gibah, fitnah, namimah (adu domba), menyebarkan permusuhan, bullying, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait khalayak hukumnya haram.

Tidak hanya pada ajaran agama Islam saja, tentu norma dan tindak perilaku kita sudah diatur oleh pemeluk agama dan keyakinan masing-masing dari setiap agama.

Pada dasarnya setiap agama itu mengajarkan akan pentingnya berperilaku sosial dan menjaga kerukunan antaragama dan masyarakat dengan cara yang baik. Bahkan setiap agama juga mengajarkan bagaimana etika kita dalam bersosial dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, selayaknya kita menyampaikan sesuatu itu tidak menimbulkan kemudaratan bagi orang banyak, dan menyampaikan sesuatu itu berdasarkan fakta dan data yang memang valid untuk disebarluaskan. Kerena pada intinya media massa itu menjadi barometer bagi penerima informasi.

Jika media telah lari akan tugas pokok dan fungsinya, maka akan terjadilah perpecahan antara satu pihak dan pihak yang lainnya. Dan untuk setiap penerima informasi haruslah mentelaah dan mencari lagi kepada sumber yang lain, agar menjadi perbandingan dari setiap informasi yang telah didapat.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempunyai akal dan fikiran untuk bisa menyerap dan menganalisa apa pun yang telah diterimanya. Manusia diciptakan berbeda oleh hewan (binatang) karena manusia mempunyai daya akal untuk berpikir.

Setiap manusia haruslah menjaga hal-hal yang tidak menimbulkan perkara yang berakibat buruk untuk sesama. Serta, bagaimana kita bisa menggunakan media secara produktif yang membuat efek lebih baik, juga untuk menyampaikan bentuk kebenaran. ***

*Penulis adalah Departemen PTKP Badko HMI Riau-Kepri.

Kategori : Opini
wwwwww