SP3 terhadap 15 Perusahaan Terduga Pembakar Lahan Sakiti Warga Riau dan Relawan

SP3 terhadap 15 Perusahaan Terduga Pembakar Lahan Sakiti Warga Riau dan Relawan

Anggota DPD/MPR RI Intsiawati Ayus. (foto: twitter @Intsiawati)

Kamis, 28 Juli 2016 16:42 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Riau Intsiawati Ayus menganggap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Polda Riau terhadap 15 perusahaan yang disangka melakukan pembakaran hutan di Riau mencederai rasa keadilan. Menurutnya, langkah kepolisian tersebut juga tak menghargai para relawan yang berjibaku memadamkan asap. "SP3 ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Intsiawati saat dihubungi Republika, Rabu (27/7/2016). Menurutnya, dari sekian ratus kasus pembakaran hutan, belum pernah ada satu pun kasus yang hasil penegakan hukumnya memuaskan masyarakat.

Intsiawati melanjutkan, pemberian SP3 tersebut juga sama sekali tidak menunjukkan rasa empati kepada para petugas dan relawan di lapangan yang tak mengenal waktu dan mempertaruhkan jiwa dan raga berjibaku memadamkan api. Sebab, pelaku yang menyebabkan kebakaran tersebut bisa dengan mudahnya bebas, lepas, dan ongkang-ongkang kaki.

Sebelumnya, Polda Riau menghentikan penyidikan atas 15 perusahaan yang diduga terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan pada 2015 lalu. Adapun ke-15 perusahaan tersebut adalah PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), dan PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI).

Selain itu, ada juga PT Suntara Gajah Pati (HTI), PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), PT Sumatera Riang Lestari (HTI), PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), PT PAN United (HTI), PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), serta PT Riau Jaya Utama.

Intsiawati berpendapat, sejak dulu proses pidana kasus pembakaran banyak yang tenggelam perlahan tanpa penjelasan. Padahal, seharusnya aparat bisa tegas dalam menindak perusahaan yang terlibat. Sebab, area perusahaan yang terbakar itu jelas menjadi tanggung jawab pemegang konsesi. "Karena, mereka memiliki kewajiban untuk menjaga area konsesinya dari perusakan, termasuk dari kebakaran. Maka, mereka harus bertanggung jawab secara hukum," ucap Intsiawati.

Penanganan kasus kebakaran hutan tersebut, lanjut Intsiawati, merupakan ujian penting komitmen pemerintah Presiden Joko Widodo. Apalagi, rezim pemerintahan sebelumnya telah gagal dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Ia menegaskan, pemerintah harus segera melakukan evaluasi terpadu lintas sektoral. Dengan begitu, pertanyaan-pertanyaan terkait pemberian SP3 tersebut bisa terjawab. "Kerugian akibat kebakaran ini kan tak sedikit, dari berbagai sisi dan sudut, jika dinominalkan, sudah berapa triliun kerugian negara dan masyarakat?" kata dia.

Menurut Intsiawati, pemberian SP3 bisa disebabkan beberapa alasan. Di antaranya instrumen hukum yang lemah, minimnya SDM aparat hukum, kuatnya mafia kehutanan, atau anggaran untuk mengusut kasus-kasus ini tidak tersedia.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Asrul Sani berjanji akan terus mendalami alasan pemberian SP3 yang dikeluarkan Polda Riau. Dia juga berjanji Komisi III akan memberikan perhatian khusus terhadap proses penerbitan SP3 tersebut. "Kita akan minta kajian dan akan didalami. Pada raker yang akan datang, akan ditanyakan ke Kapolri (Jenderal Tito karnavian)," kata Asrul saat dihubungi Republika, kemarin.

Menurutnya, aparat kepolisian terkesan gampangan dalam memberikan SP3 tersebut. Padahal, jika dari sisi hukum pidana tidak cukup bukti, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan tersebut melakukan kesalahan dari sisi hukum administrasi dan hukum perdata. "Ini kan kasus menarik, masa gak ditemukan bukti sekali pun," ucap Asrul.

Meski begitu, Asrul mengimbau masyarakat agar tetap tenang mengingat SP3 secara teknis hukum bukan produk yang final. Artinya, jika ditemukan bukti baru berupa bukti saksi-saksi atau bukti santifik, SP3 tersebut harus dibatalkan.

Di lain pihak, Kabagpenum Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan, ada sebanyak 5.906 hektare luas lahan yang terbakar di Riau pada 2015. Sedangkan, penyelesaian perkaranya sebanyak 15 perusahaan dinyatakan telah di-SP3 dan tiga perusahaan telah diputuskan bebas oleh hakim.

Martinus menjabarkan beberapa alasan yang menyebabkan 15 perusahaan dinyatakan SP3 penyelidikannya. Menurutnya, tujuh perusahaan yang dinyatakan SP3 karena sebagian besar lahannya dikuasai oleh masyarakat. Menurutnya, perusahaan sudah pernah merebut kembali lahan tersebut dengan melaporkan ke Polda Riau, Polres Indragiri Hilir, serta Kementerian Lingkungan Hidup. Juga, sudah pernah dilakukan mediasi, tapi tetap tidak berhasil.

"Jadi, kasus lahan masih bersengketa, kemudian lahan tersebut akan dibangun kebun sawit. Caranya membersihkan lahan dengan membakar lahan tersebut," ujar Martinus saat ditemui Republika di Direktorat Narkoba Mabes Polri, kemarin.

Selanjutnya, tiga perusahaan lainnya mengatakan sudah dicabut izin usahanya. Perusahaan-perusahaan lain juga berkilah kebakaran berasal dari luar area mereka, sudah habis izin usahanya, ataupun lahan yang dikuasai kelompok tani.

Selain perusahaan-perusahaan yang di-SP3, tiga perusahaan yang berkasnya telah P21 dinyatakan bebas oleh hakim, di antaranya PT Langgam Inti Hibrido, PT Palm Lestari Makmur, dan PR Wana Subur Sawit Indah.

Martinus juga mengungkapkan empat hambatan yang dirasakan penyidik dalam upaya mengungkap kasus. Pertama, sukarnya mendatangkan saksi ahli kebakaran dan kerusakan yang berasal dari IPB Bogor. Kedua, lamanya waktu menunggu hasil pemeriksaan TKP kebakaran dari laboratorium IPB Bogor. Ketiga, lokasi kebakaran yang jauh dan sulit dijangkau. Keempat, sulitnya mendapatkan dokumen perusahaan, terutama yang berkaitan dengan perizinan. ***

Editor:
Akham Sophian

Sumber:
Republika.co.id

Kategori : Hukrim, Politik, Riau
wwwwww