Pak Raden alias Pak Nyamuk, Sosok Penting dalam Sejarah Pembangunan Mesjid Ar Rahman Pekanbaru yang Telah Berdiri Sejak Zaman Kolonial Belanda

Pak Raden alias Pak Nyamuk, Sosok Penting dalam Sejarah Pembangunan Mesjid Ar Rahman Pekanbaru yang Telah Berdiri Sejak Zaman Kolonial Belanda

Mesjid Ar Rahman yang berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman, di bawah flyover (jembatan layang) Sudirman-Tuanku Tambusai Kota Pekanbaru.

Rabu, 08 Juni 2016 13:25 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Banyak warga Pekanbaru dan Riau yang tak tahu jika Mesjid Ar Rahman yang berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman, di bawah flyover (jembatan layang) Sudirman-Tuanku Tambusai, ternyata dibangun sejak zaman Kolonial Belanda. Dahulunya, bangunan mesjid ini terbuat dari kayu berbentuk panggung dengan tinggi sekitar satu meter dari tanah berukuran 8 x 8 meter dibangun di atas tanah wakaf oleh warga Kota Pekanbaru zaman dulu secara gotong royong dan dibiayai oleh Raden Sastro Pawiro Djaya Diningrat.

Raden Sastro Pawiro Djaya Diningrat merupakan lurah, sekarang seperti Kepala Desa, di Pekanbaru. Ia memerintah tiga zaman, Kolonial Belanda, Jepang dan Indonesia Merdeka.

Pembangunan mesjid ketika itu, kata Kepala Tata Usaha Mesjid Ar Rahman, H Hasyim, dilakukan mulai tahun 1930-1935. Akhirnya pada tahun 1935, mesjid yang dibangun secara bersama-sama itu rampung.

"Bangunan ini dulunya didirikan pada tahun 1930 dan selesai lima tahun kemudian, 1935. Mesjid yang letaknya persis berada di pusat Kota Pekanbaru ini dulunya merupakan rumah ibadah sangat sederhana. Tanahnya di awal pengerjaan merupakan wakaf dari Raden Pawiro Djaya Diningrat," kata H Hasyim, Selasa (7/6/2016).

Raden Pawiro, tuturya, merupakan keturunan bangsawan Jawa. Selain mewakafkan tanahnya, Rades Sastro Pawiro juga ikut andil dalam pembangunan bersama masyarakat.

"Pembangunan mesjid ini dilakukan secara swadaya masyarakat. Namun Raden Sastro adalah donatur terbesar mesjid ini," jelasnya.

Ketika itu, dinding, lantai, serta tiang masjid, terbuat dari papan biasa beratapkan daun. Masjid Ar Rahman dicat menggunakan oli bekas, sehingga warna mesjid sedikit hitam kecoklatan bergabung dengan warna papan.

Dari bangunan panggung berukuran 8x8 meter, perlahan-lahan seiring bertambahnya penduduk di Pekanbaru, bangunan masjid tak mampu lagi menampung jemaah.

Mesjid Ar Rahman kala itu, kata H Hasyim, karena satu-satunya mesjid di Kota Pekanbaru, maka jemaahnya berasal dari warga sekitar Jalan Sumatera, Cempedak, Pinang, Pepaya, Cut Nyak Dien, hingga A Yani.

Maka pada tahun 1960, cerita H Hasyim, masyarakat kembali melakukan renovasi dengan menghilangkan bagian panggungnya. Tahun tersebut merupakan tahun terakhir dilakukannya renovasi, sebelum akhirnya Wali Kota Pekanbaru, Herman Abdullah, membebaskan lahan di sekitar Mesjid Ar Rahman.

"Sekira 2004, saat itu pemerintah kota membebaskan lahan di sekitar Mesjid Ar Rahman untuk diperluas dan merenovasi mesjid dengan luas bangunan dan tanah mencapai 4.700 m2," kata H Hasyim.

Untuk dananya, kata Hasyim, dari APBD Provinsi dan Kota Pekanbaru. Selesai pembangunan Masjid Ar Rahman pada 19 juli 2009 dan diresmikan Gubernur Riau, Rusli Zainal. Sejak itu seluruh kegiatan dan acara keagamaan Kota Pekanbaru selalu dipusatkan di mesjid ini, bukan di Mesjid Raya, Senapelan, mesjid peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura.

"Makam Raden Sastro untuk saat ini berada di area kompleks mesjid, tepat di belakang bangunan Masjid Ar-Rahman. Raden Sastro juga dikenal dengan nama Pak Nyamuk," tandasnya. ***

Editor:
Mukhlis

Sumber:
Riauonline.co.id

Kategori : Pekanbaru, Peristiwa
wwwwww