Home > Berita > Riau

Koalisi Gempar Desak Menteri BUMN Pecat Direktur Utama PTPN V

Koalisi Gempar Desak Menteri BUMN Pecat Direktur Utama PTPN V
Jum'at, 23 Juli 2021 18:40 WIB
Abdul Roni

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Koalisi Gerakan Masyarakat Pantairaja (Gempar) memberi apresiasi kepada majelis hakim masing-masing; Riska Widiana, Sofya Nisra, dan Ferdi yang menangani kasus gugatan yang dilayangkan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V terhadap masyarakat adat Desa Pantairaja, Kecamatan Perhentianraja, Kampar, Riau.

Apresiasi itu muncul karena menolak sebagian gugatan PTPN V, di antaranya berupa permintaan dari PTPN V kepada masyarakat untuk membayar uang kerugian sebesar Rp14,5 miliar. Tuntutan ganti rugi itu timbul lantaran masyarakat dituduh oleh perusahaan negara ini telah memblokir jalan, menduduki kebun, serta menghalang-halangi aktivitas PTPN V. Namun berdasarkan keputusan sidang pada Rabu (21/7/2021), majelis hakim telah memutuskan bahwa gugatan ganti rugi itu tidak bisa dikabulkan karena tidak adanya perincian penghitungan yang dilampirkan oleh PTPN V.

Koalisi Gempar ini terdiri dari atas masyarakat adat Desa Pantai Raja dan beberapa organisasi nonpemerintah di Riau. Di antaranya Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Senarai, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Pekanbaru.

Berdasarkan informasi yang disampaikan PTPN V selama ini dengan mengatakan mereka rugi atas pendudukan lahan oleh warga, Koalisi Gempar menilai hal itu ternyata tidak benar atau hoaks. “PTPN V harus mencabut berita itu dari seluruh media. Apalagi hal tersebut menakut - nakuti, menggangu psikologi warga, sampai–sampai ada salah satu pimpinan adat yang digugat terkena stroke,” kata Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setyo.

Selain menolak, majelis juga menerima beberapa gugatan PTPN V. Di antara gugatan yang diterima majelis menyebutkan 11 warga yang digugat terbukti melawan hukum berupa menduduki lahan HGU PTPN V. Lalu HGU milik PTPN V dinyatakan sah seluas 2.856,841 hektar yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kampar pada tahun 2001.

Kemudian hasil putusan hakim menyatakan berita acara kesepakatan antara masyarakat Pantairaja dengan direksi PTPN V tanggal 6 April 1999 adalah bukan alas hak milik masyarakat maupun pihak lainnya.

Dengan dikabulkannya gugatan PTPN V tersebut, maka sebanyak 11 orang yang menjadi perwakilan masyarakat tidak terbukti memiliki lahan di atas areal HGU PTPN V. Dan harus membayar seluruh ongkos yang timbul dalam perkara itu sebesar Rp14.657.000.

Menurut koalisi, keputusan hakim itu hanyalah penegasan. Sebab tanpa dibawa ke pengadilan pun, HGU PTPN V yang diterbitkan BPN Kampar memang sah. Namun hakim tidak mempertimbangkan produk hukum terbaru maupun peristiwa hukum terbaru. Misalnya, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan dalam rapat terbatas percepatan penyelesaian masalah pertanahan, mengancam akan mencabut izin konsesi yang dipegang perusahaan swasta atau BUMN yang tidak menyerahkan lahan masyarakat yang masuk ke dalam konsesi.

“Saya sampaikan kalau yang diberi konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini cabut seluruh konsesinya, tegas, tegas. Rasa keadilan dan kepastian hukum harus dinomor satukan. Sudah jelas di situ (masyarakat) sudah hidup lama, di situ malah kalah dengan konsesi yang baru saja diberikan,” kata Jokowi, Jumat (3/5/2019).

Tidak hanya itu, majelis juga tidak memperhatikan Perpres 86/2018 tentang reforma agraria yang hendak menata kembali aset tanah khususnya tanah-tanah masyarakat yang berada di dalam konsesi HGU, termasuk dari kawasan hutan. Bahkan, Gubernur Riau telah membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) untuk merealisasikan Perpres tersebut.

Dalam agenda prioritas atau nawacita Presiden Jokowi, Okto menyebut salah satu agenda prioritas orang nomor satu di Indonesia itu adalah menetapkan alokasi Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA) seluas 9 juta ha. “Hakim mestinya turut mempertimbangkan semangat Presiden Jokowi dalam menata kembali tanah-tanah negara untuk masyarakat yang tujuannya untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Okto.

Salah satu bentuk implementasi Tora yang telah diwujudkan dan memiliki kekuatan hukum adalah pengembalian tanah milik masyarakat adat Sinamanenek yang selama 30 tahun berada dalam HGU PTPN V.

Di sisi lain, pegiat pemantau persidangan yaitu Senarai mengatakan bahwa hal Ini seharusnya menjadi rujukan majelis dalam memutuskan perkara gugatan PTPN V terhadap warga Pantai Raja. “Artinya, perjuangan warga Pantairaja yang menuntut pengembalian tanah adatnya sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi dan tidak dalam rangka melawan hukum,” kata Koordinator Umum Senarai Jeffri Sianturi.

Saat Koalisi Gempar menyampaikan keterangannya kepada potretnews.com, Jumat (23/7/2021) juga memiliki pandangan lain. Mereka juga menilai gugatan yang dilayangkan oleh PTPN V terhadap masyarakat adalah bentuk pemborosan atau telah menghambur-hamburkan uang Negara. Oleh karena itu, Menteri BUMN Erick Thohir harus segera memecat Direktur Utama PTPN V Jatmiko Krisna Santosa. Sebab, tanpa ke pengadilan pun, tidak ada masalah dengan HGU PTPN V. Apalagi, terbukti tidak ada kerugian yang dialami PTPN V atas aksi warga menduduki lahan.

Desakan lain juga keluar dari Wakil Ketua PMII Kota Pekanbaru, Rachdinal Nugraha. Ia meminta Menteri BUMN harus segera mengevaluasi seluruh jajaran direksi yang memberi pertimbangan dalam menggugat masyarakat.

Padahal kata Rachdinal, sebelum Jatmiko menjabat, PTPN V belum pernah menggugat dan mengkriminalisasi warga dengan menggunakan uang negara.

“Maka atas hal itu kami meminta PTPN V mengumumkan semua uang negara yang dipakai selama menggugat warga Pantai Raja. Semestinya, uang tersebut dipakai mensejahterakan masyarakat khususnya di tengah pandemi Covid-19,” tegas Rachdinal ***

Kategori : Riau, Umum
wwwwww