Home > Berita > Umum

DPRD Riau Gelar RDP Bahas Konflik Lahan Masyarakat Pantairaja Kampar dengan PTPN V

DPRD Riau Gelar RDP Bahas Konflik Lahan Masyarakat Pantairaja Kampar dengan PTPN V

Suasana RDP yang digelar Komisi II DPRD Riau terkait konflik lahan masyarakat pantairaja dengan PTPN V.

Kamis, 17 Juni 2021 21:09 WIB
Rachdinal

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Permasalahan sengketa lahan antara masyarakat adat Desa Pantairaja Kabupaten Kampar dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V hingga kini tak kunjung usai. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau menggelar rapat dengar pendapat (RDP) guna membahas persoalan ini di ruangan rRapat Komisi II, Kamis (17/6/2021).

Berdasarkan pantauan potretnews.com, Komisi II DPRD Riau mengundang kedua belah pihak yang bersengketa, yakni masyarakat hukum adat desa Pantairaja, dan PTPN V. Dalam rapat ini, perwakilan masyarakat dihadiri oleh ninik mamak Desa Pantairaja dan Ketua Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adat Pantairaja, serta didampingi oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAM R). Sedangkan dari PTPN V, hadir secara langsung Direktur Utama PTPN V yaitu Jatmiko K Santosa.

Selain itu, pihak lain yang hadir dalam rapat pembahasan konflik lahan ini adalah perwakilan dari Dinas Perkebunan Provinsi Riau, dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau. Sebelumnya Komisi II DPRD Riau juga telah mengundang Bupati Kampar untuk hadir dalam RDP ini, namun pada saat pelaksanaan tak ada satu pun pihak atau perwakilan yang mewakili dari Bupati Kampar itu hadir.

”Sesuai dengan surat dari DPRD Riau tanggal 14 Juni, kita hari ini mengadakan rapat pembahasan terkait konflik lahan antara masyarakat hukum adat Desa Pantai Raja dengan PTPN V,” kata Ketua Komisi II DPRD Riau, Robin P Hutagalung saat memimpin rapat dengar pendapat, Kamis (17/6/2021).

Selanjutnya politisi PDIP ini langsung memberikan kesempatan kepada perwakilan masyarakat untuk berbicara. Dalam kesempatan itu, perwakilan masyarakat yang menyampaikan pendapatnya adalah Gusdianto. Gusdianto menjelaskan bahwa persoalan konflik lahan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun berawal dari tahun 1984 sejak masuknya pola transmigrasi zaman orde baru, dan hingga kini belum usai.

”Saya sedikit menjelaskan agak ke belakang, bahwa di situ kami masyarakat asli Melayu Riau bukan warga pendatang. Kami awalnya membuka lahan, kemudian bercocok tanam seperti menanam padi, kayu manis dan menanam tumbuhan kehidupan lainnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari,” ujar Gusdianto.

Ia menuturkan, bahwa pada saat zaman orde baru waktu itu, lahan milik para orang tua mereka dibabat habis oleh PTPN V tanpa adanya kompromi terlebih dahulu dan tanpa ada ganti rugi.

”Para orang tua kami juga menanam pohon karet, yang hasil dari sadapan pohon karet itu juga menjadi penopang kehidupan sehari-hari bagi kami. Namun tanpa adanya negosiasi atau musyawarah dengan kami masyarakat hukum adat Desa Pantairaja yang lebih duluan membuka lahan, lahan milik orang tua kami dibabat habis,” ucapnya.

”Pohon karet masyarakat ditumbang habis pada waktu itu tanpa satu persen pun kami mendapatkan ganti rugi. Begitu dilihat waktu siang masih ada, tapi ketika malam kebun karet milik kami sudah rata dengan tanah. Apa salah dan dosa kami? Begitu teganya negara kepada kami,” imbuhnya.

Usai perwakilan masyarakat, giliran pihak PTPN V menyampaikan pendapatnya soal konflik lahan tersebut. Pendapat itu disampaikan langsung oleh Dirut PTPN V, Jatmiko K Santosa. Dia berujar bahwa PTPN V pada tahun 1984 hadir di Desa Pantairaja atas penugasan dari negara untuk membangun Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Dan dalam pembangunan itu, ia mengatakan pemerintah tidak ada menetapkan ganti rugi.

”Dengan konsep PIR, Pemerintah pada waktu itu memang tidak ada menetapkan ganti rugi, tapi menyatakan masyarakat ikut serta dalam PIR ini pak,” ujar Dirut PTPN V, Jatmiko K Santosa dalam rapat dengar pendapat tersebut.

Ia menjelaskan bahwa waktu itu PTPN V pada saat rencana awal akan membuka lahan kira-kira 20 ribu hektar, tetapi hanya lebih kurang 10 ribu hektar saja yang diberikan izin. Dimana dari 10 ribu hektar tersebut, Jatmiko K Santosa mengklaim kira-kira 6 ribu hektar telah mengikutsertakan masyarakat dalam plasma.

”Mengikutsertakan masyarakat ini sudah dilakukan seluas 6 ribu hektar, sedangkan di kebun inti ada sekitar 2 ribu delapan ratusan,” jelasnya.

”Namun pada tahun 1999, Direksi pada waktu itu yaitu Pak Situmorang mengatakan kebun masyarakat masuk kedalam kebun inti. Tetapi mohon maaf Bapak-bapak, pernyataan ini tidak didasarkan pada hukum dan kajian yang sesuai atau bahkan selaku manajemen telah mengeluarkan komitmen diluar batas kewenangan bersangkutan,” imbuhnya

Melalui surat tertanggal 4 April 1999 yang menyatakan bahwa ada lahan milik masyarakat seluas 150 hektar, namun pada tahun yang sama di bulan yang berbeda yaitu bulan September tahun 1999, Jatmiko menyampaikan bahwa ada juga berita acara risalah panitia B.

”Dalam berita acara risalah panitia B ini menyampaikan bahwa lahan tersebut dulunya merupakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Umar Kasim. Kemudian lahan yang dimohonkan tersebut adalah tanah Negara bebas, dan terhadap permohonan Hak Guna Usaha (HGU) tidak ada keberatan dan terima, sehingga proses pengajuan itu telah dijalankan,” paparnya.

Berdasarkan fakta – fakta yang ada, maka dalam menyikapi persoalan konflik lahan ini, Jatmiko sebagai Dirut PTPN V berkata lebih memilih menempuh langkah pengadilan. ”Coba deh, kita memilih untuk membawa persoalan ini ke pengadilan, supaya pengadilan melihat jelas. Walaupun secara hukum sebetulnya HGU sudah selesai atau final,” tegasnya.

Kemudian Ketua Komisi II, Robin P Hutagalung menanggapi pernyataan Dirut PTPN V yang mengatakan bahwa Direksi PTPN pada tahun 1999 telah melampaui batas kewenangan, karena telah membuat kesepakatan dan mengakui lahan seluas 150 hektar itu milik masyarakat Desa Pantairaja yang masuk ke kebun inti.

”Jadi ini ada berita kesepakatan tahun 1999 antara masyarakat Desa Pantairaja dengan PTPN V. Jika Bapak Jatmiko mengatakan direksi pada waktu itu melebihi kewenangannya, saya jadi prihatin pak. Yakni, seorang direksi sudah mewakili perusahaan, tapi tiba-tiba dikatakan tidak mewakili kewenangannya, berarti ada persoalan di PTPN V. Direksi ini bukan main-main ini jabatannya, tentu dalam pertemuan pada waktu itu berdasarkan data dan fakta, makanya pihak Bupati Kampar harus hadir dalam rapat ini,” pungkasnya.

Rapat dengan agenda pembahasan konflik lahan ini juga dihadiri oleh beberapa Anggota Komisi II DPRD Riau, di antaranya; Sugianto, Manahara Napitupulu, Yanti Komalasari, dan Sewitri masih belum menemukan titik temu, karena sejumlah pihak tidak hadir. Maka rapat dengar pendapat dengan agenda pembahasan konflik lahan antara masyarakat hukum adat Desa Pantai Raja dilanjutkan pada 24 Juni 2021. ***

Kategori : Umum
wwwwww