Sikapi Konflik Lahan di Pantairaja Kampar, Datuk Seri Al Azhar: Apa Perlu Seorang Presiden Kembali Memerintahkan PTPN V?

Sikapi Konflik Lahan di Pantairaja Kampar, Datuk Seri Al Azhar: Apa Perlu Seorang Presiden Kembali Memerintahkan PTPN V?
Sabtu, 13 Maret 2021 19:27 WIB
Rachdinal

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Jika melihat persoalan masyarakat Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kabupaten Kampar, Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Datuk Sri H Al Azhar menilai PT Perkebunan Nusantara V masih belum banyak berubah.

Hal tersebut ia ungkapkan disaat acara diskusi publik yang diadakan oleh Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada Jum’at (12/3/2021) di Kopi J, Jalan Kamboja, Kota Pekanbaru dengan judul “ Konflik Agraria : PTPN V Gugat Masyarakat Adat Pantai Raja 14 Miliar”.

“PTPN V masih belum banyak berubah, meskipun mereka sudah melakukan hal yang relatif sangat baik dengan masyarakat adat Senama Nenek,” Ujar Datuk Seri H Al Azhar.

Menurutnya bahwa PTPN V tidak menjadikan persoalan Senama Nenek sebagai preseden atau dalam bahasa hukumnya Yurisprudensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan konflik agraria dengan masyarakat adat di titik-titik daerah lainnya di Riau.

“Misalnya di Desa Pantai Raja ini, pertanyaannya apakah perlu seorang Presiden kembali memerintahkan PTPN V agar berbaik-baik kepada masyarakat adat?, ini tentu pertanyaan yang tak mungkin kita jawab,” Sebutnya.

Kata Datuk Al Azhar, PTPN V mempunyai protokol untuk menyelesaikan konflik agraria antara mereka dengan masyarakat adat seperti penyelesaian konflik agraria dengan masyarakat adat Senama Nenek.

“Kalau mereka mau, sebenarnya hal ini bisa juga dilakukan untuk menyelesaikan konflik agraria di Desa Pantai Raja dengan protokol itu, nah pertanyaannya mengapa mereka masih membiarkan persoalan ini terus bergulir dan melakukan akrobat-akrobat hukum?, ini patut disesalkan, sebab kasus Senama Nenek itu tidak dijadikan pelajaran bagaimana seharusnya mereka hidup di kampung orang?, bagaimana mereka berusaha di perkarangan tanah orang?, bagaimana mereka mengembangkan perusahaannya di tanah orang?, meskipun itu tanah milik negara, namun akhirnya kita melakukan perdebatan yang tak berujung,” Kesalnya.

“Kalau lah itu tanah negara, mungkinkah negara mau mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat?, bukankah masyarakat adat juga bagian dari Warga Negara Indonesia?,” Imbuhnya.

Azhar juga kembali mengingatkan perkataan Komisaris Independen PTPN V Budiman Sujatmiko di beberapa waktu yang lalu saat diskusi dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bahwa Budiman Sujatmiko mengatakan telah membriefing seluruh jajaran Direksi PTPN V.

“Budiman Sujatmiko sebagai Komisaris Independen PTPN telah membriefing seluruh jajaran Direksi PTPN V, didalam briefing itu budiman mengatakan bahwa dalam penyelesaian konflik agraria antara PTPN V dengan masyarakat adat tidak direkomendasikan menempuh jalur hukum, karena menempuh jalur hukum selain prosesnya panjang tapi tidak juga mampu memenuhi rasa keadilan, sebab hukum yang dipegang antara PTPN V dengan masyarakat adat itu berbeda, yaitu antara Common Law yang berlaku ditengah-tengah masyarakat dan satu lagi hukum positif yang formal berada diatas kertas,” Cetusnya.

Dalam kegiatan ini juga hadir dari Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Pekanbaru, Andi Wijaya. Ia berpandangan bahwa persoalan antara masyarakat Pantai Raja dengan PTPN V ini bukan persoalan konflik tetapi perampasan tanah adat oleh Negara atau penguasa.

“Yang menarik disini dilakukan oleh Negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ini adalah suatu yang sangat ironis ya, apalagi masyarakat Pantai Raja sekarang dilaporkan dan digugat oleh PTPN V, maka saya berpandangan jika tidak selesainya persoalan konflik agraria dan perampasan tanah adat oleh perusahaan milik negara, secara gamblang saya katakan ini adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia,” Tegasnya.

Kemudian Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo ingin menyampaikan kepada publik agar tidak salah memandang terkait persoalan sengketa lahan antara masyarakat Pantai Raja dengan PTPN V.

“Kita ingin menyampaikan kepada publik bahwa kalau melihat persoalan ini, siapa yang dirampas?, siapa pula yang digugat?, dan siapa pula yang dilaporkan ke penegak hukum?, kalau dilihat dari tuntutan PTPN V ini saya jadi merinding, sebab PTPN V menggugat masyarakat sebesar Rp14,5 Miliar, padahal kan tanah masyarakat yang dulunya mereka ambil seluas 1.013 hektar. Kalau dibalik berapa ya keuntungan PTPN V selama ini meraup keuntungan dari tanah yang mereka rampas itu dulu?,” Pungkasnya.

Selain dihadiri Ketua MKA LAMR Datuk Seri H Al Azhar dan Pengurus LAMR, Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya, dan Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo. Diskusi publik ini juga dihadiri oleh Kepala Desa Pantai Raja, Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Pantai Raja, Ninik Mamak Desa Pantai Raja dan perwakilan masyarakat Pantai Raja. Kegiatan ini juga diikuti oleh peserta dari semua kalangan yang di ikuti melalui siaran Zoom Meeting.

Tim advokasi masyarakat Pantai Raja, Gusdianto dalam hal ini menyampaikan kronologis perampasan tanah itu oleh PTPN V di tahun 1984 seluas 1.013 hektar. Kemudian bercerita sampai munculnya kesepakatan pertama yang disepakati antara masyarakat dengan PTPN V tahun 1999 terkait ganti rugi tanah seluas 150 hektar, serta hingga munculnya kesepakatan kedua tahun 2019 yang dimediasi langsung oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam penyelesaian tuntutan ganti rugi masyarakat Pantai Raja kepada PTPN V. ***

Kategori : Kampar, Umum
wwwwww