Kisah Berliku Badiyun dan Soeparmi Dirikan Taman Hiburan Alam Mayang Pekanbaru; Berteman dengan Harimau, Mandi dengan Air Parit dan Gali Lubang untuk Buang Hajat

Kisah Berliku Badiyun dan Soeparmi Dirikan Taman Hiburan Alam Mayang Pekanbaru; Berteman dengan Harimau, Mandi dengan Air Parit dan Gali Lubang untuk Buang Hajat

Badiyun dan istrinya Soeparmi (kanan) semasa hidupnya.

Jum'at, 22 April 2016 16:31 WIB
Mukhlis
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Soeparmi, bukanlah nama populer di Kota Pekanbaru, sebagaimana halnya para pejabat publik, tokoh masyarakat atau minimal petinggi organisasi. Nama di atas, dulunya, hanya seorang ibu yang kegiatan pokok sehari-hari mengurus rumah tangga, jauh dari ingar-bingar atau panggung politik, meski sesekali tetap bersosialisasi. Bisa disebut, mayoritas warga Pekanbaru generasi sekarang, tidak mengenal nama ini.

Tetapi tunggu dulu. Jika nama Soeparmi ditulis dengan embel-embel ”Badiyun” (menjadi Soeparmi Badiyun, red) maka dalam benak banyak orang di kota ini seketika terbersit kalimat, ”Ooooo……,” sebagai jawaban, bahwa nama itu memang kesohor.

Singkat cerita, dengan mencantumkan nama suami di belakang namanya, Soeparmi bukan saja menjadi populer seorang diri, tetapi berjasa ”membesarkan” nama suaminya.

Jika dulu suaminya, dikenal sebagai salah satu tuan tanah di kawasan Jalan Nangka, Sail dan Kulim, maka sang istri, Ny Soeparmi berhasil ”menyulap” sebagian peninggalannya menjadi tempat rekreasi yang namanya top hingga ke luar Provinsi Riau.

Nyonya Soeparmi yang meninggal dunia tahun lalu, memang bertangan dingin. Almarhumah sukses merintis Alam Mayang menjadi taman rekreasi yang modern, dari dulunya sekadar taman pancing.

Anak sulung almarhumah, Drs Riyono Gede Trisoko MM dalam suatu perbincangan khusus dengan potretnews.com, Kamis (21/4/2016), menuturkan, ibunya merupakan anak sulung. Sejak kecil, ibunya telah terlatih dengan tantangan dan tangung jawab. Menurut Riyono, ibunya selalu mewanti-wanti anak-anaknya agar memiliki mental baja dan tidak cengeng.

”Ingat dan dengarkan, besok zaman itu akan semakin rami (ramai, red). Ada yang kerja dan rami yang ngomong. Maka jadilah orang yang prasojo (apa adanya). Biar kamu perempuan tapi kamu harus otot kawat tulang besi. Kerja itu harus rawe-rawe rantas malang-malang putung, ojo ming iso rumongso tapi kudhu iso ngrumangsani (jangan hanya merasa bisa tapi harus bisa merasakan, red).

Riyono menguraikan sejarah kedua orang tuanya menetap di Pekanbaru. Awalnya sang ayah ke Pekanbaru karena panggilan negara untuk wajib meliter dalam rangka Komando Ganyang Malaysia. Kehadiran bersama suami di mana saja adalah impian seorang istri untuk selalu dekat mendampingi.

Walaupun sering ditinggal bertugas, sebagai seorang istri wajib berkarya untuk menjunjung kehormatan keluarga.

"Pesan sang ayah yang selalu diingat ibunya ialah, kepintaran seorang istri bukanlah untuk diri sendiri atau minteri suami, tetapi untuk membesarkan nama suamimu, bukan kamu,” ucap Riyono.

Lanjut cerita, sebagai Nyoya Badiyun, Soeparmi memanfaatkan waktu untuk bersosialisasi dan berjualan seperti kebiasaannya di Pulau Jawa.

Meski menumpang pada rumah Haji Ta’ib, hingga lahir anak yang pertama, Soeparmi tetap memasak ayam bakar dan menawarkannya dari pintu ke pintu hingga menjadikan bapak dan ibunya familiar di Pekanbaru yang kecil di tahun 1965, khususnya pada masyarakat sekitar Rintis.

Setelah memiliki tabungan yang dirasa cukup, maka yang dilakukan oleh Soeparmi sebagai ibu rumah tangga adalah membeli sejumlah tanah di jalan Semar (Jalan Tambusai sekarang).

Dia sangat yakin dengan filosofi, ”geluti bumimu maka hidupmu akan mulia”. Hal inilah yang terus dilakukannya. Ada sedikit uang, pasangan suami istri ini membeli sepetak tanah. Demikian terus hingga tak terasa tanah mereka mencapai 11 hektar.

Sikap gemi dan nestiti (peduli dan hemat serta tekun) yang ditanamkan oleh SPBMA MM52 (Sekolah Perkebunan Menengah Atas Muja-Muju 52 Yogyakarta), tempak Badiyun menimba ilmu, memberikan keyakinan akan kepercayaan bahwa keberhasilan itu ditentukan oleh kemampuan diri sendiri.

Sebab etos petani yang mengharuskan bekerja dengan baik maka Tuhan akan memperhatikannya, telah mengajarkan bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Gemar mengolah tanah telah membuktikan berkah berlimpah.

Jalan Nangka ujung (sekarang Jalan Tuanku Tambusai, red) adalah sekelumit identitas yang tidak terlupakan di tahun 1970-an. Tempat Soeparmi membesarkan anak-anak dan pesanggerahan sang suami ketika kembali dari berjuang dan bekerja.

Pada tahun 1973, tepatnya di Bulan Syawal, diawali dengan bacaan Bismillah dan niat serta tekad hidup lebih baik di Riau, Badiyun dengan keponakannya Muh Sajadi, membulatkan hati untuk menetap di Bumi Lancang Kuning meski ada penugasan ke Kalimantan.

Tekadnya makin kuat karena dia telah membeli sebidang tanah di Kecamatan Sail (waktu itu masih masuk wilayah Kabupaten Kampar, red). Setelahnya, maka dimulailah hidup mandiri sebagai petani meninggalkan semua fasilitas negara, karena Badiyun mundur dari wajib militer dan kembali ke PPN (sekarang PTP), memilih tidak pindah ke Kalimantan karena jika berpindah-pindah akan susah membina keluarga yang utuh.

Sebuah perilaku yang tidak lazim, karena umumnya para isteri atau perantau, akan memilih membeli emas, mobil dan membangun rumah di kampung. Tetapi pola itu tidak berlaku untuk Soeparmi.

“Masa kita tidak bisa hidup di negeri sendiri, inilah yang selalu diyakinkan kepada suami. Apa pun itu jika dilakukan bersama-sama dalam kebaikan insya Allah rezeki itu akan datang,” kata Riyono lagi.

Pada tahun 1974, Badiyun dan anak istrinya telah menetap di Alam Mayang. Saat itu, taman rekreasi yang sekarang terlihat indah, masih hutan belantara. Mereka membangun rumah beratap rumbia berdindingkan karung goni, di antara hutan belantara itu. Kemudian, untuk mandi harus menggunakan air parit dan buang air besar hanya menggunakan sebuah cangkul.

Aneka hewan seperti babi hutan, kera, nyanyian burung hantu dan auman harimau adalah pengalaman tak terlupakan Soeparmi bersama suami dan anak-anaknya. Tetapi, dengan rawe-rawe rantas, dimulailah bercocok tanam palawija berlanjut ke tanaman keras dan membuat kolam ikan, diiringi membuat batako serta beternak ayam hingga sapi.

Untuk membayar utang, upah dan tanah yang tergadai, harus menjual goreng ayam yang dilakukan dari kantor ke kantor hingga pintu ke pintu. Ada sedikit uang lalu dibelikan tanah. Sebagian disimpan, sebagaian dijual. Hutang sembako dibayar tanah, semuanya digeluti bersama keluarga dan ini diyakini sebagai perjuangan untuk melatih diri agar menjadi lebih baik.

Kemudian pada tahun 1979, ketika itu Soeparmi baru bisa meluangkan waktu beroganisasi, melalui Iwapi dan BKOW. Seiring anak-anak akan menamatkan sekolah dasar (SD) di Santa Maria, dengan segala ilmu yang ada dan kekuatan, keyakinan timbul untuk kelanjutan sekolah menegah pertama (SMP) semunya dikirim ke Yogyakarta. Tak terasa waktu berlalu, maka semua anak-anak bisa menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1994, bahkan ada yang meneruskan pendidikannya hingga ke Osaka di Jepang serta di Massachusetts dan Tennessee di Amerika Serikat.

Memang rezeki perkawinan dan keluarga tidak ke mana. Pada tahun 1988, tepatnya 7 Januari, di tengah kesibukan berternak sapi, dirintislah kegiatan pemancingan bersama Green Sand dan Djarum dengan nama Alam Mayang.

Kebiasaan sang suami yang selalu mengharuskan ada dan kesempurnaan dalam bekerja telah memberi inspirasi dan tekad untuk lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pengunjung yang datang. Dengan tekad tersebut, mampu mendorong menjadikan 15 hektar kebun dan kolam pancing berubah menjadi taman rekreasi seluas 24 hektar.

Untuk menjadikan 24 hektar itu, berawal dari 15 orang pengunjung di setiap Hari Minggu. Setelah berjalan sekira 5 tahun, Alam Mayang memberlakukan tiket masuk tepatnya pada bulan Januari 1993.

Riyono menyebut, waktu itu (tahun 1988) ibunya pernah berkata, "Lihat saja nanti 20 tahun ke depan, Alam Mayang akan menjadi tempat yang diidam-idamkan. Alhamdulillah perkataan itu menjadi kenyataan. Alam Mayang yang pada tahun 2002 hingga 2004, masih banyak kandang sapi, kini berubah menjadi tempat pertemuan resmi dan beberapa miniatur sebagai pelengkap taman kanak-kanak."

Tidak sampai di situ saja. Dengan tetap mengembangkan konsep alam buatan dan terus melakukan penghijauan yang dibantu oleh Kanwil Kehutanan dan TNI – Polri melalui pekan penghijauan, Alam Mayang berjalan perlahan seiring kebutuhan untuk melayani tamu yang datang.

Perjalanan waktu, Alam Mayang telah mendapat pengakuan dari beragam entitas. Misalnya saja mendapat Kalpataru, Piagam Muri, Piagam dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebagai kategori bagian sarana publik yang telah dimanfaatkan oleh sekitar 6 juta orang untuk berbagai kegiatan sosial.

Soeparmi, seperti kata Riyono, menyadari bahwa Alam Mayang sebagai tempat rekreasi ini masih jauh dari pantas. Karena masih jauh dari bayangan seperti tempat wisata di Pulau Jawa atau tempat lain. Maka Soeparmi minta kondisi itu jangan disamakan. Karena ini hanya sebuah hobi berkebun yang dikaryakan dan dipoles sebagai tempat wisata.

Memahami dan memahamkan bahwa sunnatullah itu memiliki kadar, adalah hal yang sulit dijalani dalam hidup karena adanya godaan, tuntutan dan tekanan hidup, tetapi kepercayaan kalau Tuhan itu tidak tidur, telah menanamkan pesan yang mulia.

”Sekarang dan di masa mendatang, Alam Mayang akan tetap menjadi milik dan kebanggaan orang banyak,” ujar Riyono mengutip ungkapan orang tuanya, semasa hidup. ***

Kategori : Pekanbaru, Umum
wwwwww