Menguak Situs dan Cagar Budaya di Inhu

Menguak Situs dan Cagar Budaya di Inhu

Kompleks Makam Raja-raja Indragiri di Kotalama, Indragiri Hulu, Riau.

Melba Ferry Fadly
Minggu, 03 Januari 2016 08:30 WIB
RENGAT, POTRETNEWS.com - Jarak kota Pekanbaru ke Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) sekitar 260 kilometer. Cuaca agak mendung. Kami sempat terjebak hujan dan berhenti untuk berteduh. Hampir enam jam perjalanan, kami sampai di Kecamatan Kotalama, Inhu, dan rehat sejenak di depan sebuah gerbang bercat kuning tepat di sisi jalan Lintas Timur. Di gerbang itu tertulis. Situs Lokasi Makam Raja-raja Indragiri Hulu, kami sepakat masuk. Dari gerbang, jaraknya sekitar 2 kilometer ke lokasi pemakaman. Ada banyak pemukiman warga di sana. Suasana agak sepi saat masuk ke lokasi pemakaman. Tak ada orang berkunjung atau ziarah. Lokasinya cukup bersih, namun agak semak.

Kata Guntur, penjaga makam, lokasi ini hampir mencapai 16,9 hektar. Sedangkan lokasi makam sekitar 13 hektar. Ada empat bangunan pagar yang terlihat, satu pagar terdiri dari dua sampai empat makam. “Semuanya ada sekira 23 makam yang harus dirawat,” katanya.

***

Awalnya cerita ini dimulai dari kerajaan Indragiri yang didirikan oleh Raja Kecik Besar Malikul Muluk, yaitu Sultan Kerajaan Malaka pada tahun 1298 Masehi. Saat itu, Raja Kecik Besar mengangkat seorang Putra Mahkota, namanya Raja Kecik Mambang alias Raja Marlang, menjadi sultan di tanah Indragiri. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1289-1337 masehi.

Setelah wafatnya Raja Kecik Mambang, maka dinobatkan Raja Iskandarsyah sebagai Sultan Indragiri kedua yang diberi gelar Narasinga I. Ia pimpin kerajaan dari tahun 1337-1440 masehi. Tiga tahun memerintah, Narasingan I wafat, naiklah Sultan Jamaluddin Inayatsyah sebagi Sultan Indragiri ketiga, gelarnya Raja Merlang II. Ia memerintah kerajaan dari tahun 1440-1473 masehi.

Ketiga sultan tersebut masih menetap di Malaka, mereka hanya datang sesekali ke bumi Ingdragiri. Sedangkan tampuk pemerintahan sehari-hari di kerejaan, dilimpahkan oleh Patih Perdana Mentri. Kurun waktu itu membuat Patih Perdana Mentri kewalahan memimpin kerajaan. Oleh karena ketidak mampuan itu, maka Patih Perdana Menteri bersama Datuk Tumenggung Kuning menjemput Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam untuk menggantikan tampuk kesultanan raja Indragiri. “Menurut hikayatnya itu di jemput dengan rakit kulim,” kata Saharan.

Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam lebih dikenal dengan sebutan Narasinga II. Dalam perjalananya dari Malaka ke Indragiri, Narasinga II ini singgah di Pekan Tua (Sekarang Indragiri Hilir). Di sinilah ia pertama kali mendirikan istana kerajaan. Ia sendiri adalah Sultan Indragiri ke empat memerintah di kerajaan ini dan ia pula sultan pertama yang bermukim di tanah Indragiri. Ia memerintah sejak tahun 1473-1557 Masehi.

Di masa Paduka Maulana Sri Sultan Alaudin Iskandarsyah Johan Zikrullah Fil Alam, terjadi dua kali pemindahan istana atau pusat pemerintahan kerajaan, yaitu dari Pekan Tua pindah ke Kota Lama dan pindah lagi ke Japura. Ia meninggal dunia di Kota Lama pada tahun 1532 masehi, tampuk kekuasaan digantikan oleh Sultan Ussuluddin Hasansyah, sebagai Sultan Indragiri yang ke lima dengan masa pemerintahan dari tahun 1532-1557 masehi.

Sejak tahun 1298 hingga 1945, tercatat sekitar 25 kesultanan yang pernah bertitah untuk menjalankan roda pemerintahan di tanah Indragiri.

Kami tertarik melihat salah satu makam di situ, bentuknya unik dengan ukuran lebih panjang dari makam-makam lain. Pagar yang mengitarinya hampir sama dengan pagar makam-makam lain. Pintunya digembok dan tertutup rapat. Di samping kiri pintu masuk ada tembok berkeramik hitam, disitu tertulis Makam Andi Sumpu Muhammad, gelarnya Panglima Jukse Besi, panglima Narasinga II.

“Ukuran awalnya kurang jelas,” kata Guntur. Ada yang mengatakan panjangnya mencapai 7 meter dengan mayat dilipat tiga. Tapi kata Saharan, perwakilan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, panjang makam itu sekitar 12 meter dengan diameter sekitar empat meter sekian. “Itu tidak pernah berubah,” katanya. Sayangnya kami tak banyak dapat informasi seputar makam itu.

Menyinggung soal kebersihan lokasi Guntur enggan berbicara, “Langsung aja tanya ke Dispora,” katanya. Renovasi makam sudah berlangsung sejak tahun 2000. Masa Bupati Raja Tamsir. Namun hingga saat ini belum ada perkembangan. Bahkan untuk perawatan lokasi, kata Guntur ada enam orang, mereka swadaya sendiri untuk perawatan makam dan lokasi sekitar.

Kata Suparto, staf BP3, saat ini mereka terkendala dana. Pihaknya sudah coba anjukan anggaran ke pihak Dinas Pendidikan Olahraga dan Pariwisata (Dispora) untuk perawatan, namun kucuran dana tak kunjung ada.

Meski demikian mereka tetap menjaga lokasi sekitar pemakaman semampunya. “Dua minggu sekali kami gotong royong bersihkan makam,” katanya.

Menurut cerita Guntur, pernah dari pihak Pemerintah Provinsi yang pantau langsung ke lokasi, katanya ada anggaran untuk perawatan di sekitar lokasi, tapi pihak Dispora mengaku belum ada dana.

Inisiatif untuk melaporkan itu ke pemerintah pusat sempat terpikirkan, namun mereka terkendala dengan sertifikat tanah, tidak ada loporan secara khusus tentang legalitas tanah makam itu. “Kami juga sudah minta kejelasannya,” tambahnya.

Setiap bulan mereka harus buat semacam laporan dan diajukan ke pemerintah setempat.

Tahun 2000 pemerintah setempat membantu dalam proses pembangunan, seperti mushala, MCK, gerbang dan papan nama. Dari pihak BP3 tidak bisa memberikan bantuan lebih mereka hanya mampu bantu dalam bentuk teknis dan peralatan kerja. Ada dua makam yang dibantu BP3 dua makam lainya dibawah naungan Dispora. “Ya kita iklas aja ngerjakan itu,” tambah Suparto.

Dari enam orang petugas kebersihan, hanya empat orang yang aktif. Penghasilan yang kurang menjadi alasan mereka untuk sibuk di luar.

Saharan, mengetakan untuk perawatan mereka hanya membantu dalam berbentuk teknis, ini tergantung dari jumlah dana yang ada. Menurutnya, pemerintah daerah setempat punya kebijakan dan skala prioritas, mana yang lebih utama didahulukan. Seharusnya ada semacam kolaborasi kerja sama antara pemerintah dan PB3, untuk pengembangan dan perawatan lokasi, situs dan cagar budaya yang ada.

Kata Saharan, peran masyarakat cukup dibutuhkan, Ini mengacu pada undang-undang no sepuluh. “Dimana masyarakat sebagai pelaku juga ikut menjaga dan melestarikan benda sejarah yang kita miliki,” katanya. Ini cukup berpengaruh terhadap peningkatan perekonimian masyarakat setempat.

H Mailiswin Sos, Kepala Bidang Kebudayaan Dispora mengatakan, sudah ada kebijakan yang dirancang dalam rangka menjaga kelestarian situs dan cagar budaya di daerah ini. Pihaknya sudah menunjuk beberapa petugas kebersihan untuk perawatan. “Ada sekitar 20 benda yang sudah kita tunjuk untuk perawatanya,” katanya.

Selain itu pihak pemerintah lebih memfokuskan pada SDM dan pengetahuan tentang benda-benda sejarah. Dengan demikian mereka juga bisa memaparkan secara langsung kepada pengunjung tanpa harus bergantung pada Lembaga BP3 .

Kata Mailiswin, mereka sempat publikasikan situs dan cagar budaya ini, agar masyarakat tahu dan mau menjaga benda-benda pusaka yang tersimpan.

Selain kekurangan tenaga, alokasi dana untuk perawatan lokasi tidak banyak. “Kita bagi-bagi lah anggaran itu.” Namun itu tetap diajukan ke pemerintah daerah.

Mailiswin menambahkan, sejauh ini memang ada bantuan dari Pemerintah Provinsi, namun sifatnya tidak berkelanjutan. “Daerah cukup luas, jadi dana yang ada harus diberdayakan semestinya,” katanya.

***

Jumat (15/4/2011) silam, pukul 08.00 pagi kami sempatkan diri berkunjung ke Rumah tinggi. Letaknya di Kampung Bersar kecamatan Rengat. Halamanya dilapisi paping blok lusuh dan sedikit ditumbuhi rumput liar. Bentuknya seperti bangunan tempo dulu dengan paduan cat warna kuning dan arsitektur melayu disekitar bangunan.

Bangunan itu ada dua lantai, saat ini di lantai dasar, difungsikan sebagai tempat tinggal penjaga, lantai dua difungsikan sebagai musium. Dalamnya cukup luas, Kami sempat melihat benda-benda peninggalan sejarah, seperti meriam, senapan, dan beberapa buah foto raja-raja tempo dulu yang dicetak hitam putih.

Menurut sejarahnya Rumah ini adalah rumah Menteri Kerajaan Indragiri. Dibangun oleh Raja Haji Muhammad Saleh, gelarnya Raja Togok dimasa Kesultanan Isa pada tahun 1883-1902 masehi. Sultan Isa mengangkat Raja Haji Muhammad Saleh sebagai menteri kerajaan dengan daerah kekuasaan Kampung Laut, (Sekarang Concong, Indragiri Hilir) dan sekitarnya. Daerah ini merupakan penghasilan pajak terbesar bagi kerajaan. Oleh sebab itu beliau dapat mendirikan rumah menteri yang cukup besar dan megah.

Rumah tinggi sengaja dibangun dua lantai yang disanggah oleh pilar-pilar kayu kulim. Bangunan itu masih berdiri kokoh. Dulu, lantai dua digunakan sebagai tempat kediaman mentri dan keluarganya, dan difungsikan untuk acara-acara kebesaran Raja serta perayaan tradisi adat setempat. Sedangkan di lantai bawah, difungsikan sebagai tempat tinggal para pekerja dan pendayung perahu, jumlahnya lebih kurang 30 orang.

Saat menuju ke Rumah Tinggi, kami melintasi Danau Raja. Disekitarnya ada bangunan anjungan tempat berteduh, hampir seperempat lokasi danau ditumbuhi teratai air, sampah plastik dan botol aqua bersekan. Mendengar cerita Arsyad, salah seorang warga setempat, saat musim hujan air danau tidak pernah melimpah, dan tak pernah kering saat musim kemarau.

Di pinggir danau berdiri sebuah bangunan, meski warna cat agak memudar, bangunan ini masih terlihat megah. Ini adalah refleksi dari Istana Kerajaan Indragiri. Sedangkan bangunan aslinya tenggelam di sungai Indragiri karena longsor.

Menurut Saharan, di Kabupaten inhu tercatat lebih kurang 71 situs dan cagar budaya yang tersebar di 14 kecamatan. Yaitu kecamatan Kuala Cinaku, Rengat, Rengat Barat, Lirik, Pasir Penyu, Kelayang, Rakit Kulim, Pranap, Batang Cinaku, Batang Gansal, Seberida dan beberapa kecamatan lain.

“Ada juga yang masih belum terjangkau, karena lokasi letaknya yang jauh di tengah hutan,” katanya.

Warisan ini masih dipengaruhi oleh kesakralan dan fanatisme masyarakat setempat. Banyak barang-barang peninggalan sejarah yang disimpan oleh masyarakat. Mereka tidak mau barang itu diketahui pemerintah. “Karena takut diambil.” Saat ini sejumlah barang-barang peninggalan sejarah tersimpan di Museum Rumah tinggi, itu mulai difungsikan sejak lima tahun terakhir.

Ini hanya beberapa dari sekian banyak bukti kebesaran kerajaan Indragiri dan menjadi salah satu cagar budaya di Indragiri Hulu.

Dari data yang dipaparkan lembaga PB3, cukup menandakan bahwa di Inhu masih banyak menyimpan situs dan cagar budaya. “Silsilah kerajaan Indragiri ini masih ada hubunganya dengan museum rumah tinggi,” tambah Saharan. ***

Sumber:
melbaferryfadly.wordpress.com

Kategori : Wisata
wwwwww