Mantan Dirut RS Jantung Harapan Kita yang Lahir di Bagansiapiapi Ini Pernah Jadi Dokter Teladan se-Riau dan Menjabat Kepala Puskesmas Siak Hulu

Mantan Dirut RS Jantung Harapan Kita yang Lahir di Bagansiapiapi Ini Pernah Jadi Dokter Teladan se-Riau dan Menjabat Kepala Puskesmas Siak Hulu

dr Aulia Sani

Minggu, 03 Januari 2016 11:30 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com- Sejarah mencatat, dokter merupakan profesi yang mulia karena berusaha menyelamatkan nyawa dan menyembuhkan manusia. Kemuliaannya sulit diukur dengan sesuatu yang berbau materiil. Konon ketika negara kita belum merdeka, para dokter pribumi, seperti dokter Wahidin dan dokter Sutomo sangat jarang dibayar. Ada suatu kenikmatan apabila dokter berhasil menyembuhkan pasiennya.

Namun, di era modern sekarang ini, dokter-dokter yang memiliki jiwa pengabdian semakin langka. Nilai-nilai kemanusiaan tergantikan nilai-nilai materi. Sebagian dokter kemudian dicap 'matre', tidak peka terhadap pasien, angkuh dan sebagainya.

Meski para dokter harus membayar mahal (biaya studi, waktu, tenaga dan pikiran) agar bisa mengabdi sesuai tuntutan masyarakat, masih ada dokter-dokter di negeri ini yang tetap terpanggil untuk memberikan dirinya menolong orang-orang yang membutuhkan.

Salah satunya, dr Aulia Sani, mantan Direktur Utama Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya mengajar di Universitas Indonesia dan bekerja di unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Meski pernah menjadi orang nomor satu di rumah sakit rujukan nasional ini, hidupnya tetap bersahaja. Sebab baginya, profesi dokter adalah pengabdian.

Bagi sebagian besar orang, istilah pengabdian cuma sebuah kata yang sudah lama dibuang dari kamus kehidupan mereka. Namun bagi dr Sani, begitu ia biasa dipanggil, pengabdian adalah panggilan. Pilihan hidupnya ini bisa ia lakoni tidak lepas dari dukungan istri dan pesan ayahnya sebelum meninggal.

Selain itu, rencana Tuhan jualah yang menjadikan ia bisa dikenal sebagai dokter spesialis jantung yang cukup terkenal di Tanah Air. Pilihannya untuk menjadi kardiolog bukan karena kebetulan. Namun lewat pengalaman dramatis yang sulit untuk dilupakannya. Sang ayah yang sangat dicintainya, datang mengunjunginya yang sedang bekerja sebagai dokter Puskesmas di Riau.

Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Puskesmas Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, di Simpang Tiga Propinsi Riau. Dalam perjumpaan dengan ayahnya di tahun 1977 itu, dr Sani mendapat berbagai nasihat. Ayahnya berpesan agar ia menjadi dokter yang baik, yang tidak mementingkan uang tetapi menolong orang. Dr Sani juga diminta untuk menjaga dan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang baik serta memintanya agar menikah satu kali saja.

Saat itu, dr Sani tidak menyangka kalau perjumpaan dengan ayahnya itu akan menjadi perjumpaan yang terakhir. Esoknya, sang ayah pergi menghadap Yang Maha Kuasa meninggalkan pesan-pesannya di hati dr Sani. Pesan-pesan ayahnya itu lah yang membakar semangatnya untuk menjadi dokter yang baik dan mengabdi. Baginya, meski cuma lulusan universitas kecil, Universitas Andalas, Padang, ia bertekad untuk berpikir dan berkarya lebih maju dibandingkan lulusan-lulusan dari universitas yang terkenal.

Berkat tekadnya itu dan bekerja disiplin selama di puskemas, dokter yang lahir di Bagansiapiapi, 9 Mei 1945 ini mendapat predikat dokter teladan se-Provinsi Riau tahun 1980. Selama bertugas mengobati masyarakat, ia melihat banyak kasus-kasus penyakit jantung. Sebagai dokter umum, ia kesulitan mengobati pasien-pasien seperti itu. Saat itu, dokter jantung masih terhitung jari dan rumah sakit jantung belum ada.

Kenyataan ini dan ingatan akan pesan ayahnya mendorong dr Sani datang ke Jakarta mencoba melamar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengambil jurusan kardiologi. Ia menemui almarhum dr Sukaman yang saat itu menjabat sebagai kepala bagian kardiologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ada satu pertanyaan dr. Sukarman yang masih diingat olehnya, "Kenapa saudara memilih kardiologi?"

Dr Sani kemudian menjawab, "Menurut saya, masalah kardiologi akan menonjol di masa depan dan memerlukan ahli yang banyak." Jawaban dr Sani ini rupanya menyukakan hati dr Sukaman yang juga menjadi dokter pribadi mantan Presiden Soeharto (alm) dan meminta dr Sani agar segera pulang ke Riau mengumpulkan uang untuk biaya sekolah.

Satu tahun kemudian, 1981, dr Sani diterima di FKUI RSCM bagian kardiologi. Tahun 1984, dr Sani menyelesaikan studinya dan dilantik menjadi spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1985.

Kedekatannya dengan dr Sukaman membuatnya tidak perlu bersusah payah meretas karier sebagai dokter. Dr Sukaman memintanya agar tidak pergi ke daerah sebab ia akan mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Singkat cerita, dr Sani bekerja di rumah sakit yang baru didirikan tersebut sebagai staf di bagian Unit Pelayanan F Rehabilitasi.

Pekerjaannya di Unit Pelayanan F Rehabilitasi sempat terhenti karena ia diangkat menjadi Direktur Penunjang Medik dan Pendidikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dari tahun 1994-1998. Setelah itu ia dipercaya menjabat sebagai Direktur utama sampai 2005. Karena usianya yang sudah berkepala enam, dr Sani mengundurkan diri dan kembali ke Unit Pelayanan F Rehabilitasi dan mengajar di kampus almamaternya Universitas Indonesia.

Meski sudah tidak muda lagi, sebagai seorang ilmuwan, dr Sani tidak berhenti membaca. Dengan mengutip isi sebuah jurnal terbitan terbaru yang sedang dibacanya, dr Sani mengatakan bahwa medical is a long life study (ilmu kedokteran adalah ilmu seumur hidup). Ia mengingatkan bahwa penyakit terus berkembang. Bila hari ini disebut indikasi, di lain waktu akan menjadi kontra indikasi. Kalau dulu ada obat yang disangka hanya untuk demam seperti aspirin, namun menurut riset di negara maju bisa digunakan untuk pengencer darah.

Keteguhannya untuk tidak berhenti belajar tidak lepas dari mimpinya, mendidik dokter-dokter baru agar bisa lebih pintar darinya. Ia berusaha agar semakin banyak dokter yang mau bergerak di bidang jantung sebab di negeri ini, penyakit jantung menjadi penyebab kematian nomor satu. Menurut statistik, tahun 1996 terdapat 16,4% kematian akibat penyakit jantung, meningkat menjadi 24,5% tahun 2001.

Dr Sani memperkirakan, tahun 2008 persentasenya meningkat bisa mencapai 30% melanda orang-orang berusia produktif di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan sebagainya.

Fakta statistik ini membuat dr Sani ingin berperan lebih besar mendidik masyarakat untuk mencegah penyakit jantung. Peran ini bisa ia lakukan di Yayasan Jantung Indonesia (YJI) sejak tahun 1981 sampai sekarang. Ia mengatakan, yayasan ini menjadi tempat yang baik bagi orang yang mau berbakti sebab sebagai relawan tidak dibayar. Ia pun sempat menjadi pengurus di bagian penerangan klub jantung sehat, menjadi Ketua 3 di YJI bersama Ibu Nina Akbar Tandjung dan terakhir menjadi anggota dewan pembina YJI dari tahun 2005 sampai sekarang.

Segudang prestasi juga diraihnya diantaranya menjadi orang Indonesia pertama dan terakhir - bersama rekannya Prof Hamid Umar - meraih penghargaan bergengsi, Fellow Japanese College of Cardiology tahun 2001.

Penghargaan ini buah dari dedikasinya di bidang pengobatan penyakit jantung dan pengalamannya beberapa kali menimba ilmu di negeri matahari terbit itu. Meski rekan-rekannya sesama dokter banyak yang menolak studi di Jepang karena tidak bisa praktek untuk mendapatkan penghasilan, dr Sani tetap memanfaatkan kesempatan. Sebab bagi dia, rejeki ada di tangan Tuhan. Saat itu, demi pendidikan yang lebih tinggi, ia rela pulang balik ke Indonesia empat bulan sekali meninggalkan anak dan istrinya. Pendidikan selama satu tahun itu ia lakoni dengan bijaksana.

Ia juga mengikuti berbagai pelatihan di bidang sub-spesialisasi Cardiac Rehabilitation, Hoehenried, Jerman dan Heart Reseach Center, Melbourne, Australia. Pelatihan di bidang Economic and Management of Health Care di National University of Singapore. Kemudian berkesempatan mendapatkan pelatihan Study on Educational System and Hospital Management Japanese Council for Medical Training, Jepang. Pelatihan di bidang Public Health diperolehnya dari The Bill and Melinda Gates Institute Bloomberg School of Public Health, AS, hasil kerjasama antara Departement Kesehatan Republik Indonesia dan John Hopkins University AS di Jakarta.

Berkat kiprahnya sebagai dokter yang baik, ia mendapat sejumlah penghargaan di antaranya penghargaan dari Gubernur Sumatra Barat atas Jasa, Pengabdian dan Sumbangsih dalam rangka pengembangan Pusat Jantung Regional Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang tahun 2004 ; Satya Lancana Karya Satya XX dari Presiden RI tahun 2004 ; Tanda Penghargaan Tri Windu (Sakti Karya Husada Tri Windu) dari Menteri Kesehatan RI tahun 2004 ; penghargaan dari LSM Dur Randha Peduli Anak Bangsa dalam Pelaksanaan Operasi Jantung pasien tak mampu bernama Mara Alivia, dari Aceh tahun 2000 ; dan Pembina Teladan Klub Jantung Sehat Pondok Kelapa tahun 1994.

Tidak Pernah Bermimpi
Dr Sani sama sekali tidak berniat tinggal di Jakarta apalagi bermimpi memimpin sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Namun karena mentornya, dr Sukaman memintanya untuk tinggal di Jakarta sebagai pendidik, ia melihat itu sebagai tantangan. Seiring dengan berjalannya waktu, dr Sani akhirnya dipercaya menjadi Direktur Rumah Sakit Jantung Harapan Kita tahun 1998-2001. Rumah sakit ini kemudian berubah nama menjadi Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan dia dipercaya kembali menjadi Direktur Utama dari tahun 2001-2005.

Bagi sebagian orang, jabatan direktur adalah lahan untuk menumpuk kekayaan. Namun lain halnya dengan dr Sani. "Saat saya direktur, jangan Anda bayangkan saya kaya raya. Saya selalu mengikuti aturan, makanya saya selamat. 11 tahun di direksi saya begini-begini saja, ya tidak apa-apa, yang penting bisa berbuat sesuatu untuk rumah sakit," katanya lugas kepada Tokoh Indonesia.

Selama menjabat sebagai direktur, beberapa perbaikan dan perubahan di rumah sakit PJNHK dilakukannya. Salah satunya adalah mengubah logo rumah sakit. Berubahnya logo ini juga karena ada peristiwa tersendiri.

Dr Sani mengisahkan saat itu, rumah sakit Jantung Harapan Kita akan membuat perjanjian kerjasama dengan National Heart Centre of Singapura. Perjanjian ini dibuat agar Indonesia tidak dipandang enteng sekaligus mengurangi jumlah pasien yang berobat ke Singapura. Sebelum perjanjian (MoU) ditandatangani, Prof Liem, presiden direktur National Heart Centre of Singapore memintanya agar mengirimkan logo Rumah Sakit Jantung Harapan Kita yang akan dicetak dalam MoU.

Namun belakangan dalam MoU itu cuma logo National Heart Centre of Singapura yang muncul sebab logo Rumah Sakit Jantung Harapan Kita katanya tidak bisa ditiru karena terlalu rumit. Kata dr Sani, saat itu, logo Rumah Sakit Jantung Harapan Kita seperti Pancasila, ada lambang padi, kapas, bintang dan banteng. Sedangkan logo National Heart Centre of Singapore sederhana, jantung dalam tulisan China yang didesain oleh Prof Liem.

Pengalaman ini membuat dr Sani berpikir untuk mengubah logo rumah sakit Jantung Harapan Kita. Ia bertemu dengan temannya seorang seniman, Ade Rastiadi yang terkenal menggambar Konkopilan di Harian Kompas. Setelah mengutarakan visi, misi dan falsafah yang dianut rumah sakit kepada temannya itu, dibuatlah 80 model logo. Perwakilan dari dokter, perawat dan karyawan dilibatkan untuk memilih logo mana yang terbaik menurut mereka. Singkat cerita, terpilihlah logo yang kini digunakan oleh rumah sakit PJNHK.

Dalam logo yang baru itu terdapat gambar hati berwarna merah berarti darah bersih dan berani. Lingkaran biru menggambarkan pusat/centre, biru menggambarkan darah kotor tetapi di sisi lain melambangkan kepercayaan. Lingkaran hilang timbul menggambarkan irama atau ritme. Huruf jenis sans serif sengaja digunakan karena huruf ini bisa dibaca dari jauh. Warna biru digunakan karena kebanyakan orang akrab dengan warna biru. Begitu pula dengan warna merah.

Sebagai pusat jantung nasional, selama memimpin rumah sakit PJNHK, dr Sani berupaya melakukan terobosan-terobosan di antaranya mengirim dokter-dokter belajar ke luar negeri seperti Belanda. Para perawat pun diharuskan pandai berbahasa Inggris dengan skor TOEFL 400-500. Sedangkan untuk para dokter wajib memiliki skor TOEFL 500-600 supaya bisa berbicara dengan orang asing.

Penemuan-penemuan baru di bidang kedokteran juga terus diikuti seperti bedah tanpa mesin (off pump). Ia sempat mengundang ahli bedah tanpa mesin yang ditolak melakukan operasi di China. Dr Sani merasa bangga saat mendengar jawaban ahli bedah tersebut tentang rumah sakit PJNHK kepada Metro TV, "They have many complete resources, they are very brave to invited me to Jakarta. Many doctor in China didn't agree to give me opportunity to do operation." (Mereka mempunyai banyak peralatan lengkap, mereka sangat berani mengundang saya ke Jakarta. Banyak dokter di China yang tidak setuju saya melakukan operasi). Saat itu, sekitar tahun 2001, Indonesia menjadi pusat pelatihan bedah tanpa mesin pertama di Asia Pasifik dan negara ketiga di dunia yang mampu mengerjakan itu selain Argentina dan Italia.

Harapan dan Kegelisahan
Sebagai seorang dokter sekaligus pendidik, dr Sani menyimpan sejumlah harapan dan kegelisahan. Menurutnya, para pendidik masa kini harus mampu mendidik dokter yang mumpuni, spesialis yang mempunyai kemampuan dan hati nurani yang baik dan mau membantu rakyat kecil karena penyakit jantung banyak diderita orang miskin.

Sementara orang kaya - biasanya menderita penyakit jantung koroner – masih bisa menanggung biaya operasi dan pengobatannya, tetapi bagi rakyat kecil - kebanyakan menderita penyakit jantung bawaan - biaya untuk periksa saja sudah tergolong mahal. Biaya yang mahal itu bukan karena biaya dokter yang tinggi tetapi karena peralatannya yang berteknologi tinggi.

Untuk menyiasati biaya peralatan yang tinggi dan impor itu, dr Sani melihat perlu dikembangkan riset mencari obat-obatan dalam negeri sendiri agar tidak 'dicuri' negara lain. Dr Sani mencontohkan curcuma atau temulawak yang dipatenkan oleh Jerman atau tempe dipatenkan Jepang. Bahkan ada obat untuk mengencerkan darah yang disebut NATO dipatenkan Jepang padahal bahannya terbuat dari tempe.

Agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi, dr Sani berharap adanya peneliti-peneliti yang fokus melakukan riset. Ia mengaku pernah memfasilitasi peneliti-peneliti muda dari Universitas Indonesia untuk mengikuti pendidikan riset selama empat tahun di Jepang. Saat pulang ke Indonesia memboyong gelar PhD, umur mereka masih 30-an lalu menyelesaikan studi kardiologinya.

Namun sayang, kebanyakan di antara mereka menjadi dokter yang hanya mencari pasien melalui praktek saja. Mereka enggan menjadi peneliti karena gaji sebagai peneliti kecil. Selain itu jarang ada yang mau membiayai riset. Kenyataan menyedihkan di negeri ini berbeda dengan negara lain yang memprioritaskan riset dan menggaji layak para penelitinya.

Selain itu, dr Sani juga menyayangkan mentalitas sebagian rakyat Indonesia yang lebih suka berobat ke luar negeri seperti Singapura. Padahal fasilitas dan kemampuan dokter Indonesia sudah sama bagusnya dengan dokter luar negeri. Biayanya pun lebih murah dibanding berobat ke luar negeri. Bahkan bagi mereka yang kurang mampu sudah disediakan Askes. Sewaktu dr Sani menjabat sebagai direktur utama PJNHK, pasien kurang mampu dibebaskan biaya berobat.

Saat itu, dari segi biaya yang ditanggung, terdapat 50% pasien askes, 30% pribadi dan 20% asuransi. Bagi pasien yang tidak mampu dibebaskan biaya dengan membuat surat yang menyatakan pembebasan. Biaya untuk kalangan tidak mampu ini bisa ditanggung karena pasien yang kaya menyubsidi pasien yang miskin. Mereka yang berobat di kelas VIP dan Utama menopang mereka yang kurang mampu. Kebijakannya ini membuat rumah sakit PJNHK diberi penghargaan sebagai provider Askes Terbaik.

Dr Sani juga melihat, dari segi ekonomi, orang Indonesia yang berobat ke luar negeri membuat sumber devisa berkurang. Padahal kalau berobat di Indonesia, menurut dia, akan memberi makan banyak orang. Contoh sederhananya, tukang gado-gado di depan rumah sakit PJNHK bisa menghidupi keluarganya. Ia kemudian mengambil contoh yang lebih besar yang pernah dilakukan Presiden Benjamin Franklin pada masanya untuk mengatasi krisis di Amerika.

Ia bukan membagi-bagikan uang namun dengan membuat bendungan di Arizona untuk mengatasi kekeringan. Lapangan kerja dibuka, buruh-buruh bisa bekerja dan membeli bahan pangan dari petani. Efeknya merambat membuat ekonomi rakyat berputar. Itulah mengapa ia menjadi sedih setiap kali melihat orang antri minta BLT (Bantuan Langsung Tunai). Baginya, bangsa kita bukan bangsa pengemis yang suka minta sedekah atau sumbangan.

Di sisi lain, dr Sani mengakui, budaya berobat ke luar negeri juga dialami oleh negara-negara lain. Banyak orang Jerman dan Belanda berobat ke Swiss karena berobat di Swiss tidak dikenakan pajak. Bahkan penemu transplantasi jantung membuka praktek di Swiss, bukan di negeri sendiri Afrika Selatan. Oleh sebab itu, kenyataan ini bukan hal yang aneh lagi. Sambil mengutip pepatah terkenal "rumput tetangga lebih hijau', urusan berobat pun sama halnya.

Padahal kalau mau mengakui, rumput negeri kita sendiri sama hijaunya dengan negara lain. Kini, sudah banyak dokter Indonesia yang bagus dan mampu. Ia mencontohkan, rata-rata ada sembilan operasi setiap harinya di rumah sakit PJNHK, sedangkan di Singapura rata-rata dua operasi. Selain itu, banyak dokter asing yang belajar di PJNHK. Meski demikian, masih banyak orang kurang percaya dengan kemampuan dokter-dokter Indonesia. Dr Sani melihatnya mungkin disebabkan kurangnya rasa kebangsaan.

Masyarakat juga seharusnya tidak lagi memandang sebelah mata rumah sakit yang berdiri sejak tahun 1985 ini. PJNHK yang kini menjadi rujukan nasional sudah memiliki rumah sakit binaan di Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, Manado, Padang, dan Banda Aceh. Dokter-dokter spesialis jantung sudah tersebar. Kalau dulu Indonesia hanya memiliki 15-16 dokter jantung, sekarang Indonesia sudah mempunyai sekitar 500-600 dokter ditambah dokter-dokter lain yang bergerak di bidang jantung seperti dokter bedah jantung dan dokter anestesi jantung dengan jumlah sekitar 600-700 dokter.

Namun, harus diakui, jumlah ini masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan negara lain. Saat ini Filipina mempunyai 2.000 dokter jantung, Jepang 10.000-15.000 dokter jantung dan Belanda mempunyai 5.000-6.000 dokter jantung. Sedangkan Indonesia yang penduduknya sekitar 220 juta jiwa hanya memiliki 500-600 dokter jantung.

Oleh sebab itu, dr Sani berharap pusat-pusat jantung regional seperti di Medan, Padang dan Surabaya bisa menjadi pusat pendidikan untuk menghasilkan dokter-dokter jantung berkualitas. Diharapkan, Medan bisa menghasilkan minimal 10 dokter per tahun, Surabaya minimal 15 dokter per tahun, Padang minimal 10 dokter per tahun dan rumah sakit PJNHK minimal bisa menghasilkan 20 dokter per tahun.

Sehingga total dokter jantung yang bisa dihasilkan sekitar 200-300 dokter jantung per tahun. Jumlah ini menjadi terbilang sedikit kalau melihat jumlah dokter-dokter yang sudah tua dan akan pensiun. Sebagian besar dokter jantung sekarang berusia di atas 50 tahun. Kaderisasi terlambat karena dulu pusat pendidikan hanya ada di Jakarta dan Surabaya. Namun sekarang sudah memiliki 11 pusat pendidikan.

Dr Sani juga menyambut baik program dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Dengan ditempatkan di sana, para dokter bisa dilatih kepekaannya dalam memberikan layanan kesehatan kepada penduduk setempat. Pengalamannya di Muara Kuala Kampar, Riau tahun 1974 memberikan banyak pelajaran berharga.

Ia pernah dikirim ke Pulau Penyalai, dimana mata pencaharian penduduknya adalah menjala ikan. Di pulau itu banyak ditemui penyakit malaria, penyaki kuru/patek, frambusia, dan muntaber. Makanan utama penduduknya adalah sagu yang dikukus dengan ikan lunak yang pedas. Tidak ada beras di sana. Dengan melihat kondisi masyarakat itu, para dokter diharapkan bisa tergerak hatinya untuk tidak menjadi dokter di kota besar saja.

Indonesia juga kesulitan mengejar ketertinggalan dengan negara lain di bidang kesehatan, menurut dr Sani karena Indonesia masih dipusingkan dengan masalah-masalah kecil. Itulah sebabnya dukungan yang diberikan Departemen Kesehatan untuk PJNHK tidak bisa seratus persen.

Meski
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (sudah mantan) juga seorang kardiolog, ia tidak bisa hanya memikirkan masalah penyakit jantung, namun juga penyakit lainnya. Selain harus berurusan dengan penyakit negara maju seperti jantung, kanker, hipertensi, atau kencing manis, Indonesia masih berkutat pada penyakit-penyakit 'kecil' seperti demam berdarah, malaria, muntaber, dan infeksi saluran pernapasan. Padahal di negara maju seperti Amerika, penyakit infeksi seperti tetanus sudah sangat jarang ditemukan.

Itulah sebabnya, dr Sani melihat, masalah kesehatan bukan hanya tanggung jawab Departemen Kesehatan (Depkes). Dukungan dari masyarakat dan lembaga-lembaga sosial masyarakat untuk membantu Depkes sangat diperlukan. Khusus untuk penyakit jantung, PJNHK melalui Yayasan Jantung Indonesia (YJI) berusaha melakukan perannya secara optimal. Salah satunya melakukan penyuluhan di berbagai daerah.

Selain memberikan penyuluhan kepada masyarakat, dr Sani juga menulis sebuah buku tentang heart failure agar para dokter umum dan profesi kesehatan lainnya bisa paham seluk beluk penyakit jantung. Sebab jumlah penderita penyakit jantung terus bertambah. Dalam buku itu diterangkan, hidup sehat dan rutin berolahraga akan memperkecil kemungkinan terkena penyakit jantung.

Selama ini penyebab gagal jantung adalah penanganan penyakit awal yang kurang baik seperti hipertensi, diabetes, koroner, penyakit jantung katup, dan penyakit jantung infeksi. Bila hipertensi ditangani dengan baik maka angka gagal jantung akan turun menjadi setengah. Dr Sani juga melihat pengetahuan dokter umum dalam penanganan gagal jantung sangat rendah. Oleh sebab itu, lewat buku yang ditulisnya, dokter umum bisa mengetahui paradigma baru dalam penanganan gagal jantung. Dr Sani bersyukur kalau bukunya itu mendapat sambutan bagus dari para dokter umum.

Cinta Indonesia
Di tengah era globalisasi sekarang ini, banyak orang dengan berbagai alasan berlomba-lomba pindah keluar negeri dan kalau bisa mengganti kewarganegaraannya. Berbagai kesempatan dan tawaran untuk menetap di luar negeri juga datang kepada dr Sani, namun semuanya ia tampik.

Ia mengaku sangat mencintai Indonesia dan ingin memberikan dirinya untuk membangun negeri ini. Ia tetap teguh dengan pendiriannya itu meskipun semua saudaranya sudah pindah dan menjadi warga negara Amerika. Saudara-saudaranya berulang kali mengajaknya, namun dengan alasan yang masuk akal ia menjawab, "Kalau saya ikut kalian, siapa yang akan mengurus kalian bila pulang ke Indonesia." Dr Sani tidak bisa menyalahkan pilihan saudara-saudaranya itu sebab saat mereka pindah, kondisi Indonesia sedang sangat susah.

Pernah suatu kali, ibunya yang sakit ingin dibawanya pulang untuk berobat di Indonesia. Namun, dalam pemungutan suara di antara saudara-saudaranya, ia kalah. Seorang saudaranya bertanya kepada dia, apakah di Indonesia, sang ibu bisa dibawa ke rumah sakit dalam 15 menit. Sebuah pertanyaan yang bagi dokter paling berpengalaman pun cukup mengada-ada.

Belum lagi argumen dari saudaranya bahwa pelayanan kesehatan di Amerika sangat baik. Sang ibu mendapat tunjangan pensiun $3.000 dollar AS sedangkan kalau di Indonesia cuma mendapat Rp 170.000. Pertanyaan dan argumen saudaranya itu membuat dr Sani tidak bisa bersikeras memboyong ibunya berobat di Indonesia.

Meski banyak suara-suara negatif tentang Indonesia, dr Sani tetap mencintai Indonesia. Baginya Indonesia adalah negara besar yang memiliki segalanya. Namun mengapa, Singapura dan Jepang yang luas negara dan jumlah penduduknya lebih sedikit bisa lebih kaya. Ia melihat, keberhasilan negara-negara itu karena ada tenaga ahli yang mengelola. Indonesia sebenarnya mempunyai orang-orang yang cerdas dan berpotensi.

Ia mengambil contoh siswa-siswi pemenang olimpiade Fisika, yang menurutnya harus dididik dengan baik. Kalau perlu mereka dibebaskan biaya pendidikan. Jangan sampai anak Indonesia yang berpotensi itu putus sekolah karena biaya pendidikan yang semakin mahal sekarang ini. Termasuk biaya pendidikan untuk masuk fakultas kedokteran yang bisa ratusan juta rupiah. Bagi dr Sani, sudah sepatutnya pemerintah memprioritaskan pendidikan dan memenuhi janjinya meningkatkan anggaran pendidikan minimal hingga 20%.

Istri dan Anak
Berbagai keberhasilan dan karya yang ia sumbangkan tidak lepas dari peran istri dan anak-anaknya. Saat bercerita tentang istrinya, Firdanerri A. Sani, tersirat kebanggaan dan keharuan dari setiap kata yang keluar dari mulutnya. Meski sang istri seorang ibu rumah tangga biasa, kuliahnya di fakultas peternakan tidak selesai karena menikah, dr Sani mengaku bangga bisa memiliki pasangan hidup seperti dia. Bahkan dr Sani mengakui, tanpa bermaksud gombal, ia tidak akan bisa hidup tanpa istrinya.

Berbagai pujian tentang istrinya ia utarakan. Cantik, sangat setia, tidak pernah cemburu meski dr Sani mempunyai banyak pasien perempuan, sangat cekatan, perfeksionis, rapi bersih, dan pintar masak. Hingga kini, bila di rumah, dr Sani tidak pernah makan masakan orang lain. Meskipun waktu itu istrinya sedang sibuk-sibuknya sebagai Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI), sang istri tetap menyempatkan diri memasak di rumah. Kualitas lainnya adalah istrinya mau belajar dan banyak membaca, kualitas ini yang membuat istrinya bisa memimpin organisasi sebesar YJI.

Kedekatannya dengan sang istri juga buah dari pengalaman mengarungi hidup dalam suka dan duka. Kemanapun dr Sani pergi, ia selalu berusaha membawa istrinya. Bila ada seminar di mana saja termasuk di luar negeri, ia berusaha mengumpulkan ongkos untuk istrinya agar bisa ikut.

Saat dr Sani mengikuti seminar, istrinya pergi melihat pameran di tempat lain sehingga punya banyak wawasan. Istrinya pun sangat mendukung pilihan yang diambil dr Sani. Saat dr Sani masih menimba ilmu dan mereka sudah tidak punya uang lagi, sang istri rela pergi ke pasar menjual emas yang masih dimiliki untuk menutupi biaya hidup dan biaya sekolah. Sang istri selalu mengingatkannya untuk berhati-hati mengelola hidup, jangan terlalu berkelimpahan, jangan menyusahkan orang lain dan jangan mengemis kepada orang lain.

Dr Sani juga menceritakan sedikit kisah bagaimana sang istri bisa menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia. Semuanya berawal dari kesibukan sebagai ibu rumah tangga yang sudah sangat berkurang karena anak-anaknya sudah besar.

Selain itu, istrinya merasa terpanggil untuk menolong orang lain. Istrinya kemudian bergabung dengan YJI tahun 1985 sebagai relawan lalu berlanjut menjadi pengurus di bagian medik. Dimulai dari hal kecil seperti memperhatikan apakah ada pasien yang perlu dibantu. Bila ada pasien yang meninggal, istrinya datang ke kamar jenazah untuk mengurus keberangkatan jenazah itu esoknya. Dr Sani sering menemani istrinya melakukan hal itu. Agar lebih efisien, istrinya menjalin kerjasama dengan Garuda.

Diangkatlah beberapa pegawai untuk mengurus soal pemberangkatan jenazah tersebut sehingga istrinya tidak perlu lagi datang ke kamar jenazah. Istrinya juga banyak mencanangkan program atau kegiatan baru seperti program ibu angkat untuk pasien miskin yang sudah dioperasi. Ibu-ibu angkat ini kebanyakan adalah istri-istri duta besar dan pejabat. Ada pula upaya menggalang dana lewat malam dana. Dana yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk membiayai kegiatan preventive care melalui Yayasan Jantung Sehat dan Klub Jantung Remaja. Para guru dididik tentang kesehatan jantung di sekolah-sekolah.

Berkat kepemimpinan dan dedikasinya, sang istri kemudian dipercaya menjadi Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia untuk periode 2003-2008. Bersama sang istri, dr Sani bergerak membantu masyarakat yang tidak mampu dalam menangani penyakit jantung. Sosialisasi dan penyuluhan banyak dilakukan di cabang-cabang Yayasan Jantung Indonesia diantaranya Klub Jantung Sehat (KJS). Klub yang sudah ada di berbagai provinsi hingga kecamatan ini berdiri berkat swadaya masyarakat.

Dr Sani merasa bangga karena Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki klub yang terorganisasi dengan baik. YJI pernah mendapat penghargaan dari World Heart Federation berkat upayanya mengedukasi masyarakat lewat klub-klub tersebut. Dr Sani berterima kasih kepada para tokoh di belakang layar yang sudah banyak memberi dukungan di antaranya Bapak Bustanil Arifin beserta ibu, Prof. Dede Kusmana, Prof Hanafiah, dan masih banyak yang lain. Selesai menjabat sebagai ketua umum, sang istri kini menjabat Ketua 3 YJI.

Saat ditanya tentang anak-anak, dr Sani tambah bersemangat menjelaskan. Meski kedua putrinya tidak ada yang mau menjadi dokter, dr Sani tetap bangga terhadap mereka. Putrinya yang pertama, Annelia Sari Sani kini bekerja sebagai psikolog yang menangani anak-anak autis di sebuah Rumah Sakit Anak dan Bersalin. Putri kedua, Audianne Ferdiani Sani adalah lulusan sastra Jepang Universitas Indonesia dan S2 Jurusan Businness Communication KEIO University Tokyo Jepang. Putrinya ini sekarang banyak mengajar orang Jepang dan menerjemahkan komik-komik Jepang.

Sisa Waktu
Kini, di usianya yang sudah tidak muda lagi, dr Aulia Sani lebih banyak mengisi waktunya menjadi staf pengajar Bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan bekerja di unit rehabilitasi rumah sakit PJNHK. Sebagai pegawai negeri, ia seharusnya sudah pensiun, namun karena ilmu dan pengalamannya masih sangat dibutuhkan, ia diangkat lagi menjadi staf pengajar di UI. "Usia saya sudah 63 tahun. Sekarang saya lebih banyak terjun di bidang pendidikan, menulis, ceramah, di samping praktek," ujarnya sebelum mengakhiri wawancara dengan Tokoh Indonesia.

Dr Sani mengakui pekerjaan di unit rehabilitasi merupakan pekerjaan yang tidak menarik. Tidak banyak yang mau bekerja di situ karena 'tidak ada duitnya'. Sedangkan unit yang banyak duit ada di kamar kateterisasi, bedah jantung, dan poliklinik. Meski unit rehabilitasi kurang 'menjanjikan', namun dari unit inilah sebagian besar direktur berasal sebab keahlian manajemen mereka lebih bagus. Pengganti dr Sani yang kini menjadi direktur utama, dr. Faisal juga berasal dari unit rehabilitasi.

Dr Sani tidak menyesal berkiprah di unit rehabilitasi meski uangnya sedikit. Baginya unit rehabilitasi merupakan unit yang paling sulit karena membantu pasien untuk kembali hidup normal setelah terkena serangan jantung. Membangun kerjasama antara dokter, pasien dan keluarga pasien menjadi tantangan tersendiri di unit ini. Bagaimana mendidik para pasien untuk berpikir positif, rajin berolahraga, dan tetap melakukan pekerjaannya.

Dr Sani mencontohkan Bapak Habibie yang sudah menjalani operasi jantung tetap bisa mengemban tanggung jawab sebagai presiden. Menurutnya, orang yang jantungnya sudah dibalon atau di-bypass, tetap bisa hidup seperti orang normal. Membentuk paradigma yang benar dan mengembalikan semangat hidup pasien, itulah tugas para dokter di unit rehabilitasi.

Di sela kesibukan dan sisa waktunya, dr Sani juga ingin menulis buku sebanyak-banyaknya. Meski sudah berpengalaman menulis di berbagai majalah kesehatan serta telah memublikasikan lebih dari 40 penulisan ilmiah, menulis buku menjadi tantangan tersendiri baginya. Selain itu, dengan menulis buku, kebiasaan membaca buku bisa tetap terpelihara. Di sisi lain, keinginan menulis buku ini terkendala karena ia mengaku gaptek (gagap teknologi). Membuka dan berkirim e-mail bisa menjadi aktivitas yang membingungkan baginya.

Meski demikian, ia tetap berusaha mewujudkan mimpinya menulis buku. Ia tulis dulu materi bukunya lalu diketik pelan-pelan di rumah. Saat ini ia sedang menulis buku tentang hipertensi. Buku ini merupakan buku kedua. Buku pertamanya, Heart Failure yang dicetak 4.000 eksemplar habis laris manis.

Ada kebanggaan tersendiri dari buku pertamanya ini sebab bukunya itu dibaca oleh gurunya Prof Askin Hanafiah. "Buku ye bagus, ek sdh baca. Ye bakat menulis," kata sang guru memuji dr Sani. Setelah buku pertama ini dilepas ke pasar, dr Sani semakin sering diundang ke berbagai ceramah dan diskusi. Hingga kini, ia tetap fokus memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bagaimana mengelola kesehatan agar terhindar dari penyakit jantung. dgr,mlp – ***

Sumber:
Majalah Tokoh Indonesia Edisi 39 Thn V, Agustus-September 2008 - www.rumahkesehatan.com TI

(Akham Sophian)
Kategori : Profil
wwwwww