Dinilai Akan Merusak Ekologis di Sungai Siak, Koalisi Bersihkan Riau Desak Pemerintah agar Cabut Revisi UU Minerba

Dinilai Akan Merusak Ekologis di Sungai Siak, Koalisi Bersihkan Riau Desak Pemerintah agar Cabut Revisi UU Minerba

Koalisi bersih Riau bersama Nelayan melakukan aksi bentang spanduk yang bertuliskan "Selamatkan Sungai Siak" pada Jumat, (30/7/2021).

Sabtu, 31 Juli 2021 16:26 WIB
Rachdinal

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Sudah setahun lebih pengesahan Undang-Undang nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada 10 Juni 2020, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi telah mengesahkan perubahan UU yang disahkan bersama dengan pengesahan UU lainya di saat Indonesia bahkan dunia tengah berperang melawan Pandemi Covid-19.

Koalisi Bersihkan Riau (KBR) menilai perubahan UU minerba ini sarat masalah, serta hanya akan menambah ancaman kerusakan ekologi, terkhusus terhadap “Sungai Siak” yang saat ini telah tercemar berat.

Atas keresahan itu,k kumpulan aktivis yang terdiri dari alumni sekolah energi bersih Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), pegiat lingkungan dan nelayan Sungai Siak melakukan aksi dengan cara membentangkan spanduk di areal Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), Tenayan Raya pada Jumat, 30 Juli 2021.

Pembentangan spanduk tersebut dilakukan diatas perahu nelayan sungai siak sebagai bentuk dukungan terhadap uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini dilakukan oleh Tim advokasi UU Minerba untuk mencabut UU No.3 Tahun 2020. Lalu aksi dari Koalisi Bersihkan Riau ini juga sebagai langkah untuk memberitahukan kepada masyarakat Riau, khususnya masyarakat kota Pekanbaru bahwa situasi Sungai Siak dalam ancaman kerusakan ekologis.

“Revisi atau perubahan dalam UU Minerba menghapus dan mengubah ketentuan-ketentuan sentral dalam UU No. 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan mineral dan batubara. Ini membuat industri batubara di hulu dan di hilirnya minim pengawasan oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah, tentu ini merugikan masyarakat sekitar tambang batu bara juga sekitaran PLTU yang terdampak oleh Limbah Fly ash dan Bottom Ash dari PLTU,” Kata Noval Setiawan dari LBH Pekanbaru kepada potretnews.com, Sabtu (31/7/2021).

Diketahui PLTU milik PT PJB ini dalam menghasilkan listriknya menggunakan bahan baku batu bara. Diperkirakan pembangkit listrik yang berkapasitas 220 MW mampu mengahbiskan batu bara sebanyak 1 juta ton per tahun atau 1.824 ton per hari.

Selain itu, Noval juga menyebut pasal dari UU Minerba yaitu didalam pasal 162 dalam UU tersebut juga berpotensi adanya upaya untuk mengkriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang sehat di daerahnya. Ketidakpastian hukum dalam pasal tersebut akan mengakibatkan rasa takut dan tidak aman bagi masyarakat untuk membangun relasi, komunikasi, hubungan, penguasaan dan pengelolaan masyarakat atas tanah dan melakukan protes atau penuntutan terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran kasus yang terjadi di sektor pertambangan.

Sedangkan menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Fandi Rahman mengatakan bahwa dalam pasal 35 ayat 1 yang termaktub didalam UU baru itu, disebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Maka atas peralihan wewenang pemberian izin ini, Fandi menilai UU ini qkqn memberi kemudahan terhadap koorporasi mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang berakibat terjadinya kerusakan lingkungan hidup.

“Peralihan wewenang pemerintah daerah ke pemerintah pusat semakin memberi kemudahan koorporasi untuk mengekploitasi sumber daya alam yang berakibat pada rusaknya lingkungan. Jika demikian sama halnya dengan menyingkirkan hak masyarakat yang berada diatasnya. Jika melihat peta wilayah pertambangan Provinsi Riau, maka UU ini berpotensi mengakibatkan kerusakan yang luar biasa, sejalan dengan itu pertambangan akan menghilangkan budaya masyarakat adat yang telah lama hidup diatasnya,” terang Fandi Rahman dari Walhi Riau.

Tercemarnya sungai siak saat ini tidak lepas dari banyaknya limbah industri dari pabrik-pabrik yang berada di sekitaran sungai siak, salah satunya adalah PLTU Tenayan Raya. Maka perlu adanya tindakan dari pemerintah untuk segera melakukan pemulihan terhadap sungai siak. Kemudian Koalisi juga meminta pemerintah melakukan fungsi pengawasan untuk menindak perusahaan yang melakukan pembuangan limbah ke sungai siak melalui tahapan tahapan yang sudah diatur.

Disisi lain, salah satu nelayan Sungai siak yang biasa dipanggil Atan Keok ini mengungkapkan bahwa kondisi Sungai Siak saat ini tidak sebanding dengan dahulu sebelum banyak berdiri perusahaan, seperti Pabrik Kelapa Sawit (PKS), PLTU. Ditambah lagi saat ini tepat disamping PLTU juga telah berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang diperkirakan pada tahun 2021 ini akanberoperasi.

“Saat ini dikarenakan ada banyak perusahaan yang berdiri di pinggir sungai siak dan membuang limbahnya, pendapatan kami sebagai nelayan berkurang jauh karna ikan tak lagi mau mendekat,” ujar Atan Keok

“Kepada perusahaan-perusahaan yang berdiri di sekitaran Sungai Siak, jika membuang limbah jangan ke Sungai Siak. Karena yang terkena dampak dari limbah tersebut adalah masyarakat sekitar yang kesehariannya menggunakan air Sungai Siak, seperti mandi, mencuci baju, piring juga menggantungkan hidup sebagai nelayan,” pungkasnya. ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Lingkungan, Umum, Riau
wwwwww