Home > Berita > Umum

Dibangun Tahun 1937, Masjid Padekik di Bengkalis Pernah Dibakar Belanda saat Agresi Militer II

Dibangun Tahun 1937, Masjid Padekik di Bengkalis Pernah Dibakar Belanda saat Agresi Militer II

Masjid Sabilillah di Bengkalis.

Jum'at, 23 April 2021 20:30 WIB

BENGKALIS, POTRETNEWS.com — Satu di antara masjid unik di Riau adalah Masjid Sabilillah yang merupakan saksi bisu Belanda serang Bengkalis saat Agresi Militer II pada tahun 1949. Masjid Sabilillah yang menjadi masjid unik di Riau itu berwarna putih, berkubah hijau serta dihiasi ornamen kuning emas dan menjadi saksi sejarah saat Agresi Militer II Belanda tahun 1949.

Masjid Sabilillah yang masuk daftar masjid unik di Riau itu berdiri megah di Jalan K.H Rasyid Desa Padekik, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau dan pernah dibakar Belanda. Kemegahan Masjid Sabilillah ini semakin terasa saat berada di dalam masjid dengan suasana nyaman. Masjid Sabilillah ini memiliki dua lantai yang digunakan untuk tempat beribadah. Bagunan lantai dua ditopang dengan empat tiang penyanggah utama.

Tiang penyanggah terbuat dari beton dengan lapisan kayu dibagian bawahnya menambah keindahan masjid. Sementara plafon masjid terbuat dari kayu dengan warna alami kecoklatan menghiasi Masjid Sabilillah menambah kenyamanan mata memandang.

Bagian dalam memiliki luas sekitar 15 x 15 meter, dengan tujuh pintu termasuk pintu utamanya di bagian tengah serta antar pintunya dipenuhi jendela menembus cahaya masuk kedalam ruangan. Sekilas masjid ini tidak berbeda dengan masjid pada umumnya. Namun siapa sangka masjid ini ternyata punya nilai sejarah dan menjadi kebanggaan warga Desa Padekik. Masjid Sabilillah ini awalnya bernama Masjid Padekik dibangun pada tahun 1937 Masehi sebelum kemerdekaan. Waktu itu bangunan masjid cukup sederhana terbuat dari kayu, seperti masjid kecil biasa.

Bangunan pertama ini bertahan hingga tahun 1949 Masehi. Kemudian hancur rata dengan tanah setelah dibakar oleh Belanda saat Agresi Militer II Belanda yang juga menyasar pulau gambut ini. Kejadian ini diceritakan H Anwar Wakil Ketua Pengurus Masjid kepada Tribunpekanbaru.com ketika berkunjung. Menurut Anwar masjid ini sudah empat kali dibangun sejak awal berdiri sampai saat ini.

"Pertama dibangun tahun 1937 M dengan bangunan sederhana terbuat dari kayu.

Namun bangunan ini dihancurkan Belanda pada saat Agresi Militer II Belanda tahun 1949 M, setelah itu dibangun kembali oleh masyarakat Padekik dengan bangunan semi permanen," terang Anwar.

Bangunan ini kemudian diperbaharui kembali ditahun 1979 M. Meskipun masih dengan bangunan semi permanen bangunan ketiga ini diperluas dari sebelumnya.

"Barulah tahun 2011 lalu kembali dibangun dengan bangunan permanen. Saat ini masih berjalan pembangunannya," terang Anwar.

Nama masjid ini juga sudah berubah dari nama sebelumnya hanya Masjid Padekik menjadi Masjid Sabilillah . Nama Sabilillah disematkan karena saat terjadi Agresi Militer II Belanda tahun 1949 masjid ini menjadi markas Laskar Fisabilillah yang berhadapan dengan tentara Belanda.

Perang melawan Belanda pada Agresi Militer II di Bengkalis terjadi pada Januari 1949 lalu. Saat itu tentara Belanda memasuki Bengkalis melalui Selat Bengkalis dan turun di daerah Sungai Arang Parit Bangkong Bengkalis. Pasukan Belanda menyerang tentara Indonesia yang ada di Bengkalis saat itu bermarkas di Desa Padekik. Tentara Indonesia pada perang tersebut dipimpin oleh HR Subrantas.

"Masyarakat Bengkalis membantu tentara Indonesia untuk mengusir Belanda yang saat itu mencoba merebut kemerdekaan. Masyarakat yang turun langsung waktu itu menamakan diri sebagai Laskar Fisabilillah yang merupakan gabungan masyarkat Bengkalis dari beberapa desa," terang Anwar.

Laskar Fisabilillah ini bermarkas di Masjid Padekik dipimpin oleh Kyai Sudirman berasal dari Malaysia. Atas bantuan Laskar Fisabilillah ini pasukan Belanda berhasil mundur malam itu waktu menyerang Desa Padekik.

"Belanda menyerang pada malam hari, setelah berperang secara sengit akhirnya menjelang pagi Belanda memilih mundur kembali ke daerah Parit Bangkong, karena saat penyerangan dilakukan dua pasukan Belanda terbunuh, oleh Laskar Fisabilillah ," kata Anwar.

Sementara di tubuh Laskar Fisabilillah juga ketika perang yang dinamakan perang sosoh atau perang berhadapan ini juga mengalami korban jiwa. Setidaknya enam Laskar Fisabilillah meninggal dunia.

"Mereka yang gugur saat pertempuran tersebut kemudian dibawa ke masjid ini untuk dibersihkan dan diselenggarakan pemakamannya," tambah Anwar.

Sekitar pukul 08.00 WIB hari yang sama, beredar kabar tentara Belanda akan kembali menyerang. Masyarakat mendapatkan kabar ini langsung berpencar meninggalkan masjid.

"Saat Belanda sampai di masjid mereka tidak menemukan lagi Laskar Fisabilillah pagi itu. Kesal, tentara Belanda langsung membakar masjid ini dengan menggunakan minyak waktu itu ada sekitar masjid," tambahnya.

Sejak kejadian inilah Masjid Padekik berubah nama menjadi Masjid Sabilillah. Masyarakat membangun kembali bangunan masjid di tapak masjid yang sama secara swadaya.

"Dahulunya waktu perang Agresi Militer II Belanda, masjid ini tidak sekedar tempat ibadah saja.

Pejuang dahulu menggunakan masjid ini untuk rapat dan membahas strategi peperangan mengusir Belanda," terangnya.

Bangunan saat ini memang bukan bangunan aslinya, tetapi tapak yang digunakan untuk masjid masih tapak asli sebelum dibakar Belanda.

"Bangunan di lakukan pembagunan secara maksimal di tahun 2011 kemarin. Sampai saat ini masih berlanjut pembangunannya," terang Anwar.

Setelah masa perang usai, Masjid Sabilillah fungsinya kembali sebagai tempat ibadah dan pengajian agama. Bahkan di masjid ini secara rutin dilaksanakan kegiatan suluk pada tanggal 1 Muharam hingga tanggal 10 Muharam.

"Sampai saat ibadah suluk masih rutin dilakukan di masjid ini oleh tarekat nasabandiah. Pengajian mingguan bisa juga masih berjalan," terangnya. Selain itu pengurus masjid saat ini sedang membangun menara masjid. Pembangunannya sedang berjalan, menara dibangun dengan tiga tingkatan.

"Bagian bawah menara kita jadikan tempat MCK, kemudian lantai duanya rencananya akan digunakan sebagai pustaka. Sementara bagian atas barulah sebagai menara," terang Anwar.

Pustaka ini dibuat untuk dijadikan pusat ilmu pengetahuan bagi masyarakat di sini. Banyak buku dan kitab kitab dari orang orang terdahulu yang ditinggalkan di sini dari pesantren pesantren tempat mereka belajar. Dengan ada pustaka ini koleksi buku yang dititipkan bisa tersimpan rapi dan digunakan generasi yang akan datang. Masjid Unik di Riau, Masjid Jami Arruhama Punya 9 Pintu Masuk Membahas tentang masjid unik di Riau , satu di antaranya adalah Masjid Jami Arruhama di Pulau Rangsang, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Masjid Jami Arruhama yang menjadi masjid unik di Riau ini berada di Pulau Rangsang yang merupakan pulau terluar atau pulau terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain menjadi masjid unik di Riau , Masjid Jami Arruhama merupakan bukti sejarah di Pulau Rangsang sebagai pulau terluar.

Dari data yang dihimpun

Tribunpekanbaru.com , Masjid Jami Arruhama ini didirikan pada tahun 1920 Masehi oleh seorang tokoh ulama terkenal daerah setempat bernama H Baki Bin H Sulaiman.

Keberadaan dan nama Masjid Jami Arruhama ini tidak begitu akrab terdengar seperti masjid-masjid tua lainnya. Hal itu disebabkan tata letak masjid terpisah dari pusat kabupaten. Salah seorang tokoh dan mantan pengurus masjid Jami Arruhama, H Jang mengatakan, letak Masjid Jami Arruhama itu berada di Desa Permai, Kecamatan Rangsang Barat, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Dinding Masjid Jami Arruhama dominan berwana kuning yang dipadukan sedikit warna biru.

Kuning dijelaskan Jang merupakan filosifi identik dengan Melayu. Saat itu warna kuning adalah lambang dari kesucian yang hanya boleh digunakan sebagai warna rumah ibadah, istana dan pakaian keluarga kerajaan.

Sedangkan warna hijau juga menjadi warna kebanggaan terhadap budaya Melayu yang melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Luas lahannya tidaklah terlalu besar. Sementara lebar dan panjang bangunan tidak lebih dari 100 meter.

Bentuk atapnya limas betingkat dua, yang di duduki juga oleh satu kubah besar, dan satu kubah kecil. Kubah utama ditopang oleh empat tiang di dalamnya. Menarik dan unik nya terlihat dari fisik Jami Arruhama dengan sembilan pintu utama yang memiliki simbol tersendiri oleh pendirinya. Jang menceritakan keberadaan sembilan pintu tersebut menggambarkan sembilan wali asal tanah jawa yang terkenal hingga ke tanah melayu pada abad ke 14 silam.

"Itu arti sembilan pintu menggambarkan sembilan orang walisongo dari tanah jawa.

Sementara empat tiang di dalam masjid melambangkan empat madzhab terbesar yang sering diikuti yang terdiri dari Madzhab Maliki, Hanafi, Hambali dan Syafi'i," ungkapnya.

Simbol yang tertuang dalam struktur Masjid Jami Arruhama sepenuhnya berasal dari pemikiran pendirinya H Baki Bin H Sulaiman. Tidak sampai disitu, untuk membangun masjid tersebut, H Baki dibantu oleh temannya warga tionghoa asal negara seberang yang bernama King Kok. Hal ini memang erat kaitannya dari sejarah Kepulauan Meranti yang dikenal sebagai daerah perdagangan, dimana banyak padagang asal Tiongkok yang dulunya singgah di Kepulauan Meranti sebagai daerah perbatasan.

"Dalam membangun masjid ini H Baki dibantu oleh temannya berasal dari negara Singapura. Namanya King Kok orang china," ungkapnya.

Setelah selesai dibangun, imam pertama Masjid Jami Arruhama dipimpin oleh H Muhammad Yunus Nasution. Diungkapkan Jang, ketika itu H Yunus memang dikenal sebagai pengajar dan alim ulama asal Sumatra Utara. Ketika itu diungkapkannya, Masjid Jami Arruhama juga dijadikan sebagai pusat keagamaan oleh warga pulau Rangsang. Seluruh warga rangsang belajar agama di sana.

"Gurunya itu adalah H Yunus yang juga merangkap sebagai imam," ujarnya.

Namun setelah masuk pada tahun 1938 H Yunus meninggalkan Pulau Rangsang, dan memutuskan pindah dan menetap di Selatpanjang yang kini sebagai pusat Kabupaten Kepulauan Meranti. Ditinggal pergi oleh sang imam, pengurus masjid yang dipimpin oleh H Baki melimpahkan tanggung jawab imam kepada Abdulrrahman Bin Jamaludin, Dahlan Bin H. Wahid, Abdul Rahman Bin Gebut. Begitu juga setelah H Baki wafat, kepengurusan masjid berpindah kepada anaknya, yakni H. M Ali Bin H Baki. Hingga saat ini keberadaan masjid masih menjadi dambaan warga setempat.

Apalagi saat Ramadhan.

Selain hidupnya sholat lima waktu secara berjamaah, tarawih, juga aktifitas tadarus dan i'tikaf berlangsung dalam satu bulan penuh. Sesuai keterangan yang dihimpun, keberadaan masjid ini menambah list masjid tua bersejarah di Kepulauan Meranti. Bahkan Jang mengklaim bahwa Masjid itu merupakan masjid tertua yang ada di Kabupaten termuda di Provinsi Riau tersebut.

"Jadi sebenarnya masjid ini adalah yang paling tua di sini dilihat dari sejarahnya," tuturnya, melansir Tribunnews.com.

Walaupun demikian Jang mengatakan saat ini masjid tersebut belum banyak perubahan sejak jaman Kepulauan Meranti belum dimekarkan.

"Kita berharap kepada pemerintah agar masjid ini diperhatikan karena sejarah yang kuat, dulu sempat direnovasi namun itu masih saat jaman Bengkalis," pungkasnya. ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Umum, Bengkalis
wwwwww