Home > Berita > Riau

MA Kabulkan Gugatan Perda RTRWP Riau 2018—2038, Ornop Sebut Masyarakat Selamat dari Bencana Ekologis

MA Kabulkan Gugatan Perda RTRWP Riau 2018—2038, Ornop Sebut Masyarakat Selamat dari Bencana Ekologis

Suasana diskusi yang digelar Jikalahari dan Walhi Riau, kemarin siang.

Jum'at, 22 Januari 2021 08:20 WIB
Rachdinal

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Dua organisasi nonpemerintah (ornop) di Riau; Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengadakan diskusi dan media briefing di salah satu tempat di Kota Pekanbaru, Kamis (21/1/2021) siang.

Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, diskusi ini membahas terkait pasca dikabulkannya permohonan Judicial Review Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2018 -2038 oleh Mahkamah Agung (MA).

Berdasarkan pantauan potretnews.com, acara ini turut dihadiri Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Datuk Seri Al Azhar dan Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Boy Even Sembiring sebagai narasumber diskusi tersebut.

“Sejak 2019 Jikalahari dan Walhi menggugat Perda RTRWP Riau 2018 – 2038 ini, sebab dari awal isi ranperda nya memang sudah mau menggerus atau mengubah kawasan hutan menjadi non kawasan hutan” kata Koordinator Jikalahari, Made Ali pada saat menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.

Made menyampaikan bahwa pada 12 Agustus 2019, Jikalahari bersama Walhi Riau mendaftarkan Permohonan Keberatan (Judicial Review) ke MA terhadap Perda 10 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Prvovinsi Riau.

Kemudian diskusi di lanjutkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan. Ia menyampaikan bahwa jika bicara perhutanan sosial, angka ketimpangan ruang wilayah di Riau sangat tinggi, dimana delapan puluh persen wilayah Riau itu dikuasai koorporasi, sedangkan masyarakat sangat sedikit diberikan akses atau pengakuan untuk pengakuan wilayahnya.

“Dari perda ini kita melihat secara kewenangan Pemerintah Riau dan DPRD Riau waktu itu Overlap atau Offside dalam membaca kewenangannya, karena untuk izin kawasan hutan berupa perhutanan sosial tidak harus secara teknis direkomendasi dan ditangani Gubernur dan DPRD” ujar Riko.

Menurut Riko berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan, Daerah hanya mempersiapkan Kelompok Kerja (Pokja) perhutanan sosial saja. Dimana Pokja ini merupakan akselerasi percepatan kerja – kerja teknis bagaiamana usulan masyarakat itu dilakukan.

“Hal ini lah yang menjadi dasar kita menggugat Perda tersebut, dimana terjadinya keterlambatan rakyat dalam mengurus akses perhutanan sosial, karena didalam perda itu menyebutkan jika ingin mengurus izin dari Gubernur Riau dan Ketua DPRD Riau,” tuturnya.

Lalu Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Boy Even Sembiring sangat mengapresiasi MA yang sudah memutuskan gugatan terkait Perda RTRWP Riau 2018-2038.

“Sebenarnya sangat disayangkan sebab salinan putusannya sangat terlalu lama kita terima, namun keputusan MA ini harus diapresiasi. Walaupun sudah putus namun salinan putusannya belum diterima akhirnya menyebabkan proses perhutanan sosial di Riau terhambat,” terangnya.

Boy melanjutkan bahwa pasca digugat, putusan uji materil dikeluarkan oleh MA pada 3 Oktober 2019. Tetapi setelah adanya putusan perkara ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berani memverifikkasi perhutanan sosial di Riau, karena sudah mendapat kabar bahwa putusannya dikabulkan semua oleh MA.

Di penutupan acara, Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Datuk Seri Al Azhar menyampaikan jika bicara tentang RTRWP Riau bahwa ada dua kerumitan yang ia ingin ungkapkan.

“Pertama, betapa sulitnya kita memiliki RTRWP, jadi dari mulai penyusunan draft dan seterusnya pada akhirnya sampai urusannya di tingkat pusat. Kerumitan kedua, terlihat juga bahwa membuat RTRWP yang menyenangkan semua pihak itu amat sangat tidak mudah,” Ungkapnya.

Datuk Seri Al Azhar menambahkan hal yang sangat memperumit RTRWP ini karena sejak orde baru bahwa Riau ini di konstruksi sebagai kawasan eksploitasi penyumbang devisa negara sebesar-besarnya.

“Semua kita tahu, tetapi zaman berubah, sekarang kita sudah memasuki era reformasi yang seharusnya melakukan tindakan-tindakan korektif. Dimasa orde baru kita mengalami macam-macam bencana ekologis sampai di penghujungnya tahun 1997, yakni bencana asap yang begitu masif di Riau,” Kesalnya.

Ia menambahkan, jika bicara tentang kedaulatan adat, kebijakan-kebijakan pada tingkat pusat terlihat ada keberpihakan terhadap amanat konstitusi yaitu UUD 1945, amanat deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) kepada masyarakat adat.

“Tetapi kenyataannya, semua itu macet pada tingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Kalau masyarakat adat yang mengusulkan hutan adat lambat sekali prosesnya dengan berbagai macam alasan. Karena apa? Karena itu untuk rakyat bukan untuk kapitalis. Kalau itu untuk kapitalis pasti sangat cepat itu prosesnya,” pungkasnya. ***

Kategori : Riau, Umum
wwwwww