Pernah Lontang-lantung di Kandis Siak Tahun 1989—1990 hingga Terserang Malaria, Radiapoh Sinaga Kini Bersaing Rebut Kursi Bupati Simalungun

Pernah Lontang-lantung di Kandis Siak Tahun 1989—1990 hingga Terserang Malaria, Radiapoh Sinaga Kini Bersaing Rebut Kursi Bupati Simalungun

Radiapoh Hasiholan Sinaga SH/MISTAR.id

Minggu, 25 Oktober 2020 19:25 WIB

SIMALUNGUN, POTRETNEWS.com — Radiapoh Hasiholan Sinaga SH kini menjadi salah satu sosok yang populer di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, seiring penetapannya sebagai salah satu calon bupati yang akan menggantikan kepala daerah sekarang, JR Saragih.

Pria yang yang dikenal dengan panggilan akrab ”RHS” merupakan putra asli Simalungun yang dilahirkan pada 18 Juni 1968 buah pernikahan pasangan Alm. St. Jahisar Sinaga (gelar Raja Angin) dan Almh. Korlina Br. Saragih.

Melansir mistar.id, RHS menempuh pendidikan di SD Negeri 01 Tigarunggu, SMP Negeri Tigarunggu dan Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) di Pamatang Raya dan lulus pada tahun 1988.

Sebagaimana lazimnya anak-anak Petani di kampungnya, RHS sepulang sekolah harus ke ladang membantu kedua orangtua.

Setamat dari SMTP Pematang Raya, RHS harus diperhadapkan dengan pilihan untuk masa depannya. Antara melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang ada di kota-kota besar, pergi merantau mencari kerja atau justru tetap tinggal di kampung menjadi seorang petani.

Karena keterbatasan biaya, RHS akhirnya mencoba pertanian dengan menanam tomat di kampungnya, karena ada bekal pertanian yang dienyamnya selama duduk di bangku Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) Pematang Raya.

Berkat Tuhan, hasil tanamannya berbuah manis, namun disayangkan tidak dibarengi harga jual yang layak, sehingga hasil panen justru merugi karena harga yang merosot

Tak ingin berpangku tangan pada nasib, RHS lantas banting setir bekerja sebagai buruh harian lepas di peternakan ikan deras di Haranggaol, milik DR. Wimson F Purba, seorang pejabat kantor perwakilan PBB di Indonesia, di sana RHS bekerja setengah tahun lebih.

Meski tekun bekerja di peternakan ikan tersebut, namun tak kunjung bisa merubah nasibnya. Saat itu justru Haranggaol ditimpa musibah ikan mas bermatian karena virus.

Alhasil, tahun 1989—1990, RHS pun terpaksa memilih untuk merantau ke Kandis Riau. Berbekal uang Rp13.000 di saku, RHS menumpang Bus Laut Tawar dengan tujuan Pasar Minggu, Kandis, Riau. Dengan biaya ongkos Rp7.500, sehingga RHS hanya memiliki sisa uang Rp5.500 di saku.

Sebulan di Kandis, RHS hidup luntang-lantung, makan terancam dan tidur di gudang kosong atau emperan toko.

Di Kandis rata-rata perantau biasanya bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan yang hendak membuka lahan perkebunan kelapa sawit hingga ke pedalaman Siak.

Karena tidak ada pilihan, RHS pun mencoba keberuntungannya dengan para perantau lainnya. Para pekerja pembukaan lahan tersebut biasanya orang-orang yang bermasalah di kampungnya, dan mereka melarikan diri atau sembunyi dari lawan atau aparat keamanan.

Binatang buas dan perkelahian antar pekerja atau antar kelompok pekerja bisa jadi ancaman jiwa. Ibarat ungkapan, ”Hidup Pakai, Mati Dibuang”.

Selama bekerja di Hutan, RHS terserang penyakit Malaria Tropica akut, sehingga RHS hampir menyerah dengan kondisi tubuhnya yang melemah.

Atas saran teman-temannya, RHS pun terpaksa pulang kampung ke Tigarunggu. Selama di kampung, RHS menjalani perawatan hingga pulih dari sakit yang di deritanya.

Sembari berobat, RHS tetap mencari lowongan pekerjaan. Tahun 1990, RHS mengajukan lamaran ke perusahaan milik DL Sitorus, PT. Torgamba dan puji Tuhan diterima di bagian koperasi simpan pinjam, sekaligus sebagai pekerja di perusahan sawit tersebut.

Selama bekerja di Torgamba, RHS berpindah-pindah antara Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau. Banyak pengalaman yang ditimbanya, sehingga tahun 1999, akhirnya ia mengundurkan diri dan mencoba berwiraswasta.

Usaha pertama yang di gelutinya adalah koperasi simpan pinjam kecil-kecilan di tempatnya yang baru, yakni Tanjung Pinang di Pulau Bintan, Provinsi Riau (Kepri).

Pelan tapi pasti, usaha yang dijalankannya dengan ketekunan dan kerja keras itupun akhirnya membuahkan hasil dan berkembang pesat.

Dengan adanya perbaikan nasib, RHS pun menikah dengan pujaan hatinya, Ratnawati Br. Sidabutar di tahun 1993 dan dikaruniai tiga anak perempuan dan seorang laki-laki.

Sementara itu usaha koperasi simpan pinjam miliknya mulai berkembang dan cabang-cabangnya melebar hingga ke Pekanbaru. Berbekal pengalaman kerja selama di Perkebunan sawit, RHS pun mencoba hal baru yaitu berkebun sawit di Riau dan Kalimantan hingga berkembang pesat.

Pada tahun 2007, RHS mengekspansi bisnisnya ke bidang pengembang perumahan (developer/properti) yang mencakup 16 perusahaan yang berkibar di Kota Batam, Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun hingga Pekanbaru, Cikarang (bekasi) dan Sampit (Kalteng).

Sambil menggeluti usaha bisnisnya, RHS memiliki keinginan yang kuat untuk bisa mengeyam pendidikan tinggi, pada tahun 2013, RHS mendaftar ke Fakultas Hukum Universitas Batam dan menyelesaikan bangku perkuliahan tahun 2017.

Setelah sukses di usaha bisnis hingga menjadi Pengusaha Sukses ternama di Kota Batam. RHS mempunyai kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya Simalungun, yaitu Membangun kampung halamannya Kabupaten Simalungun makin kuat, dan ingin mengabdi hingga RHS mencalonkan diri menjadi Bupati Kabupaten Simalungun.

Menyadari keinginan suaminya yang kuat untuk membangun Kampung halamannya, sang istri tercinta dengan mantap menyatakan setuju dan mendukung niat tulus dan mulia sang suami untuk memajukan Kabupaten Simalungun. ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Politik
wwwwww