Cara Jaringan Taiwan Selundupkan Sabu di Laut Indonesia; Pakai Jasa Nelayan, Kapal yang Digunakan Berulang Kali Ganti Nama

Cara Jaringan Taiwan Selundupkan Sabu di Laut Indonesia; Pakai Jasa Nelayan, Kapal yang Digunakan Berulang Kali Ganti Nama

Gambar hanya ilustrasi, tidak terkait dengan berita/KOMPAS.com

Minggu, 26 Juli 2020 12:19 WIB

JAKARTA, POTRETNEWS.com — Selalu ada saja cara sindikat narkoba internasional untuk memasukkan barang haramnya ke Indonesia. Nelayan asal Taiwan diduga menjadi bagian sindikat penyelundup narkotik ke Tanah Air.

Kapal yang digunakan berulang kali berganti nama untuk menghindari pantauan petugas keamanan. Sekali berlayar, kapal penyelundup bisa berulang kali memindahkan muatan berisi sabu.

HUANG Ching An menerima tawaran menjadi juru mesin kapal barang dari sahabat lamanya, Ceng Ching Tun, di tempat karaoke di Ping Tong, Taiwan, pada akhir 2017.

Seseorang yang mengaku sebagai pemilik kapal lalu menelepon dan menawarkan upah NT$ 80 ribu atau sekitar Rp39 juta dalam satu kali perjalanan. ”Pekerjaannya tidak mencurigakan, maka saya mau,” kata Ching An, 50 tahun, melalui sambungan telepon kepada Tempo dengan dibantu seorang penerjemah, 23 Juni lalu.

Karier Ching An sebagai pelaut terhenti dua tahun lalu. Kapal patroli milik TNI Angkatan Laut, KRI Sigurot 864, menangkap kapal MV Sunrise Glory pada 7 Februari 2018.

Di samping berawak Huang Ching An dan Ceng Ching Tun, kapal ikan itu membawa dua awak lain: Ceng Cung Nan dan Hsieh Lai Fu. Mereka ditangkap saat berada di perairan Selat Phillips yang berbatasan dengan Kepulauan Riau.

Kapal itu membawa 41 karung berwarna putih berisi sabu seberat 1,03 ton yang disembunyikan di dalam palka. Badan Narkotika Nasional (BNN) melanjutkan pemeriksaan itu, lalu memproses Ching An dan teman-temannya hingga menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Batam.

Majelis hakim memvonis Ching An hukuman seumur hidup pada 29 November 2018. Tiga awak lain divonis hukuman mati. Belakangan, Pengadilan Tinggi Pekanbaru memvonis Ching An hukuman mati. Empat warga Taiwan itu kini mendekam di Rumah Tahanan Barelang, Batam, Kepulauan Riau.

Ching An mengaku baru menyadari tak bekerja sebagai juru mesin di kapal barang saat hendak berlayar dari salah satu pelabuhan di Singapura. Ia juga mengaku tak mengenal pemilik kapal dan dua awak lain yang dibawa Ching Tun. Seseorang bernama A Ho bertugas menyiapkan kapal ikan MV Sunrise Glory.

A Ho masih buron hingga kini. Sunrise Glory ternyata memiliki banyak nama. Sebelumnya, kapal berkelir putih itu bernama MV Shun De Man 66, Shun De Ching 12, dan Shun De Ching 14. Ching An sempat menolak bekerja karena kapal ikan itu tak memiliki dokumen resmi.

Namun A Ho meyakinkan mereka bahwa Ching Tun, yang bertugas sebagai kapten, bakal membereskan urusan dokumen perkapalan. Ching An menuruti rayuan A Ho. Mereka akhirnya berlayar pada November 2017. Selama hampir dua minggu di tengah laut, Ching An mendengar sahabatnya, Ching Tun, kerap bertelepon dengan seseorang.

”Tapi saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan,” ujarnya. Sunrise Glory diduga sudah dua kali berlayar mengantarkan sabu. Menjelang pelayaran pertama, empat awak kapal terbang dari Taiwan menuju Singapura pada 25 November 2017.

Mereka mendapati Sunrise Glory sudah dalam keadaan siap berlayar di salah satu pelabuhan Singapura. Di pengadilan, Ching An mengatakan kapal yang dinaikinya berlayar ke arah Samudra Hindia selama tiga-empat hari.

Mereka bertemu dengan sebuah yacht di sana. Sebanyak 40 karung muatan Sunrise Glory berpindah ke kapal tersebut. Setelah merampungkan tugas pertama, Sunrise Glory berlayar kembali hingga dua pekan.

Di salah satu lokasi, mereka bertemu dengan kapal lain dan mengoper puluhan karung. Ching An mengaku tak mengetahui karung-karung itu berisi sabu. BNN menduga sabu di Sunrise Glory berasal dari Myanmar.

Reuters dalam artikel ”The hunt for Asia’s El Chapo” menuliskan pergerakan Sunrise Glory terlacak saat polisi Taiwan menangkap Cai Jeng Ze pada 15 November 2016 di Bandar Udara Internasional Yangon, Myanmar.

Jeng Ze adalah gembong narkotik asal Taiwan yang diduga memiliki pabrik sabu di Myanmar. Dari telepon seluler milik Jeng Ze, polisi menemukan komunikasi ke sejumlah pihak di Myanmar. Ia diduga mengorganisasi sejumlah kapal nelayan untuk mengangkut narkotik. Salah satu jejak koordinat transaksi diperkirakan di Laut Andaman yang berbatasan dengan Aceh.

Sunrise Glory juga berinteraksi dengan kapal Australia, MV Valkoista, yang dibeli warga negara Australia, Joshua Joseph Smith, awal Juli 2017. Polisi Australia mencurigai pembelian ini karena Smith tak memiliki lisensi pelaut.

Polisi Australia memperkirakan Valkoista akan bertemu dengan Shun De Man 66 alias Sunrise Glory di perairan Australia Barat. Dokumen persidangan menyebutkan Kepolisian Federal Australia menginformasikan rencana transaksi itu kepada BNN.

Sejak itu, BNN membuntuti Sunrise Glory alias Shun De Man 66. Pada 10 Desember 2017, Shun De Man 66 terdeteksi berada di perairan Selat Andaman menuju ke arah pantai barat Sumatera. Mereka melaut di luar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Kapal ini terpantau menuju Samudra Hindia dan berlanjut ke perairan Australia. Hampir dua pekan berikutnya, Kepolisian Federal Australia dan Joint Organised Crime Task Force Australia Barat menangkap Valkoista di Pelabuhan Geraldton, sekitar 400 kilometer di utara Perth. Kapal itu kedapatan membawa 1,2 ton sabu dalam 59 karung. Kepolisian Australia menduga narkotik di Valkoista berasal dari Shun De Man 66.

Huang Ching An dan rekan-rekannya lolos dalam penggerebekan itu. Sepekan setelah penangkapan di Australia, BNN mengendus Shun De Man 66 berlabuh di Pelabuhan Jurong, Singapura. Pada 29 Desember 2017, kapal itu berlayar menuju Laut Andaman dan Samudra Hindia.

Ching An mengatakan, setelah berlayar berhari-hari di tengah laut, mereka berlayar kembali ke Singapura. Pada 8 Januari 2018, pelayaran pertama selesai dan mereka kembali ke Taiwan. Tiga pekan beristirahat, empat awak itu terbang ke Penang, Malaysia, pada 27 Januari 2018 untuk menjalankan misi kedua.

Dua hari kemudian, mereka membawa kapal ikan Shun De Man 66 yang sudah bersalin nama menjadi MV Sunrise Glory. Hingga akhirnya, pada 7 Februari 2018, kapal patroli TNI Angkatan Laut, KRI Sigurot 864, mendekati Sunrise Glory di Selat Phillips.

Melalui pengeras suara, kapal perang di bawah komando Mayor Arizona Bintara itu meminta Sunrise Glory berhenti. Namun kapal itu justru menambah kecepatan. ”Kami melakukan kontak radio namun tidak ada jawaban,” kata Arizona dalam dokumen persidangan.

KRI Sigurot 864 berhasil memepet Sunrise Glory, kemudian mengaitkan tali ke haluan kapal itu. Saat diperiksa, Ching An dan kawan-kawan tak bisa menunjukkan dokumen asli kapal. Semua dokumen hanya berbentuk fotokopi dan diduga palsu.

Tak satu pun awak kapal bisa berbahasa Inggris. Kecurigaan petugas patroli bertambah karena ada banyak bendera negara di dalam kapal. Apalagi kapal ikan itu hanya memiliki empat awak. Seharusnya kapal ikan yang setipe dengan Sunrise Glory memiliki setidaknya 15 anak buah kapal untuk mengoperasikan jaring ikan. Dalam penggeledahan, petugas menemukan 1,03 ton sabu.

Kepala BNN Heru Winarko mengatakan salah satu modus Sunrise Glory mengelabui petugas adalah mematikan automatic identification system (AIS). Ini adalah sistem pemancaran radio very high frequency yang mengirimkan data dan menerima informasi secara otomatis ke kapal lain.

Indonesia baru mengeluarkan peraturan kewajiban mengaktifkan AIS pada 20 Februari 2019. Sunrise Glory juga tidak menyediakan informasi vessel monitoring system (VMS) atau sistem pemantauan kapal perikanan. Kementerian Kelautan Taiwan pernah lima kali mendenda MV Shun De Man alias Sunrise Glory.

Nilainya mencapai 3,3 juta yuan pada Agustus 2017. Pada April 2018, Kementerian Kelautan kembali menghukum pemilik kapal dengan denda 12 juta yuan. Mereka juga mencabut izin tangkap kapal karena pemiliknya tak melaporkan peralatan sistem informasi.

Mantan Sekretaris Kepolisian Taiwan di Indonesia, Li Jianzhi, mengatakan kapal yang memiliki banyak nama itu sering berlayar tidak sesuai dengan rute yang ditentukan.

”Mereka juga kerap mengubahnya,” ujar Li Jianzhi kepada The Reporter.

PENANGKAPAN
Sunrise Glory menjadi gambaran maraknya penyelundupan narkotik di perairan Kepulauan Riau. Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko menduga Sunrise Glory membawa sabu produksi Myanmar. Salah satu wilayah di negara itu yang memproduksi sabu adalah Shan State.

Di kawasan ini, sindikat narkotik memiliki pabrik dan pasukan bersenjata sendiri. Sabu produksi Shan State beredar ke Australia, Asia Timur, Amerika Serikat, dan Indonesia. ”Distribusinya memang menggunakan nelayan Taiwan,” kata Heru.

Penggunaan nelayan sebagai kurir narkotik sejalan dengan temuan riset Dyhia Belhabib dan kawan-kawan yang berjudul “Narco-Fish: Global fisheries and drug trafficking” yang diterbitkan Ecotrust Canada pada 12 Mei lalu.

Hasil penelitian menunjukkan perdagangan narkotik yang menggunakan kapal nelayan meningkat drastis pada 2010-2017. Belhabib menelusuri 292 kasus yang terkait dengan penyelundupan narkotik melalui kapal nelayan di berbagai negara.

Penelitian ini juga menemukan jumlah transaksi narkotik secara global meningkat tiga kali lipat selama delapan tahun terakhir. Volume transaksi narkotik mencapai 522,1 ton dengan nilai penjualan US$ 16,5 miliar atau setara dengan Rp 241 triliun.

Meski secara volume meningkat, Belhabib menemukan pengemasan narkotik, termasuk lewat kapal nelayan, terus mengecil setiap tahun. Mereka menduga, ”Ini untuk mengurangi risiko penangkapan.” Sepanjang 2020, aparat keamanan Indonesia telah tiga kali mengungkap perdagangan narkotik yang menggunakan jasa nelayan.

Aktivitas mereka tak berhenti meski pandemi Covid-19 meluas di dunia dan Tanah Air. Penangkapan penyelundup sabu terbesar berlangsung pada 21 Juni 2020. Satuan Tugas Direktorat Jenderal Bea-Cukai menangkap kapal KM Taupin Jaya yang membawa 119 kilogram sabu.

Narkotik itu dibawa dari Malaysia melalui perairan sekitar Kepulauan Riau. Kapal ini ditangkap di perairan Krueng Peureulak, Aceh Timur. Kepala BNN Kepulauan Riau Brigadir Jenderal Richard M. Nainggolan mengatakan sindikat narkotik memanfaatkan nelayan yang lemah secara ekonomi sebagai kurir dengan sistem sel terputus.

Artinya, “Nelayan-nelayan itu tak mengetahui siapa pengirim dan penerima narkotik itu,” ujar Richard. Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Kepulauan Riau Komisaris Besar Mudji Supriadi mengatakan para nelayan memanfaatkan perairan internasional sebagai lokasi transaksi.

”Di sana mereka memindahkan barang,” tutur Mudji pada 9 Juni lalu. Faktor lain yang kerap menyulitkan perburuan terhadap penyelundup narkotik adalah banyaknya jalur tikus di wilayah kepulauan itu. Bahkan, kata Mudji, ada beberapa pantai wisata yang kerap dimanfaatkan sindikat penyelundup narkotik.

Modus lain adalah menggunakan kapal cepat dengan kapasitas mesin lebih besar daripada milik petugas patroli. Menurut Mudji, mereka juga kerap bertransaksi tengah malam, mematikan lampu kapal, serta memanfaatkan kemampuan navigasi nelayan lokal atau tekong. Seorang tekong umumnya menerima upah Rp 10-15 juta per transaksi.

”Mereka menjadi penunjuk jalan dengan memanfaatkan kondisi alam seperti arah bintang ketika lampu kapal padam,” kata Mudji. Namun kapal ikan MV Sunrise Glory lebih mengandalkan teknologi untuk bertransaksi. Bos sindikat membekali Ching Tun, nakhoda kapal, dengan telepon satelit. Mereka menerima perintah untuk berlayar sesuai dengan koordinat yang dikirim lewat telepon saat berada di laut.

”Kami tidak mengenali pemilik suara di telepon itu,” kata Cung Nan, awak yang bertugas mengoperasikan telepon satelit, ketika bersaksi di Pengadilan Negeri Batam. ***/Riau

Artikel ini telah terbit di tempo.co

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Hukrim
wwwwww