Home > Berita > Riau

Baca Pledoi di PN Siak, PH Terdakwa Dugaan Pemalsuan SK Menhut Singgung Gaya "Nyentrik" Saksi Ahli JPU

Baca Pledoi di PN Siak, PH Terdakwa Dugaan Pemalsuan SK Menhut Singgung Gaya Nyentrik Saksi Ahli JPU

Dr Mahmud Mulyadi saat di persidangan.

Selasa, 02 Juli 2019 19:35 WIB
Sahril Ramadana
SIAK, POTRETNEWS.com  - Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Suratno Konadi dan mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Siak Teten Effendi kembali menjalani persidangan atas kasus dugaan pemalsuan SK Menhut tentang Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) di Pengadilan Negeri (PN) Siak, Selasa (2/7/2019). Tim penasihat hukum (PH) terdakwa membacakan nota pembelaan (pledoi) atas tuntutan jaksa. Ada 62 halaman yang dibacakan.

Salah satu poin pembelaan yang menarik perhatian, ketika penasihat hukum terdakwa menyinggung soal saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang mendengarkan keterangan saksi ahli 16 Mei 2019 lalu.

Bukan hanya keterangan saksi ahli saja yang dipersoalkan, PH terdakwa juga mengganggap penampilan salah satu saksi ahli dari JPU itu juga tidak selayaknya akademisi.

Ini ditujukan untuk Dr Mahmud Mulyadi. Tim PH terdakwa menilai gaya yang diperlihatkan dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU) itu tidak selayaknya akademisi. Maka, menurut PH terdakwa Dr Mahmud tidak layak dijadikan sebagai saksi ahli dalam perkara tersebut.

"Itu memang fakta yang terungkap dalam persidangan. Seharusnya seorang ahli mencerminkan akademik. Dan dijadikan sebagai contoh. Karena persidangan ini persidangan yang mulia," kata ketua tim penasihat hukum terdakwa, Yusril Sabri, menjawab potretnews.com.

"Fakta yang terlihat penampilannya kan tidak seperti akademisi. Ini terlihat dari gaya rambut seperti anak funk, memakai kalung, mengenakan celana jeans dan sepatu lancip saat diminta pendapatnya dalam perkara ini. Jadi menurut hemat kami, dia tidak pantas dijadikan saksi ahli, dan kesaksiannya kami tolak," terang Yusril Sabri.

Sebenarnya itu hak dari Dr Mahmud, kata Yusril. Namun sebagai akademis yang dimintai pendapatnya, itu tidak layak diperlihatkan. Belum lagi, sesuai dengan aturan permohonan yang diminta kepada saksi ahli adalah ahli administrasi bukan pidana.

"Faktanya, Dr Mirza Nasution dan Dr Mahmud Mulyadi ahli pidana bukan administrasi. Sebelumnya kami juga mengajukan saksi ahli yakni Fery Ansari dan Muzakkir. Walau bagaimana pertanyaan Jaksa di persidangan, mereka tetap tegar dengan prinsip akademiknya," papar Yusril.

Terpisah, ketika diminta tanggapan kepada PH pelapor Jimy, Firdaus Ajis menyebut pembelaan terdakwa banyak asumsi. Bahkan kata Firdaus, penampilan saksi ahli yang dipersoalkan itu tidak konseptual dan lari dari perkara.

"Apa kaitannya penampilan dengan perkara ini. Yang penting kan pendapat mereka sebagai saksi ahli. Dan terbukti mereka ahli dalam perkara ini," sebut Firdaus.

Firdaus juga menganggap, pernyataan kuasa hukum terdakwa bahwa Suratno Konadi dan Teten tidak terbukti menggunakan SK palsu Pelepasan Kawasan Hutan adalah hal yang wajar. Sebab menurutnya, penasehat hukum terdakwa tidak mendalami apa itu pemalsuan intelektual.

"Ya wajar saja. Mungkin mereka tak mendalami apa itu pemalsuan intelektual atau menggunakan surat palsu intelektual," tutur Firdaus dengan suara datar.

Selain itu, penasehat hukum terdakwa juga sempat membantah pernyataan JPU yang mempersoalkan SK pelepasan kawasan hutan mati dengan sendirinya karena tidak mengurus HGU sebagaimana disebutkan dalam dictum kesembilan SK tersebut.

Menurut PH terdakwa, SK pelepasan kawasan hutan tidak dapat mati kalau negara dalam keadaan darurat seperti tahun 1998 terjadi pemindahan kekuasaan dari Suharto kepada Habibi sehingga terdakwa tidak dapat mengurus surat.

Menanggapi hal itu, Firdaus menganggap semua dalil PH terdakwa adalah asumsi saja.

"Sah-sah saja bila PH terdakwa beralasan tidak selesainya pengurusan HGU karena negara sedang bahaya, sekalipun katanya didukung ahli-ahli di muka persidangan. Itu kan pendapat bukan fakta," tandas Firdaus.

Menurut dia, faktanya pokok persoalan dalam perkara ini menggunakan SK pelepasan kawasan hutan yang sudah ditolak 2 kali sebelumnya oleh bupati Siak ketika itu,  Arwin AS. Penolakan itu karena alasan sudah mati dengan sendirinya dan alasan lahan yang diberikan tidak dikelola sebagaimana mestinya.

"Seolah-olah SK tersebut masih berlaku. Bisa dimentahkan tidak oleh PH terdakwa dimuka persidangan, kan tidak nampak dari pemaparaan pledoi tadi," ucap dia.

Kemudian fakta bila dikaitkan dengan dakwaan JPU. Setelah ada permohonan Inlok, Bupati Arwin kata terdakwa Teten sebelumnya, ada membuat surat ke Dirjen Planologi Kemenhut. "Nah, faktanya kan surat dirjen,  bukan menteri loh," ujar dia.

Dengan danya surat Dirjen itu, lalu  ditindaklanjuti dengan terbitnya SK izin lokasi. Menurut Firdaus,  justru itu membuktikan bahwa terdakwa sudah tahu bahwa permohonan pernah ditolak tapi tetap berupaya membuat kesan seolah -olah SK itu belum mati.

"Caranya bagi mereka dengan cara buat surat. Tapi ingat surat tersebut bukan dari yang dikeluarkan SK pelepasan yaitu menteri tapi Dirjen planologi," katanya lagi.

Masih menurut Firdaus, fakta ini telah menguatkan unsur dengan sengaja menggunakan surat palsu yakni SK pelepasan.

Selanjutnya,  kalau didalami asas pemerintahan di mana yang berwenang, ia menyatakan masih berlaku atau tidak suatu putusan TUN adalah pejabat yg menerbitkan putusan itu. Dan, asas ini telah diakomodir oleh  pengadilan TUN yang dikeluarkan oleh MA RI dalam putusan nomor 198 tahun 2017.

"Kalau pun ada surat Dirjen Planologi yang menyebut SK pelepasan masih berlaku, bukti surat Dirjen ini telah diabaikan oleh pengadilan TUN karena surat tidak dikeluarkan oleh Mentri Kehutanan," tukas dia.

Sidang tersebut dibuka oleh Hakim Ketua Roza Elafrina dan didampingi hakim anggota Fajar Riscawati dan Selo Tantular. Sidang dilanjutkan 9 Juli 2019 dengan agenda mendengarkan jawaban JPU atas pledoi PH terdakwa.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Suratno Konadi dan Teten Effendi dituntut oleh jaksa 2,5 tahun penjara. Kedua terdakwa dikenakan pasal 263 jo pasal 55 ayat 1 ke satu KUHPidana. Alasannya karena kedua terdakwa terbukti bersalah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan memalsukan SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 tentang IPKH.

Sebab, SK tersebut berlaku pada 1998 dan pada diktum ke 9 dijelaskan, apabila PT DSI tidak mengurus HGU dalam jangka 1 tahun maka batal dengan sendirinya. Namun,  PT DSI tetap mengajukan permohonan Izin Lokasi (Inlok) terhadap lahan seluas 13.000 Ha ke bupati Siak pada 2003 dan 2004. Bupati Siak Arwin AS menolak permohonan itu.

Pada 2006, PT DSI kembali mengajukan permohonan Inlok berdasarkan SK Menhut yang telah mati dengan sendirinya tersebut. Atas bantuan Teten Effendi yang menjabat di Bagian Pertanahan Setdakab Siak, bupati Siak mengabulkan permohonan itu. Namun luas lahan yang diberikan seluas 8.000 Ha.

Sementara pelapor mempunyai lahan seluas 84 Ha, ternyata masuk ke dalam Inlok PT DSI. Setelah diteliti, ternyata pelapor menganggap pengurusan Inlok PT DSI tidak benar, sehingga dilaporkan ke Polda Riau atas dugaan pemalsuan surat.

Kendati keduanya sebagai terdakwa, namun mereka tidak pernah ditahan karena ada penjamin dari masing-masing keluarga serta penasehat hukum.

Sebelumnya, pada persidangan mendengar keterangan saksi dari mantan Bupati Siak Arwin AS, JPU juga menyebutkan Arwin AS juga sebagai tersangka dalam kasus ini. Pasalnya, Polda Riau sudah mengeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama mantan Bupati Siak tersebut. ***

Kategori : Riau, Siak, Umum, Peristiwa
wwwwww