Home > Berita > Siak

Ternyata, Pemakaian Tanjak yang Sekarang Dipopulerkan Bupati Siak Merupakan Pesan Khusus Almarhum Tenas Effendi

Ternyata, Pemakaian Tanjak yang Sekarang Dipopulerkan Bupati Siak Merupakan Pesan Khusus Almarhum Tenas Effendi

Bupati Siak Syamsuar memasang tanjak ke General manager Hotel Golden Tulip Pekanbaru Tomy Yovan Andriansyah di Kediaman Bupati Siak. (foto: potretnews.com/sahril)

Jum'at, 03 Februari 2017 21:35 WIB
Sahril Ramadana
SIAK, POTRETNEWS.com  - Tanjak akhir-akhir ini menjadi tren baru di daerah Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Bahkan setiap hari pengrajin tanjak lokal di pasar seni Kesturi Kota Siak Sri Indrapura, kerepotan karena ramainya pesanan. Ikat kepala khas orang Melayu itu menjadi sangat populer akhir-akhir ini setelah Bupati Siak Syamsuar menerapkan kebijakan memakai tanjak dikalangan aparatur sipil negara (ASN) 3 (tiga) kali dalam satu minggu.

Memakai tanjak itu bukan tanpa alasan, karena, ikat kepala itu dianggap sebagai lambang kewibawaan dikalangan masyarakat melayu. Bahkan semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula status sosial sipemakainya.

Menurut Ketua Majlis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Siak Zulkifli ZA, tanjak biasa dipakai oleh masyarakat melayu, bahkan diseluruh lapisan strata sosial, baik dilingkungan kerajaan, maupun kalangan bangsawan serta masyarakat awam.

“Dulunya, begitu meninggalkan rumah, orang Melayu biasa mengenakan tanjak. Fungsinya sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun ranting. Awalnya berbentuk ikat biasa, namun orang Melayu dahulu yang aktif di bidang gerak tangan, muncul kreasi berbentuk tebing runtuh, belalai gajah, pial ayam, elang menyongsong angin dan lain sebagainya," cerita Zulkifli, Jumat (3/2/2017).

Sayangnya, kata pria yang lama bergelut dengan kesenian dan kebudayaan melayu Riau itu, beberapa nama ikat kepala di zaman kerajaan tersebut, bentuknya sudah sulit ditemukan.

"Bentuk-bentuk tanjak itu juga disebut dengan ikat, misalnya ikat sebelit. Di lingkungan Kerajaan Siak dulu, nama ikat yang cukup populer diantaranya ikat pial ayam, yang biasa dipakai para panglima, dan ikat elang menyongsong angin, yang biasa dipakai datuk lima puluh. Khusus untuk datuk pesisir, ciri khasnya ikat hangtuah,” jelasnya.

Ikat elang menyongsong angin itu jelas dia, melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan elang memainkan gerak angin, sementara ikat hang tuah melambangkan ketegasan.

Sementara untuk warna sebut Zulkifli, tanjak adat biasanya berwarna hitam, tetapi untuk pengantin disesuaikan dengan pakaiannya. ”Biasanya ikat pengantin itu ikat Hang Tuah, namun sekarang banyak yang meniru ikat dendam tak sudah yang populer di Negara Malaysia,” ujarnya.

Ketika ditanya terkait kebijakan Bupati Siak Syamsuar yang menerapkan ASN harus memakai tanjak, Zulkifli sangat mendukung penuh. Sebab kata dia, pada dasarnya memakai tanjak dan baju Melayu akan memberikan kewibawaan dan dampak psikologis bagi sipemakai. Namun, ia mengingatkan agar pemakaian tanjak dilingkungan ASN tersebut tetap disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku.

”Saya mendukung ide Kabupaten Siak sebagai pioner menggalakkan kembali budaya bertanjak di Provinsi Riau, sebab kita sudah punya Grand Design Kebudayaan Melayu. Namun, untuk ASN, saya sarankan agar jangan terlampau tinggi tanjaknya, supaya dapat dibedakan, mana yang tanjak adat ketika berpakaian sehari-hari. Ikatnya bisa ikat pial ayam atau elang menyongsong angin yang disederhanakan,” imbaunya.

Sementara itu, Bupati Siak Syamsuar mengatakan, penggalakan tanjak itu dilakukan untuk menghidupkan kembali identitas kebudayaan Melayu ditengah masyarakat. Karena, sebelumnya gerakan berbusana dan berbahasa Melayu sudah diterapkan di daerah setempat.

”Saya teringat dulu Tokoh Riau, Datuk Tenas Effendi pernah berpesan kepada saya. Jagelah Siak tu elok-elok (Jagalah Siak itu baik-baik, red). Sebab kalau habis Melayu di Siak, maka habislah melayu di Riau," kata bupati, menceritakan pesan tersebut.

Karena itu, imbuh bupati, gerakan bertanjak akan tetap dilakukan. Apalagi, itu salah satu cara untuk mempopulerkan kembali kebudayaan Melayu. ***

Kategori : Siak, Umum, Pemerintahan
wwwwww