Home > Berita > Siak

Diduga Korban Perdagangan Manusia, Seorang TKW Asal NTT Meninggal di Malaysia, Punya 2 Paspor Salah Satunya Terbitan Imigrasi Kabupaten Siak

Diduga Korban Perdagangan Manusia, Seorang TKW Asal NTT Meninggal di Malaysia, Punya 2 Paspor Salah Satunya Terbitan Imigrasi Kabupaten Siak

Ilustrasi.

Selasa, 11 Oktober 2016 13:45 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Marten Nenufa tidak pernah menduga anak yang dilepasnya empat tahun lalu akan pulang sebagai jenazah. Tahun 2012, seorang pria bernama Abraham Betty datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan untuk anaknya, Damaris Noenufa. Terpikat bujuk rayu, Marten merelakan anaknya dibawa pergi. Abraham meninggalkan uang Rp2 juta, yang disebut sebagai uang sirih pinang. Semacam uang silaturahmi, tetapi dalam bisnis perdagangan manusia, uang itu bisa bermakna transaksi.

Dua tahun Damaris pergi tanpa kabar, baru pada 2014 dia menelepon ke rumah. Damaris bercerita bahwa dia selama ini bekerja tanpa upah di Malaysia. Kontraknya juga diperpanjang hingga 2016 ini.

Telepon terakhir Damaris pada 9 September 2016 lalu hanya mengabarkan bahwa dia sedang sakit dan minta doa dari orang tuanya. Lima hari setelah itu, Damaris meninggal dunia. Jenazah Damaris tiba di kampung halamannya, Sabtu 8 Oktober 2016 lalu.

Aktivis perempuan NTT, Sarah Lery Mboeik, mendampingi keluarga Marten melaporkan kasus ini ke kepolisian. Seperti dilansir dari voaindonesia.com, mewakili keluarga Sarah mengatakan, bahwa Damaris telah menjadi korban sindikat perdagangan perempuan di NTT. Jenazah Damaris terlambat dipulangkan karena alamat yang berada di paspornya berbeda dengan alamat asli, bahkan bukan di kabupaten yang sama.

”TKI ini meninggal pada 14 September, tetapi majikannya baru menyampaikan ke KBRI itu 21 September. Dan KBRI menyampaikan ke BNP2TKI di NTT untuk melacaknya dan baru ketemu 28 September. Mereka mencari-cari tapi bingung, karena nama Kartu Keluarganya beda dengan alamat korban, dan juga kabupatennya beda. Di sinilah kita dapat modus pemalsuan alamat dan orang tua. Ini modus perdagangan orang yang dilakukan melalui pemalsuan dokumen,” kata Sarah Lery Mboik.

Dalam berbagai kasus perdagangan manusia, khususnya perempuan di NTT, pemalsuan dokumen adalah pintu masuk. Pengawasan ketat yang dilakukan sejumlah LSM dan gereja di kabupaten tertentu, membuat perekrut lapangan dan perusahaan penyalur mengubah data diri. Dalam kasus ini, kata Sarah, Damaris diketahui memiliki dua paspor berbeda, yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Kupang dan Kantor Imigrasi Siak. Siak adalah salah satu kabupaten di Riau.

Damaris telah dua kali diganti dokumennya. Aslinya dia adalah warga Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, yang kemudian diubah menjadi warga Kupang. Lebih mengherankan lagi, untuk paspor kedua, Damaris disebut sebagai warga Siak, Riau.

“Yang membuat kami bingung adalah proses penerbitan paspor korban, yang satu di Imigrasi Kupang dan yang satu di Imigrasi Siak. Padahal cara kerja Imigrasi kan online, sehingga seharusnya pembuatan paspor tahun 2012 terdeteksi. Kenapa Imigrasi bisa menerbitkan dua paspor sekaligus. Maka kami mendesak penyidik untuk memeriksa pihak imigrasi. Kalau pengalaman kami, Imigrasi terlibat. Ada dua pegawai imigrasi saat ini ditahan (dalam kasus lain) di Kupang,” lanjutnya.

Damaris adalah TKI asal NTT ke-34 yang meninggal dunia di Malaysia sejak Januari 2016 hingga saat ini. Dari jumlah itu, hanya dua orang yang berangkat secara resmi. Selebihnya merupakan korban sindikat perdagangan manusia. Sindikat ini memang sudah berakar kuat di masyarakat. Bahkan kalangan kepala desa, sebagai pejabat terdekat di masyarakat, diduga menjadi bagian tidak langsung.

Yeremias Bayoraya Kewuan, sekretaris Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Nusa Tenggara Timur tahu betul bagaimana kuatnya sindikat perdagangan manusia di NTT. Kepala Desa yang mengenal langsung warganya, seringkali bertindak sebagai pihak yang memalsukan identitas. Tidak mengherankan apabila akhirnya, ketika ada masalah, pemerintah maupun LSM perburuhan menghadapi kendala dalam membantu mereka.

“Mereka memang menunjukkan bahwa dokumennya memang ada lengkap, tetapi proses pembuatan dokumennya tidak pernah diselidiki. Misalnya anak yang umurnya 15 tahun, dibuat dalam dokumen umurnya 23 tahun. Kalau hanya melihat dari sisi administrasi memang lengkap, dia punya, tetapi proses pembuatannya itu tidak pernah dikawal secara baik. Faktanya misalnya, ada 3 orang yang dipulangkan ditanyakan namanya dia menyampaikan nama kakaknya, karena yang dia bawa adalah KTP kakaknya,” kata Yeremias Bayoraya Kewuan.

Yeremias dengan dukungan pihak gereja sering melakukan penyadaran ke masyarakat terkait bahaya bekerja ke luar negeri melalui jalur illegal. Mereka juga berkampanye mengenai nasib para korban sindikat perdagangan manusia yang pulang tanpa nyawa. Namun, kata Yeremias, semua itu tidaklah mudah. Dalam banyak kasus di daerah pelosok, resiko dibunuh oleh anggota sindikat ini selalu muncul setiap saat.

”Budaya suap menyuap sogok menyogok di sini sangat santer, sehingga untuk mencegah sangat rumit. Makanya kalau ada perekrut lapangan yang datang, bisa dihitung kepala desa yang mau menolaknya. Karena itu, SBMI tidak bisa bergerak sendiri. Kalau kita bergerak sendiri, resikonya berat, resikonya nyawa. Kalau kita dari SBMI melakukan kampanye, kita tidak tahu apakah waktu pulang ada orang hadang kita di jalan atau tidak,” lanjutnya.

Karena faktor biaya dan ketidakjelasan alamat, sebagian TKI asal NTT tidak bisa dipulangkan setelah meninggal. Beberapa dikuburkan di Malaysia, dan ada juga yang dikuburkan di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. ***

Editor:
Wawan Setiawan

Kategori : Siak, Peristiwa, Hukrim
wwwwww