Home > Berita > Riau

Ini Pandangan Umum Tiap Fraksi di DPRD Riau terhadap Usulan Hak Angket Dana Eskalasi

Kamis, 11 Agustus 2016 23:47 WIB
Mukhlis Wijaya
ini-pandangan-umum-tiap-fraksi-di-dprd-riau-terhadap-usulan-hak-angket-dana-eskalasiIlustrasi/Penyampaian pandangan fraksi di DPRD Riau terhadap Usulan Hak Angket Dana Eskalasi.
PEKANBARU, POTRETNEWS.com – Pelaksanaan Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau tentang Pandangan Umum Fraksi terhadap Usulan Hak Angket Dana Eskalasi pada APBD-P Riau 2015 digelar Rabu (10/8/2016). Mengemukanya usulan hak angket dalam rangka melakukan penyelidikan atas kebijakan Pemprov Riau yang dinilai melanggar aturan atas masuknya dana pembiayaan hutang daerah sebesar Rp222 miliar tanpa persetujuan badan anggaran (banggar).

Dipimpin Wakil Ketua DPRD Riau Manahara Manurung, rapat paripurna dihadiri Sekda Provinsi Riau Ahmad Hijazi. Dalam rapat ini, lima fraksi di DPRD Riau yakni, F-PDIP, F-PKB, F-PPP, F-Gerindra Sejahtera, F-Demokrat dan F-Gabungan Nasdem-Hanura menyetujui usulan hak angket terkait penyelidikan dugaan pelanggaran masuknya dana eskalasi ke dalam APBD Perubahan Provinsi Riau tahun 2015.

Kelima fraksi berpendapat ada kesalahan prosedur sehingga perlu diselidiki lebih lanjut dengan proses pelaksanaan pembayaran hutang eskalasi dan dalam menyikapi polemik yang sedang terjadi antara Pemerintah Provinsi Riau dan DPRD Riau.

Fraksi PDIP menilai, pada prinsipnya penganggaran dana pada APBD Perubahan tahun 2015 untuk pembayaran hutang eskalasi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal itu lebih jelas lagi, sesuai surat Kemendagri tahun 2015 yang menyatakan apabila kondisi keuangan daerah terdapat silpa, maka daerah diperkenankan untuk menggunakannya terutama untuk pembayaran hutang yang merupakan beban daerah.

Dalam pandangannya disampaikan, F-PDIP tidak merasa anti terhadap pembayaran hutang eskalasi, apalagi dalam pelaksanaan diperuntukkan bagi kepentingan Pemerintahan Provinsi Riau.

Namun dalam menanggapi polemik yang sedang terjadi, F-PDIP berpendapat itu akibat dari kurangnya komunikasi dan informasi. "Ada bagian yang tidak melaksanakan tugas pokoknya secara maksimal," tandas Juru Bicara Fraksi PDIP Almainis.

Berdasarkan pengkajian, terkait dengan usulan hak angket, F-PDIP berpandangan usulan ini perlu dilanjutkan dan diselidiki secara tuntas. Bahkan dalam hal itu, fraksi ini menganjurkan agar segera dibentuk panitia khusus (pansus) dalam mengungkap persoalan tersebut.

Sementara itu, Fraksi PKB melalui juru bicaranya, Sugianto berpandangan, hak angket adalah hak DPRD melakukan penyidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan diduga bertentangan dengan undang-undang. Dengan bahasa sederhanyanya, kata dia, hak angket merupakan hak kontrol dewan terhadap kebijakan eksekutif.

Menurut F-PKB, niat untuk melanjutkan Hak Angket sudah sesuai dengan prosedur dan selaras dengan fungsi DPRD dan juga selaras dengan salah satu fungsi APBD yang dimuat dalam Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menegaskan, DPRD memiliki fungsi pengawasan yakni anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

"Tidak ada masalah dengan anggaran dana eskalasi atau dalam bentuk lain sepanjang memiliki landasan hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam landasan hukum Pasal 18 PP Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah.

Artinya, kata F-PKB sebagaimana disampaikan Sugianto, sepanjang memiliki dasar hukum yang jelas tentu boleh saja, namun mekanisme penganggaran juga patuh pada kewajiban fidusia yakni tunduk pada kewenangan masing-masing yang dilandasi dengan etika moral yang tinggi, tidak kuncing-kuncingan.

”Fraksi PKB menilai anggaran pembayaran dana eskalasi tanpa sepengetahuan DPRD tentu patut menjadi pertimbangan DPRD untuk melanjutkan hak angket," kata Sugianto.

Sementara itu Fraksi Gerindra Sejahtera, mempunyai pandangan bahwa keuangan negara harus dikelola dengan profesional terbuka dan bertanggung jawab sesuai aturan pokok UUD 45 dan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Daerah. Salah item sorotan publik dana eskalasi, pelunasan hutang harus berbunyi dalam KUA dan PPAS perubahan sebagai dasar dalam menuangkan angka berapa besarannya RAPBD Perubahan.

"Maka Fraksi Gerindra Sejahtera menyetujui hak angket dilanjutkan supaya dapat mengurai masalah berdasarkan fakta komprehensif sesuai aturan berlaku," ucap Anggota DPRD Riau, Hardianto.

Hal senada juga disampaikan Fraksi Hanura-Nasdem. Melalui juru bicara Muhammad Adil, fraksi ini memandang pengalokasian dana eskalasi merupakan bentuk wanprestasi, dan dinilai sebagai modus administratif dan melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolahan Keuangan Daerah.

"Fraksi Hanura-Nasdem memandang, Gubernur Riau melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih Bebas KKN, PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penyusunan Peraturan dan Tatib DPRD , Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah. Kami meminta dibentuknya Pansus Hak Angket," tegas Adil.

Masih dalam paripurna yang sama, Juru Bicara Fraksi PPP Muhammad Arfah menyatakan, pembayaran hutang eskalasi Pemerintah Provinsi Riau sebesar Rp222 miliar lebih menimbulkan polemik dan permasalahan, sebagaimana telah disebutkan oleh tim pengusul hak angket pada rapat paripurna penyampaian pandangan umum.

"Hutang eskalasi adalah hutang pemerintah kepada pihak ketiga atau rekanan kontraktor karena terjadinya kenaikan harga barang dan jasa yang menimbulkan dampak pada biaya riil pelaksanaan pekerjaan, sehingga pada gilirannya menimbulkan dampak finansial terhadap harga satuan maupun kontrak secara keseluruhan," tukas Muhammad Arpah saat rapat paripurna di gedung dewan provinsi, Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru.

Menurut dia, salah satu item yang menjadi sorotan publik dalam APBD Perubahan 2015 adalah pembayaran hutang eskalasi senilai Rp222 miliar lebih. Berdasarkan laporan keuangan Pemprov Riau tahun 2015 yang tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI disebutkan, bahwa dalam surat Sekretaris Majelis BANI Nomor 10.1452/XII/BANI/ED tanggal 30 Desember 2010, hutang eskalasi yang harus dibayarkan oleh pemprov adalah senilai Rp322 miliar lebih.

"Hutang ini sudah diangsur sejak tahun 2012 dan masih tersisa Rp222. 895.826.691. Pada perubahan APBD 2015, anggaran pembayaran hutang eskalasi ini muncul dalam Peraturan Gubernur Riau Nomor 102 Tahun 2015 tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2015," tutur Muhammad Arfah.

Munculnya anggaran tersebut memicu polemik karena dalam rapat badan anggaran tidak pernah diberikan persetujuan untuk penganggaran dana itu. Sampai dengan ditandatanganinya nota kesepakatan antara pimpinan DPRD Riau dengan Plt Gubernur Riau (sekarang sudah jadi Gubernur Riau, red) tentang Perubahan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan APBD 2015 tanggal 29 Oktober 2015, banggar tidak pernah menyetujui pembayaran hutang tersebut.

"Pada Rapat Paripurna DPRD Riau pada 9 November 2015 dalam Pidato Pengantar Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD 2015 telah dijelaskan bahwa untuk pembayaran hutang eskalasi sebagaimana telah disepakati bersama dengan banggar dalam perubahan KUA/PPAS tahun 2015 akan dianggarkan dalam tahun 2016. Artinya, sudah ada kesepakatan bahwa penganggaran dana eskalasi akan dibahas pada RAPBD 2016," paparnya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, imbuh Muhammad Arfah, telah terjadi pelanggaran dalam pembayaran eskalasi, di antaranya melanggar UU Nomor 23 tahun 2014 pasal 99 dan 110 tentang pemerintah daerah. Artinya, dalam kasus ini, penganggaran eskalasi berdasarkan kesepakatan Banggar untuk tidak menganggarkan tidak dihormati. Kemudian pasal 128 ayat 1 penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pasal 127 ayat 2 dan 3 dilakukan gubernur bersama dengan Banggar.

"Atas fakta-fakta diatas maka kami mengusulkan untuk menggunakan Hak Angket DPRD Riau guna menyelidiki dugaan-dugaan yang berkembang selama ini," ujarnya.

Sementara Fraksi PAN justru mengajukan hak interplasi untuk bertanya terlebih dahulu ke Pemprov Riau. Sedangkan Fraksi Golkar secara tegas menolak hak angket dengan alasan tidak memenuhi unsur penting secara hukum. Baik itu poin-poin dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 yang dinyatakan dilanggar, maupun pada penerapan peraturan Tata Tertib DPRD provinsi Riau, yang mengatur tentang hak-hak anggota dewan, dinyatakan belum atau tidak relevan dijadikan sebagai dasar pengusulan hak angket.

Juru bicara Fraksi Golkar H Masnur mengatakan, terkait pandangan pengusul hak angket pada paripurna sebelumnya yang mengatakan pembayaran utang eskalasi telah mengalami cacat hukum seperti yang telah disampaikan, hal itu tidak benar.

Fraksi ini berpandangan, secara umum pembayaran hutang eskalasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau, sebesar Rp222 miliar lebih kepada pihak rekanan kontraktor telah melalui prosedur dan berdasarkan undang-undang.

Alasan yang dikemukakan, karena pembayaran hutang yang dimaksud berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri. Bahkan menurut Fraksi Golkar, keabsahan dari segi hukum bahwa hal itu dikuatkan lagi oleh surat dari BANI pada Desember 2010 dan keputusan Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2011, yang menyatakan bahwa dalam hal penggunaan dana silpa sangat dibenarkan untuk membayar hutang daerah dan memiliki dasar hukum tetap sebagaimana dimaksud.

"Oleh karena itu, secara jelas dan tegas, Fraksi Golkar melalui Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau, melalui pandangan umumnya menolak rencana hak angket yang telah diusulkan beberapa waktu yang lalu," tandas Masnur. ***

wwwwww