Inhil Menjadi Negeri Hamparan Kelapa Dunia, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan
Ilustrasi. Lahan perkebunan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. (foto dok) |
Keberadaan komuditas kelapa sawit, ternyata memberikan dampak luas. Jangka waktu panen yang lebih pendek dan mudah, ditambah dengan harga yang menjanjikan membuat alih fungsi lahan marak terjadi. Persoalan ini tentu jadi tantangan semua pihak dalam mempertahankan sektor unggulan ini.Padahal, menanam kelapa dalam dan sawit tentunya sangat berbeda. Sayangnya petani di Inhil kurang menyadari persoalan tersebut. Masyarakat petani kelapa di Inhil sudah terbiasa hidup santai. selepas menanam lahan mereka tinggalkan, terkadang berbulan-bulan baru mereka lihat kembali tampa memberikan pupuk.“Masyarakat di Inhil tidak cocok menanam sawit. Petani Inhil sudah terbiasa paska tanam, lahan mereka tinggalkan tanpa dirawat. Artinya masyarakat bukan malas, tapi seperti itulah pola menanam kelapa di Inhil secara turun temurun,” kata Bupati Inhil HM Wardan, kepada wartawan pada ekspos Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ) yang dilaksanakan PWI Provinsi Riau akhir Maret lalu.Selain itu, pemberian izin lahan perkebunan sawit oleh Pemerintah, makin menjadikan kelapa dalam kian terjepit. Sebab izin mereka ternyata meyerempet lahan perkebunan masyarakat, apakah yang produktif maupun yang tidak produktif.Investasi perusahaan seperti PT Surya Dumai, BOS dan beberapa perusahaan lainnya dengan pola kemitraan, ternyata hanya untuk ”menghabisi” lahan perkebunan kelapa masyarakat. Karena perusahaan mengganti tanaman sawit di lahan mereka. Itulah yang menimpa petani kelapa yang ada di daerah Kecamaan Mandah, Kuindra, Concong, Enok, GAS dan juga Kecamatan Gaung.”Meskinya kalau memang Pemkab Inhil berkomitmen menyelamatkan lahan perkebunan kelapa, persoalan mendasar itu yang harus dituntaskan. Bukan malah mengeluarkan izin perkebunan kelapa sawit. Kita bukan anti-investasi, yang kita minta cuma perkataan dan perbuatan meski sejalan,” kata Firmansyah salah seorang aktivis lingkungan di Tembilahan dalam bincang-bincang dengan dengan media ini.Tidak Ada Standar Harga
Permasalahan lain adalah tidak adanya standar harga kelapa. Pihak perusahaan selalu mematok harga kelapa berdasarkan harga standar minyak dunia yang tentunya tidak bisa diterapkan untuk komuditas unggulan ini."Hampir 30 persen masyarakat sudah mulai beralih ke kebun sawit. Petani tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan hidup kalau terus bergantung hasil jual kelapa dengan kondisi harga seperti ini," ujar Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Banjar Riau (IPPMBR) Nurdiansyah.Ia menilai, hal lain yang perlu menjadi perhatian khusus oleh Pemerintah Inhil, yakni perihal standarisasi harga jual buah kelapa yang belum jelas. Dengan kata lain pemerintah tidak bisa menyalahkan masyarakat jika perdagangan lintas batas masih dilakukan. Wajar masyarakat memilih menjuah hasil panennya ke negara tetangga, sebab Malaysia menerima harga jual buah kelapa lebih tinggi dibanding perusahaan lokal."Kalau masyarakat berharap kepada pemerintah, tentulah pemerintah yang harus memikirkan kondisi harga kelapa. Setidaknya bagaimana standarisasi harga bisa tetapkan dengan layak," tambahnya.Kalau kondisi dan persoalan kelapa di Inhil masih berkutat dalam masalah ini, maka jangan heran lima atau sepuluh tahun kedepan, Inhil tidak lagi dikenal sebagai daerah penghasil kelapa nomor satu di Indonesia.Penyelamatan Kelapa
Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan perkelapaan agar mendapat perhatian pemerintah pusat, Bupati Inhil HM Wardan sudah pernah melakukan pertemuan dan ekspos ke sana.Di hadapan menteri dan para dirjen, HM Wardan memaparkan seluruh potensi dan permasalahan kelapa di Inhil. Jelasnya, ada beberapa permasalahan yang tengah dihadapi petani kelapa di saat ini, yakni mulai dari persoalan harga sampai dengan tak produktifnya tanaman itu."Rata-rata tanaman kelapa kita sudah berumur tua. Ini salah satu penyebab menurunnya produksi kelapa itu," cerita bupati. Sejauh ini, kata bupati ada beberapa upaya yang telah dilakukan. Antara lain melakukan penyisipan. Namun upaya-upaya itu belum dapat dikatakan maksimal mengingat keterbatasan anggaran daerah saat ini."Kami pikir salah satu cara mengatasinya dengan membuat resi gudang. Untuk itu kami berharap dukungan dari bapak menteri," kata Wardan. Jika hal itu bisa direalisasikan, maka satu persatu persoalan kelapa bisa teratasi. Dari sekitar 462 ribu hektar lahan perkebunan, umumnya pengelolaanya hanya dilakukan masyarakat. Itu pun hanya sebatas buah kelapa saja, tidak pada turunannya. "Biasanya masyarakat membuat gula merah," imbuhnya.Selain itu, eksekutif dan legislatif meski membuat aturan (perda) terkait dengan standar harga dan penyelamatan kebun kelapa. Agar nantinya harga kelapa tidak dipatok sepihak oleh perusahaan berdasarkan harga minyak dunia, tapi utuh berdasarkan kelapa berikut turunannya. Karena kalau tidak dilakukan, persoalan harga ini tetap akan dimainkan oleh perusahaan, dan petani kelapa Inhil akan tetap menjadi orang yang dirugikan.Dalam rangka perbaikan dan penyelamatan lebih jauh, dibutuhkan keberanian Pemkab Inhil untuk mengalokasikan anggaran yang besar. Kalau selama ini Inhil berani membangun proyek mercusuar dengan sistem proyek multiyears, kenapa untuk satu persoalan ini kesannya sangat takut."Meskinya untuk penyelamatan kelapa Inhil, kita juga bisa mencontoh kegiatan yang sama. Karena ini langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak, meskinya semua pihak legislatif dan eksekutif mau duduk bersama membahas persoalan ini,” kata Muslimin salah seorang tokoh masyarakat, yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Inhil periode 2009-2014.Tidak kalah pentingnya, Pemkab Inhil meskinya jangan mengeluarkan perizinan kelapa sawit lagi. Kalau memang ada investasi yang mau masuk ke Inhil, hendaknya lebih difokuskan pada sektor kelapa dalam. Makanya kalau masih ada perizinan yang dikeluarkan, dan menjadikan kelapa dalam korban, tentu sangat disayangkan. ***