Home > Berita > Riau
Pengadilan Federal Australia Hukum Chevron karena Hindari Pajak 258 Juta Dolar AS Kurun Waktu 2004-2008

Rekam Jejak Buruk, Pemerintah Mesti Pertimbangkan Perpanjangan Kontrak Chevron

Rekam Jejak Buruk, Pemerintah Mesti Pertimbangkan Perpanjangan Kontrak Chevron

Ilustrasi Chevron.

Kamis, 19 November 2015 07:37 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Pemerintah Indonesia diimbau serius mempertimbangkan perpanjangan kontrak kerja Chevron, karena rekam jejak (track record) perusahaan minyak asal Amerika Serikat (AS) itu buruk. Sudah saatnya pemerintah menasionalisasi Chevron pada Pertamina agar manfaatnya dinikmati masyarakat Indonesia, bukan mengalir ke perusahaan asing.

Penegasan ini dikemukakan Ketua Federasi Serikat Pekerja Transport Internasional atau ITF (International Transport worker’s Federation) Asia Pasifik Hanafi Rustandi dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu (18/11/2015). Hal itu dikemukakan terkait pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pimpinan eksekutif Chevron di Amerika Serikat belum lama ini.

Menurut Hanafi, buruknya track record Chevron terkait manipulasi dan penghindaran pajak dalam memproduksi migas di beberapa negara, diantaranya di Australia, Chad dan di AS sendiri.

Penekanan masalah ini, lanjut Hanafi, ITF sangat berkepentingan karena banyak perusahaan migas mempekerjakan jutaan orang, baik di anjungan lepas pantai (off shore) maupun di kapal pengangkut migas. ITF saat ini beranggotakan 700 serikat pekerja sektor transportasi dengan jumlah anggota lebih 4,5 juta pekerja di seluruh dunia. ITF berkomitmen memastikan semua perusahaan bekerja secara profesional berdasarkan ketentuan perundangan maupun hukum nasional, termasuk perusahaan migas.

Hal ini untuk menjamin kelangsungan lapangan pekerjaan dalam jangka panjang, jaminan upah dan kondisi kerja yang layak, serta mempunyai daya saing internasional.

Lebih jauh Hanafi mengungkapkan, Pengadilan Federal Australia bulan lalu menghukum Chevron dan mewajibkan membayar tunggakan pajak 600 juta dolar AS kepada pemerintah Australia, karena menghindari pajak sebesar 258 juta dolar AS antara tahun 2004-2008.

Selain itu, anak perusahaan Chevron di negara bagian Delaware, yang dikenal sebagai ‘surga’ pajak, meminjam 2,45 miliar dolar AS dengan suku bunga 1,2 persen. Uang tersebut kemudian dipinjamkan ke satu badan hukum di Australia dengan bunga 9 persen, sehingga Chevron meraup untung 862 juta dolar AS sebagai devisa bebas selama 5 tahun.

Penghindaran pajak juga dilakukan ketika Chevron dan Petronas (perusahaan minyak Malaysia) memproduksi minyak di Chad. Perusahaan ini akhirnya membayar pajak 450 juta dolar AS pada 2006 setelah Pemerintah Cad mengancam menghentikan operasionalnya.

Di negeri sendiri, AS, lanjut Hanafi, Chevron juga berbuat serupa. Pada 2000 dia harus membayar 9,6 juta dolar AS ke negara bagian Lousiana menyelesaikan sengketa pajak dan penghentian produksi minyak.

Perusahaan patungan Caltex Petroleum yang dibentuk Chevron dan Texaco, pada 1997 menghadapi tuntutan pajak 2miliar dolar AS terkait penjualan minyak mentah ke Jepang. Kasus itu diselesaikan dengan membayar pajak 65 juta dolar AS pada 1999.

"Chevron juga harus membayar pajak ke Kantor Layanan Pajak Internal AS (IRC) 550 juta dolar AS pada 1994 untuk menyelesaikan sengketa pajak terkait pembelian minyak dari Arab Saudi," kata Hanafi.

Dijelaskannya, dengan adanya beberapa kasus tersebut, Ketua ITF Asia Pasifik pada 18 November 2015 mengirim surat pada Presiden Joko Widodo sebagai bahan pertimbangan memperpanjang kontrak kerja Chevron di Indonesia.

Pertimbangan yang matang juga perlu dilakukan memperpanjang kontrak Freeport di Indonesia yang akan berakhir dalam beberapa tahun lagi. Apalagi belakangan mencuat dugaan kasus pencatutan nama presiden/wapres oleh Ketua DPR untuk memuluskan perpanjangan kontrak Freeport di Papua.

ITF percaya Presiden Jokowi mengetahui rekam jejak Chevron secara global. Khususnya terkait penghindaran pajak ketika Presiden mempertimbangkan menyetujui proyek pembangunan deepwater (pengeboran gas laut dalam) di Indonesia. Hanafi meyakini sejarah korupsi Chevron terdokumentasi dengan baik di Indonesia.

"Sudah sewajarnya pemerintah melakukan nasionalisasi Chevron, sehingga Pertamina sebagai perusahaan milik negara mampu mengoperasikan ladang minyak eks asing maupun proyek baru," bebernya.

Dia juga menegaskan, praktek manipulasi pajak yang dilakukan Chevron bertentangan komitmen pemerintahan Jokowi/JK yang lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Hal itu pun bertentangan norma-norma integritas yang diklaim norma utama Chevron atau Chevron Way.

ITF mencatat dalam 12 tahun terakhir perusahaan migas di Indonesia dengan profit margin tertinggi, antara lain Chevron (9,96 persen), Exxon Mobil (8,48 persen), Total (1,84 persen) dan British Petroleum (0,9 persen). Namun dia mengingatkan, dalam pembangunan ladang migas pemerintah harus lebih mengedepankan kepentingan nasional, bukan kepentingan dan keuntungan perusahaan migas. ***

(Mario Abdillah Khair)
Kategori : Riau, Hukrim
Sumber:Rmol.co
wwwwww