Home > Berita > Inhil

Setahun Penyerbuan Petugas Bersenjata, Lari ke Hutan Selama Berbulan-bulan, Kini Anak Desa Pungkat Inhil Masih Ketakutan

Minggu, 13 September 2015 16:49 WIB
Usuf
Bagaimana tidak, aparat Brimob bersenjata lengkap memasuki desa tersebut seolah siap untuk berperang. Mereka menggeladah, mengintimidasi, mengintrogasi bahkan menodongkan senjata kepada warga pungkat, mulai dari anak-anak, wanita, hingga orang tua yang lagi sakit.

Akibatnya, mulai dari lelaki dewasa, wanita dan anak-anak terpaksa melarikan diri ke dalam hutan. Bahkan ketika itu, saat spedboat dan helikopter ada melintas, warga Pungkat, sudah bersiap-siap untuk lari, karena takut dengan kesadisan aparat yang membela pihak perusahaan.

”Masih traumalah pak. Kejadian seperti itu tidak pernah terlintas dalam benak masyarakat Pungkat. Aparat bersenjata lengkap menyerbu kami, hingga banyak warga pungkat yang lari ke dalam hutan hingga berbulan-bulan,” ujar Adi warga Pungkat saat berbincang-bincang dengan media melalui jaringan seluler, belum lama ini.

Sekadar mengingatkan kembali, kronologis kasus Pungkat dari yang dikutif dari beberapa media Rabu (6/8/2014), sekira pukul 06.00, sedikitnya 200 petugas dari Polres Inhil memarkir speedboat di Desa Pungkat. Bersenjata laras panjang, memakai helm, pentungan dan perisai, polisi itu menapak kaki desa.

Seorang polisi menerima telepon warga. Polisi bergegas menuju lapangan bola. Ratusan warga berkumpul di sana. Di tengah lapangan itu, satu persatu warga ditangkap setelah salah seorang polisi membacakan daftar nama-nama dari ponsel.

Bila nama-nama dalam daftar tak ditemukan, polisi langsung mendatangi rumah. Menggeledah, masuk paksa, merusak rumah bahkan menodongkan senjata ke muka warga.

Ermawati mengatakan, waktu polisi mencari suaminya, mereka sedang di kebun. Anaknya mengirim pesan singkat berisi polisi mencari bapak, naik ke rumah sampai dalam kamar tidur. Polisi bawa senjata. ”Anak saya yang kecil Nurfadila (6,5 tahun) lihat polisi bawa senjata naik ke rumah. Dia ketakutan. Dia takut polisi, katanya tak pernah lihat polisi sebanyak itu.”

Rubiah, melihat suami ditangkap dari jauh. Dia mendekat dan memegang kaki sang suami yang sudah dipegang polisi. Rubiah menangis lantas pingsan. “Kalo suami saya ditangkap, siapa beri kami makan? Kami tak punya apa-apa,” kata perempuan 35 tahun. Mereka punya tiga anak perempuan.

Humaisarah, bersama suami Bustari, menceritakan, polisi masuk ke rumah mereka. Waktu itu mereka mengungsi karena ketakutan. ”Polisi paksa masuk. Dobrak pintu kamar kami. Bekas rusak pintu sudah diperbaiki suruhan kades, katanya disuruh polisi.”

”Tak ada polisi minta maaf pada kami. Barang hilang alat pertukangan bor, ketam, kikir, parang di dalam kamar. Hanya parang dikembalikan.”

Asmar mengatakan, ada 30 warga Desa Pungkat yang ikut saat pembakaran belum pulang ke desa sejak peristiwa.

Menurut Mayasusanti, warga Pungkat, polisi mengetuk pintu rumah saat dia dan anak tidur. “Pas saya buka pintu, tiga polisi langsung menodongkan senjata ke muka dan kaki saya.” Polisi langsung masuk rumah memakai sepatu, masuk ke kamar dan dapur. ”Kalau sampai besok pagi tak ada kabar dari suami ibu, terpaksa ibu saya bawa sebagai ganti. Susu anak ibu saya belikan.”

Polisi menginap di Desa Pungkat. Mereka terus memburu tersangka yang kabur. Polisi keluar dari Desa Pungkat Sabtu (9/8/2014). Suasana kampung sepi dan mencekam. Warga ketakutan melihat polisi hilir mudik di depan rumah sambil membawa senjata.

Warga trauma. Aksi polisi merusak, menggeledah rumah hingga menodongkan senjata menyebabkan dua warga mengalami gangguan jiwa. NH, perempuan, 18 tahun tak bisa mengenali kedua orangtuanya dan kerap berteriak dari dalam rumah. SH, lelaki 27 tahun, hanya mengurung diri di kamar.

Akhirnya, polisi menetapkan 21 tersangka, yaitu Amronsyah, Zumarli, Ari Susanto, Dedi, Pauwadi, Wardan Ibrahim, Arisman Dianto, Usman, Samsuri, dan Muhammad Aini. Lalu, Hamdalis, Ahmad Zunaidi, Rasidi, Mistar, Yusrizal, Sahrun, Zol Azmi, Amril, Anasri, M Idris dan Efendi. Pada 15 Oktober 2014, mereka didakwa membakar alat berat. Lalu, Desember 2014, kesemuanya divonis enam bulan penjara.

(Mario A Khair)
wwwwww