Bukit Rimbang Baling di Kampar Saksi Sejarah Tewasnya Ribuan Romusha karena Kelaparan

Bukit Rimbang Baling di Kampar Saksi Sejarah Tewasnya Ribuan Romusha karena Kelaparan

Bukit Rimba Bukit Baling di Kabupaten Kampar, Riau, saksi bisu kekejaman Jepang. (foto: lpe-riau.blogspot.com)

Selasa, 08 Maret 2016 12:27 WIB
KAMPAR, POTRETNEWS.com - Ribuan warga sebagai buruh kerja paksa Jepang tahun 1942 membangun rel kereta api dari Pintu Batu, Sijunjung, SumatEra Barat hingga ke Logas Kecamatan Singingi dan Pekanbaru. Kebanyakan di antara mereka tewas karena kelaparan saat bekerja. Lintasan rel kereta itu melewati kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SMBRBB), mencakup Kuansing dan Kampar Kiri. Sebab, di Lagos, Kecamatan Singingi, yang berada di perbatasan Rimbang Baling dibuka tambang batu bara. Saat ini tambang itu bernama Manunggal Inti Artama, yang kembali beroperasi sejak tahun 2008 lalu.

Mengikuti sumber dari Badurrahmin dan Muhammad Yulis, rombongan WWF dan beberapa wartawan menelusuri perlintasan tersebut. Turun naik bukit menghadapi akses tanah rimba raya Rimbang Baling, membuat kondisi tubuh terhuyung-huyung dalam mobil. Namun kondisi itu terbayarkan oleh keindahan alam yang memesona.

Sejenak rombongan berhenti di Desa Pencong, bekas desa zaman Jepang yang kemudian ditinggalkan penduduknya. Kini, keturunan warga Desa Pencong, yang pernah bermukim di tepian Sungai Singingi perbatasan kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling dengan kebun masyarakat, sudah pindah ke desa Petai. Sebagai bukti sejarah, di tepian sungai ini masih banyak terdapat makam warga puluhan tahun silam.

Sayangnya, hutan Rimbang Baling kawasan ini terancam perambahan. Terlihat beberapa hektar mulai dibuka dengan penanaman sawit. Padahal, dilihat dari ketinggian bukit Pencong, kawasan yang dialiri sungai ini menyajikan pemandangan yang menakjubkan.

Menelusuri kawasan Rimbang Baling selanjutnya, rombongan kembali menempuh medan terjal dan licin. Beberapa anak sungai yang mengalirkan air jernih bisa dilewati dengan selamat. Sampai akhirnya matahari tenggelam, rombongan WWF dan media menemukan peninggalan kawasan tambang batu bara zaman Jepang. Lokasi ini bernama Lagos. Konon kabarnya, di lokasi ini Jepang menguburkan harta kekayaannya sebelum menyerah kepada sekutu, seperti emas dan senjata yang tak ternilai harganya. Namun, Muhammad Yulis, saat berbincang di rumahnya di Desa Petai, Singingi tidak dapat menunjukkan di mana titik penguburan benda beharga itu.

Sepanjang perjalanan menuju Lagos, memang terlihat kekayaan ekosistem Rimbang Baling. Berbagai macam burung, serta jejak binatang langka lainnya dapat dilihat. Tak ketinggalan, jejak kawanan babi hutan terlihat jelas di kawasan eks tambang batu bara itu. Namun, beberapa jerat burung juga ditemukan, serta seonggokan kayu yang diduga ilegal logging.

Ahli spesies WWF Indonesia, Sunarto terlihat tercenung dengan ditemukannya beberapa jerat burung langka. Dia mengambil lalu memasukkan ke bak mobil yang kami tumpangi.

Meneruskan perjalanan ke areal MIA (Manunggal Inti Astara), tambang batu bara yang masih beroperasi. Beberapa gerbang penjagaan dapat dilalui. Terlihat truk pengangkut batu bara hilir mudik. Untung saja, kawasan tambang ini belum masuk kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Namun, tak bisa dipungkiri, kawasan ini akan mengancam ekosistem Rimbang Baling.

Melihat penggalian batu bara di lokasi MIA, memang sangat disayangkan. Satu sisi hutan masih terlihat belum terjamah, di sisi lain kawasan dibabat habis tanpa ampun. Tetapi, bekas rel tidak dapat ditemukan secara utuh, kecuali yang menjorok kepermukaan tanah sepanjang satu meter. Lainnya masih terkubur di dalam tanah, namun panjangnya tidak terdeteksi.

Dari cerita Muhammad Yulis, orang tuanya bernama Bikam, meninggal di tangan kekejaman Jepang. Bikam termasuk satu warga yang menjadi romusha, ikut membangun rel kereta api zaman itu. Seperti Bikam, ribuan lainnya meninggal sia-sia. Bahkan satu bedeng buruh ada yang wafat bersamaan akibat kezaliman penjajah. Sedangkan yang langsung ditembak mati di kawasan Lagos, ada sekira 60 orang per hari setelah menggali lubang kuburannya sendiri.

Ketika gelap mulai menyelimuti, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Tanjung Belit Kampar Kiri, bermalam di sana. Sekitar pukul 07.00 WIB, Minggu (9/6/2013), perjalanan menelusuri sejarah Romusha di Rimbang Baling diteruskan. Hari itu, rombongan WWF dan media menelusuri Sungai Subayang dari desa Gema ke Desa Pulau Pencong. Karena tidak ada jembatan, mobil jelajah yang kami tumpangi menaiki Akik, alat perlintasan air yang bisa menampung Mobil, serta masyarakat sekitar.

Melaju ke Bukit Kapak Mani, Desa Koto Lamo. Di puncak bukit, hamparan Rimbang Baling yang menyimpan kekayaan ekosistem, flora dan fauna serta sejarah Romusha menyajikan pemandangan yang luar biasa. Serombongan yang turut dalam perjalanan ini, tak ketinggalanm meneriakkan takjub yang luar biasa. Momen ini juga diabadikan melalui kamera masing-masing.

Sunarto, kembali membuka datanya. Sekitar 2 ribu Ha, ada yang sudah terbuka menjadi lahan kebun sawit. Sedangkan luas Rimbang Baling 136 ribu Ha. Artinya, kawasan konversi ini masihbisa dijanjikan menjadi kawasan ekowisata dimasa mendatang.

Dari data WWF Riau, yang dibagikan Humasnya Syamsidar, terlihat Rimbang baling dijadikan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kdh Tk I Riau Nomor KPTS.149/V/1982 tanggal 21 Juni 1982. Sebelumnya, kawasan ini dikelola sebagai Hak Penguasaan Hutan (HPH).

Kawasan ini juga terbilang kaya akan ekosistem sebagai hutan hujan dataran rendah. Kawasan ini memiliki kekayaan hayati, seperti jenis tumbuhan langka, mempening, mersawa, kempas, keranji, kulim, pulai, kuranji dan lain-lain. Terdapat 170 lebih jenis burung, dan 50 jenis mamalia termasuk tapir, rusa, kukang, siamang, ungko, simpai, beruang madu, ajak, kambing hutan serta lima jenis kucing berbagai ukuran, seperti harimau sumatra, macan dahan, kucing emas, kucing hutan, dan kucing batu. Gajah sumatera juga tercatat pernah hidup di hutan Rimbang Baling ini, diperkirakan telah punah secara lokal.

Menurut Sunarto, para ahli harimau dunia mengklasifikasikan blok hutan Bukit Rimbang Baling sebagai kawasan prioritas jangka panjang konservasi harimau. WWF dan Ditjen PHKA telah melakukan survei populasi dan distribusi harimau sumatra dengan metoda kamera trap sejak 2005 lalu. Jenis-jenis kucing langka itu sudah ditemukan.

Rimbang Baling ini terletak di sekitar 90 Km arah selatan dari Pekanbaru. WWF bekerja sama dengan BKSDA Riau, telah melakukan upaya pencegahan terhadap aktivitas perburuan, dengan mengoperasikan tiger protection unit sejak tahun 2005 lalu. Namun, sejumlah jerat burung dan pukat harimau kadang masih ditemukan.

Selain menyimpan kekayaan alam, sejarah romusha, kawasan ini juga termasuk kawasan unik. Masyarakat pedesaan yang tinggal di areal suaka margasatwa, relatif tidak ada menghadapi konflik. Karena kehidupan masih tradisional, sehingga ada kearifan masyarakat terkait hutan.

Kapan ada harimau datang di sebuah kawasan, masyarakatnya bisa lebih tahu. ”Artinya, masyarakat sudah lama hidup berdampingan dengan harimau," kata Sunarto yang didampingi Syamsidar.

Dari penutusan warga, Syamsu mengatakan, kalau sudah ditemukan jejak harimau di kampung, kepercayaan masyarakat mengatakan berarti ada salah satu warga yang melakukan hal-hal terlarang.

"Karena kepercayaan masyarakat, masing-masing kampung dijaga oleh harimau. Orang-orang menyebutnya datuk belang. Jadi, hidup berdampingan itu sudah lama," katanya. Untuk melestarikan khasanah yang kaya raya ini, WWF Indonesia ingin memperkuat kearifan masyarakat menjaga hutan.

"Ketika kami masih mempelajari kondisi masyarakat, untuk perencanaan pengembangan menjadi daerah ekowisata. Tetapi di dalam perjalanannya, kita sendiri yang belajar di sini, karena penjagaan hutannya dapat dicontoh," kata Sunarto yang juga dosen di UI.

Dia mengakui, perambahan memang ada dilakukan, tetapi masih bersifat tradisional. Harusnya, pemerintah terintegrasi dalam melindungi ini, supaya ekosistem tetap terjaga. Apalagi, Rimbang Baling masih menjadi kawasan kunci penyerapan air di Riau saat ini.

Sedangkan yang menjadi ancaman nyata, yang dapat menghilangkan jejak sejarah Romusha, adalah aktivitas PETI (penambangan emas tanpa izin), dan tambang batu bara di Kuansing berada di pinggir areal Suaka Margasatwa ini. Sebab, PETI tak segan-segan menebangi karet dan sawit untuk menggarap lahan itu mencari emas. Begitu juga dengan aktivitas tambang batu bara.

Di Desa Koto Lamo, Kecamatan Kampar Kiri, dibelah oleh batang bio-bio, anak Sungai Subayang. Sungai ini menjadi areal transportasi penghubung desa Mungun, Pangkalan, Ludai, Aia Godang yang berada di sebelah Timur desa Koto Lamo. Menurut Sunarto, mengembangkan kawasan ini menjadi ekowisata dengan menggali aspek sejarah Romusha. "Ini yang perlu di eksplorasi lebih lanjut," ujarnya. ***

Editor:
Farid Mansyur

Sumber:
Tribunpekanbaru.com

Kategori : Potret Riau
wwwwww