Dibangun Tahun 1823, Kelenteng In Hok Kiong Saksi Bisu Pendaratan Perantau Tionghoa di Bagansiapiapi

Dibangun Tahun 1823, Kelenteng In Hok Kiong Saksi Bisu Pendaratan Perantau Tionghoa di Bagansiapiapi

Kelenteng In Hok Kiong dari depan (foto: wikimedia.org)

Sabtu, 12 Desember 2015 22:40 WIB
BAGANSIAPIAPI, POTRETNEWS.com - Udara lembab menyambut saya begitu menjejakkan kaki di Bagansiapiapi, Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau. Maklumlah, kota ini baru saja diguyur hujan. Sementara di seantero kota ramai terdengar kicauan serak burung walet. Tak hanya itu, kota ini juga tampak semarak dengan kerlap-kerlip lampu dekorasi berwarna merah menyala ala perayaan Tahun Baru Imlek. Saya cukup surprise lantaran suasana yang ramai seperti itu masih terasa, walau sudah dini hari.

Untuk melepaskan penat setelah menempuh waktu enam jam perjalanan darat sejauh 450 kilometer dari Pekanbaru, saya mengunjungi kedai kopi di sudut Jalan Kelenteng, dan memesan secangkir kopi ginseng hangat racikan Kohh Asen, 50 tahun, dan mulai melayangkan pandangan ke sekeliling kedai.

Saat itulah saya menyadari bahwa nama jalan tersebut mengacu pada kelenteng tua bernama In Hok Kiong, yang berada di ujung jalan. Walau sudah dini hari, saya tetap dapat menikmati keindahan kelenteng ini, lagi-lagi berkat pendaran lampu dekorasi yang hampir menyelimuti seluruh bangunan.

Dibangun pada 1823, In Hok Kiong tak hanya merupakan kelenteng tertua, namun juga menjadi pusat keagamaan umat Kong Hu Cu, sekaligus pusat kebudayaan warga Tionghoa Bagansiapiapi.

Lantaran penasaran, keesokan harinya saya menyempatkan diri mengunjunginya lagi. Walau tak seberapa besar, kelenteng ini sungguh indah. Di dalam terdapat patung Dewa Ki Ong Ya, atau dewa keselamatan, dan Taisun Ong Ya, alias dewa kesejahteraan. Patung-patung ini dibawa para perantau China yang membuka perkampungan di Bagansiapiapi pada 1820.

Kota Bagansiapiapi atau Baganapi memang terbangun berkat para pendatang bermarga Ang, yang datang dari China pada akhir abad ke-19. Mereka tertarik mendarat di kawasan ini lantaran melihat api dari kejauhan. Setelah didekati, api tersebut adalah bara api unggun yang ditinggalkan para nelayan Rokan. Versi lain kisah ini adalah kerlap-kerlip kunang-kunang, atau dalam bahasa setempat disebut “siapi-api”, di sekitar kawasan yang memang belum dihuni, yang menarik perhatian marga Ang untuk mendarat.

Namun kalangan etnis Melayu mengklaim mengklaim bahwa kata ”bagan” berarti tempat atau daerah, dan ”api-api” adalah jenis pohon bakau. Dengan kata lain, kota ini dulunya adalah daerah yang banyak ditumbuhi poho bakau jenis api-api.

Berdasarkan fakta sejarah tersebut, memang tidak aneh bila 60 persen penduduk kota ini adalah suku Tionghoa, dan didominasi oleh bangunan berlanggam China. Contohnya yang terdapat di Jalan Perniagaan. Di salah satu sisi jalan ini terdapat deretan bangunan berlantai dua, yang merupakan rumah-rumah tua warga suku Tionghoa. Rumah-rumah tersebut berhiaskan ukiran kayu indah, hampir di seluruh bangunan, yang merupakan perpaduan gaya Cina dan Melayu, dan tampak cukup terawat. Mungkin lantaran masih didiami pemiliknya.

Namun demikian, Pemerintah Kabupaten Rohil tampaknya harus lebih giat menjaga warisan sejarah dan budaya ini, lantaran keberadaannya mulai tergeser dengan bangunan ruko modern.

Tak hanya rumah ala China-Melayu yang mendominasi Bagansiapiapi. Di banyak tempat, dapat dengan mudah ditemui pekong, alias tempat sembahyang orang Kong Hu Cu, dan Wihara, bagi umat Budha. Banyak yang dibangun puluhan tahun lalu, tidak sedikit pula yang merupakan bangunan baru. Hal ini menunjukkan bahwa warga kota memiliki semangat beragama dan melestarikan tradisi yang sangat kuat.

Contohnya, Joni, siswa SMA kelas 1, yang bersama teman-temannya giat berlatih bermain barongsai di Wihara Sasana. Joni, yang bertugas menabuh gendang, nampak sangat ahli memainkan tongkat pemukul kecil di atas tabuhan-tabuhan yang diperlukan untuk bermain barongsai. Maklumlah, dia sudah berlatih sejak masih duduk di bangku SMP, dan kini tengah mempersiapkan diri untuk turut bermain dalam Go Ge Cap Lak alias Upacara Bakar Tongkang.

Upacara yang diselenggarakan pada tanggal 15 dan 16 di bulan kelima sistem penanggalan Imlek itu merupakan bentuk pemujaan warga Tionghoa Bagansiapiapi kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sung Ong Ya yang dianggap berjasa menjaga keselamatan saat mereka mendarat di kawasan ini.

Namun ada juga yang menganggap upacara ini untuk mengenang keputusan para leluhur yang berkeras tinggal di Bagansiapiapi, dengan membakar perahu mereka agar tidak tergoda pulang ke daerah asal.

Sayang, saat Joni asyik bercerita tentang upacara ini, saya hanya dapat membayangkannya, seraya berharap dapat menyaksikan upacara Bakar Tongkang dengan mata kepala sendiri di lain waktu. Semoga!

Selain kaya warisan arsitektur Cina, Bagansiapiapi rupanya juga memiliki bangunan berarsitektur Belanda yang tersebar di pusat kota, seperti Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus, yang dibangun bertepatan dengan masuknya Belanda di kawasan ini, dan asrama yang memiliki tower yang dulu memiliki jam besar. Asrama ini sempat dijadikan tempat tinggal anggota polisi dan rohaniwan Belanda, namun kini hanya dihuni 12 kepala keluarga anggota Polri.

Selain itu, terdapat pula rumah sakit umum yang dibangun pada 1901, penjara tempat narapidana kriminal dan politik Belanda, serta Bagan Leiding, tempat penampungan air bersih yang dibangun pada 1924. Tapi sungguh disayangkan, Kantor Kontroleur Distrik Bagansiapiapi yang dibangun Belanda pada 1905, setelah memindahkan pusat pemerintahan dari Tanahputih, sudah dirobohkan dan diganti bangunan megah kantor bupati.

Alasan pemerintah Belanda melakukan perpindahan lantaran kota ini tumbuh dengan amat pesat sebagai kota pelabuhan perikanan dan penumpang termodern, bahkan mengalahkan banyak tempat di sepanjang Selat Malaka.

Bahkan sekitar tahun 1930-an, Bagansiapiapi mencapai kejayaannya lewat ekspor ikan tangkapan yang mampu mencapai 300.000 ton setahun, sehingga merajai industri perikanan dunia.

Satu hal yang menarik adalah gaya hidup masyarakat Bagansiapiapi, yang berbaur akrab. Warung kopi yang banyak saya temui di seantero kota, misalnya, menerapkan sistem ”partnership” antara kedua suku ini. Si pemilik kedai adalah suku Tionghoa yang berjualan kopi dan minuman lain mengambil tempat di bagian belakang warung, sementara pedagang nasi goreng atau soto adalah suku Melayu yang menempati bagian depan warung. Hampir sepanjang hari, terutama di pagi dan sore hari, warung-warung kopi ini ramai dikunjungi oleh mayoritas kaum pria.

Selain itu, sejumlah usaha kecil menengah juga banyak terdapat di seantero kota. Saya sempat mengunjungi pabrik pembuatan misoa, sejenis mie, di Jalan Gedung Nasional, milik Goh Liong Kat, bermerek Sang Hie atau Mie Tunas, yang sudah berdiri sejak 1960-an.

Begitu juga pabrik kecap dan tauco Ban Ek Can di Jalan Pahlawan, berlabel Cap Jempol, yang juga ada sejak 1960-an, serta Tukang Kue HH di Jalan Perjuangan, yang membuat cemilan khas Bagansiapiapi berupa Kacang Pukul, alias ting-ting.

Satu lagi. Masih ingat cerita saya di awal artikel tentang ramai kicau serak burung walet, yang membahana ke seluruh penjuru kota? Ternyata, itu berasal dari kaset yang dipasang siang dan malam di rumah-rumah walet, untuk memancing burung yang memiliki sarang berharga jutaan rupiah itu agar mau mampir. ***

Sumber:
[1] Reader’s Digest
[2] jalanjalanyuk.com

(M Yamin Indra)
Kategori : Potret Riau
wwwwww