Galangan Kapal Tradisional di Bagansiapiapi; Jejak Pendaratan Tionghoa dan Sisa Kejayaan Surga Ikan di Dunia

Galangan Kapal Tradisional di Bagansiapiapi; Jejak Pendaratan Tionghoa dan Sisa Kejayaan Surga Ikan di Dunia

Dua buah kapal yang sedang dalam tahap pengerjaan.

Kamis, 10 Maret 2016 14:05 WIB
BAGANSIAPIAPI, POTRETNEWS.com - Jika Kalimantan mempunyai Singkawang dengan nuansa Kota Pecinaan yang kental, Sumatera memiliki Bagansiapiapi yang memiliki nuansa perkotaan yang membuat setiap pengunjung yang datang ke kota ini serasa berada di daratan China. Dengan bangunan tua peninggalan para tetua yang menemukan Kota Bagan, gemercit bunyi burung walet serta masyarakat keturunan Tionghoa yang berlalu lalang menambah suasana bahwa kita memang sedang berada di dataran China.

BACA JUGA:

. Memburu Sisa Sejarah di Bukit Rimbang Bukit Baling; Kisah Romusha Bangun Rel Kereta Api Pekanbaru-Sijunjung

. Kokohnya Mesjid Jami’ Airtiris di Kampar, Dibangun Tahun 1901 dan Berulang Kali Dibakar Belanda

Ya, Bagansiapaiapi begitulah orang kebanyakan menyebut kota yang terletak di Timur Pulau Sumatera ini, kota tua nan indah ini terletak di pinggiran Selat Malaka yang memisahkan dataran Indonesia dengan dataran besar Asia. Untuk menempuh kota ini kita bisa menempuh perjalanan darat dengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam dari Ibu Kota Provinsi Riau yakni Pekanbaru. Untuk transportasi menuju kotanya sendiri tersedia mulai dari travel, bus serta mobil sewaan.

Kota Bagansiapiapi, yang Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), konon dahulunya ditemukan pertama kali pada abad ke-18 oleh Marga Ang yang merantau meninggalkan Pulau Hokkian (Fujian) menuju Sumatera dengan harapan agar bisa menemukan kehidupan baru yang lebih mapan.

SIMAK:

. Megahnya Kantor Bupati Rokan Hilir Mirip ”Capitol Hill” di Amerika yang Diduga Sarat Korupsi dan Kasusnya Bakal Diambil Alih Bareskrim

Namun di dalam perjalanan menuju Sumatera (dikenal juga dengan Pulau Andalas) kapal mereka mendapat musibah di tengah laut dihantam gelombang besar serta badai, saat itulah penumpang kapal yang berjumlah 18 orang berdoa kepada dewa yang ada di kapal untuk diberi keselamatan.

Selang beberapa saat terlihatlah lentera dari kejauhan didaratan. Ke-18 orang Marga Ang tersebut pun mendekat menuju daratan. Dan atas sejarah inilah Kota yang dikenal dengan Bagansiapi api sekarang bermula.

Melihat perkembangan Kota Bagansipaiapi, hal yang tidak boleh dilupakan adalah Kelenteng Ing Hok King, kelenteng yang dibangun pada tahun 1879 ini atau sekarang kelenteng ini sudah berusia sekitar 131 tahun merupakan saksi sejarah perkembangan Kota Bagansiapiapi dari masa ke masa.

Kelenteng yang dibangun oleh etnis Tionghoa ini merupakan salah satu kelenteng yang paling banyak dikunjungi jika hari besar perayaan umat Tiong Hoa tiba, seperti saat Perayaan Cap Go Meh, Tahun Baru Imlek ataupun Bakar Tongkang. Kelenteng yang megah ini terletak tidak jauh dari Kantor Bupati Bagansiapapi.

Saya mencoba menikmati sebuah kota indah ini meski hanya dalam waktu yang singkat namun sangat berkesan. Ada berbagai hal yang tidak bisa saya lupakan dari kota yang selalu berdendang oleh kicauan burung walet disetiap sudut ibu kota. Setelah prolog singkat di atas saya akan mencoba membagi perjalanan mengunjungi sebuah galangan kapal tradisonal yang berada di Kota Bagansiapiapi. Kota yang masyur dengan sebutan kota penghasil ikan.

”Ada gula, tentu ada semut”. Sebuah peribahasa singkat yang kalau kita artikan bahwa di mana ada gula di sana juga ada semut. Gula sebagai makanan semut, tentunya membuat semut berbondong-bondong untuk datang. Mencicipi gula, mengambil sari dula untuk dibawa ke ratunya.

Begitulah juga kiranya kita umpamakan Kota Bagansiapiapi, ada ikan ada nelayan. Ya, Kota Bagansiapiapi terkenal dengan Kota Penghasil Ikan terbesar kedua setelah Norwegia nan jauh di benua lain di sana. Maka tidaklah salah Kota dengan brandmark penghasil ikan kedua terbesar di dunia ini memiliki geliat ekonomi yang tidak jauh dari yang namanya kehidupan melaut.

“Nenek moyangku seorang pelaut” begitulah salah satu lagu yang sering didendangkan saat zaman kita dulu masih kanak-kanak. Nenek moyang kita orang Indonesia memang terkenal dengan kelihaianya melaut dan menangkap ikan di perairan Indonesia yang 25 persen kehidupan ikan di dunia ini ada di laut Indonesia. Bisa kita bayangkan betapa kayanya alam bahari kita Indonesia.

Bicara melaut, tentu tidak bisa dilepaskan dengan namanya kapal. Kapal adalah transportasi utama yang digunakan para nelayan untuk melakukan tangkapan di perairan lepas. Banyak jenis kapal yang digunakan nelayan. Ada yang dibuat degan cara modern dan adapula kapal yang masih dibuat menggunakan cara yang masih ”kuno”. Salah satu cara pembuatan kapal yang masih ”kuno” tersebut saya temukan di tepian Sungai Rokan di pesisir Timur Pulau Sumatera, tepatnya di Kota Bagansiapiapi ini.

Pagi itu galangan kapal tradisional terlihat sepi. Setelah memarkirkan motor saya di depan galangan kapal saya berjalan memasuki galangan kapal. Karena tidak memungkinkan bagi saya untuk masuk kegalangan kapal menggunakan motor. Persis di tempat motor saya terparkir jalanan tak jauh berbeda dengan pemandian kerbau, sangat sulit untuk dilewati. Galangan kapalnya sendiri terletak di ujung jalan di tepian Sungai Rokan yang mengalir elok melewati kota ini.

Saya berjalan memasuki areal galangan kapal. Di pintu masuk berdiri sebatang pohon sawit serta seekor anjing yang masih tertidur lelap. Padahal di jam tangan saya sudah menunjukan pukul 8.40 pagi dasar pemalas.

Persis setelah memasuki galangan, pemandangan balok kayu yang berserakan akan menjadi pemandangan. Tersungging pula 2 buah bangunan yang terbuat dari kayu. Kedua bangunan tersebut masih non permanen. Didirikan dengan kontruksi kayu dengan dinding dari seng-seng dan papan-papan penuh coretan.

Satu bangunan yang terlihat menjulang dijadikan sebagai tempat peternakan walet oleh pemiliknya dan satu lagi dijadikan tempat tinggal para pekerja galangan kapal. Untuk tempat para pekerja, bangunanya dibagi dengan sekat-sekat dan dibuat bertingkat. Lantai bawahnya dijadikan sebagai gudang perkakas, dapur untuk memasak, tempat beristirahat sementara dan lantai kedua dijadikan sebagai tempat tidur kala bulan mulai terlihat jauh di ujung kepala.

Bangunan inilah yang menjadi saksi para pekerja membuat sebuah kapal dengan cara tradisonal yang mampu bertahan hingga 40 tahun lamanya. Sebuah umur kapal yang sangat lama menurut saya.

Saya berkenalan dengan beberapa pekerja kapal yang sedang istirahat sambil menyaksikan acara tinju yang digelar di salah satu TV swasta nasional. Semua pekerja terlihat gagah dengan badan tegapnya sambil berteriak dengan memegang secangkir kopi saat melihat kedua petinju saling menyerang. Ya inilah saat nya mereka melepas penas kerja keras di pembuatan kapal tradisional ini.

Saya pun menanyakan tentang tidak adanya aktifitas hari ini kepada para pekerja. Hanya jawaban sederhana yakni kemungkinan faktor acara tradisional Bakar Tongkang-lah yang membuat galangan kapal tidak seperti hari biasa. Ya, padi hari itu di Kota Bagansiapiapi sedang diadakan sebuah acara tradisional Bakar Tongkang yang sangat menarik untuk dinikmati.

Namun kondisi galangan kapal tidak sepenuhnya berhenti bekerja, masih ada beberapa orang yang masi bekerja melakukan pemotongan kayu atau hanya sekadar mengecek lambung kapal apakah sudah dalam keadaan siap untuk diturunkan dari galangan kapal.

Beranjak dari tempat para pekerja yang sedang beristirahat sayapun menuju sebuah kapal yang sedang dalam tahap pengerjaan. Balok kayu-kayu berserakan di dasar kapal yang baru siap pengerjaan sampai tahap lambung. Masih banyak lagi komponen dari kapal kayu ini yang harus dikerjakan. Secara umum pembuatan kapal tradisional di Galangan kapal ini dilakukan dengan cara memilah-milah pekerjaan.

Ada yang bertugas sebaga perancang, pengukur kayu, pemotong kayu, ada yang bertugas melengkungkan kayu agar sesuai dengan posisinya, ada yang bertugas sebagai pemasang kayu pada tempat yang telah ditentukan, bagian pelicin badan kapal, bagian pengecatan dan bagian finishing semuanya dipilah-pilah.

Maka tidak lah salah pekerja bisa mencapai 50 orang untuk membuat satu kapal dengan tenggat waktu pembuatan 8 hingga 12 bulan dengan dana hingga 250 juta. Ya memang mahal, terlebih lagi bahan kayu berjenis kulim sudah sulit untuk didapat tutur salah seorang pekerja kepada saya.

Saya pun mencoba menaiki kapal yang masih belum siap, tinggi besar dengan lambung ternganga. ”Ini masih dikerjakan hingga 4 bulan lagi mas,” tutur salah seorang pekerja yang bertugas sebagai pelicin lambung kapal agar kapal tidak bocor. Saya pun mengambil beberapa gambar tentang pembuatan kapal tradisional ini. Ada beberapa foto juga yang saya ambil tentang para pekerja yang melakukan pemotongan kayu.

Mata hari semakin tinggi menuju ubun-ubun. Panas semakin terasa digalangan kapal ini, saya pun segera beranjak meninggalkan galangan kapal tradisional ini setelah berpamitan dengan para pekerja kapal. Akhirnya saya sampai juga digalangan kapal tradisonal yang sudah berumur ratusan tahun ini. ***

Editor:
Mukhlis

Sumber:
https://www.ranselkosong.com/

Kategori : Potret Riau
wwwwww