Cerita Pilu dr RM Pratomo, Perintis Kesehatan Bagansiapiapi yang Jasadnya Ditelan Arus dan Lumpur Sungai Rokan saat Meninjau Negeri Terisolir yang Diserang Wabah Penyakit

Cerita Pilu dr RM Pratomo, Perintis Kesehatan Bagansiapiapi yang Jasadnya Ditelan Arus dan Lumpur Sungai Rokan saat Meninjau Negeri Terisolir yang Diserang Wabah Penyakit
Selasa, 01 Desember 2015 02:18 WIB
BAGANSIAPIAPI, POTRETNEWS.com - Jika kita berkunjung ke Kota Bagansiapiapi, maka, kita akan melewati jalan yang merupakan pintu masuk kota tua tersbut, yang sekarang dikenal dengan Jalan Pahlawan (di era kolonial bernama Haga Straat). Di sebelah kiri terdapat sebuah rumah sakit daerah milik pemerintah yang bernama Rumah Sakit RM Pratomo. Penamaan RM Pratomo ini adalah untuk mengenang jasa beliau, seorang dokter lulusan Stovia yang melakukan tugas pelayanan kesehatan di awal abad ke-20 di Bagansiapiapi.

Sebagaimana diketahui, bahwa di era pergantian abad dari abad ke-19 menuju abad ke-20, Pemerintah Kolonial bersama pihak swasta Eropa tengah dilanda ”demam” bisnis perkebunan, pengupayaan budidaya tanaman yang laku keras di pasaran dunia dengan memanfaatkan lahan-lahan yang terhampar luas di negeri jajahan.

Sebut saja salah satunya Pantai Timur Sumatra. Sebuah bisnis feodal-kapitalis yang prospektif bagi penguasa, melalui seangkaian pengadaan perjanjian dengan penguasa lokal, menuju sebuah profit yang luar biasa besar, bahkan diberitakan; bahwa hanya dengan modal senilai f300.000, menjadi berlipat senilai f14.000.000 dalam jangka waktu 14 tahun saja!

Konsekuensi logis dari zaman ini adalah; terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap pekerja guna memaksimalkan laba, kondisi yang didukung seperangkat aturan yang dikenal dengan ”koeli-ordonantie,” ini juga mengingat bahwa pekerja yang didatangkan untuk bekerja disana mencapai hampir 1 juta orang! Suatu era penindasan, dimana penzaliman telah menjadi kelaziman. Di waktu ini, dan di situasi seperti inilah dr RM Pratomo berada.

Pada awalnya, dr RM Pratomo melakukan tugas perawatan terhadap pekerja di lingkungan pengusahaan kolonial, yang hal ini memaksanya untuk menyaksikan ketidakadilan dan kezaliman, yang membuatnya berada dalam sikap berseberangan, terutama terhadap penguasa dan pemilik modal – hal yang kala itu tidak diinginkan oleh Pemerintah Kolonial.

Setelah menjalani masa “menunggu” di Weltevreden, dr RM Pratomo sebagai pribadi yang tidak saja ramah, juga senantiasa selalu berupaya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan dirinya; aspek yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran pelaksanaan tugas di era Hindia Belanda, seperti; kemampuan berbahasa asing, musik hingga menggunakan senjata. Takdir akhirnya menuntun dokter RM Pratomo menuju Bagansiapiapi.

Selama menjalani masa tugas di Bagansiapiapi, dokter RM Pratomo tidak hanya melakukan perawatan medis terhadap masyarakat Bagansiapiapi yang didominasi oleh nelayan – yang meliputi juga tugas ke lepas pantai terutama pada jermal-jermal, melainkan juga melakukan tugas ke wilayah hulu Sungai Rokan-hingga ke lanskap Tanahputih secara berkala – tugas yang juga didukung oleh Sultan Siak pada saat itu.

Pengupayaannya, dedikasi dan integritas terhadap tugasnya, saat ini tampak nyata pada sebuah rumah sakit di Bagansiapiapi, yang pada awal pendiriannya di era kolonial adalah sebuah unit kesehatan dengan bangunannya yang sederhana dengan standar medis saat itu.

Penerima “Litle Gold Star” dari Ratu Belanda ini, hendaknya menjadi teladan, bagi setiap pribadi-terutama- yang bergerak di bidang pelayanan medis untuk senantiasa mengedepankan tugas, meski jauh dari keramaian dan kehingaran kota.

Seperti dr RM Pratomo, yang di sepanjang hidupnya telah mengabdi dan terus mengabdi, hingga di bulan Februari tahun 1939, takdir menghentikannya.

Berikut ini, petikan catatan tentang dokter RM Pratomo, yang dikisahkan oleh Jauhari Syam (Pensiunan Pegawai Rumah Sakit dokter RM Pratomo – anak dari Sjamsoeddin sebagai staf medis yang membantu dokter RM Pratomo, kemudian Dokter Mardhani Sutardjo (mantan kepala Rumah Sakit RM Pratomo), dalam “Sejarah singkat Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi”, Januari 1986.

Pada Tahun 1910 (atau 1911:red) datanglah ke Bagansiapiapi seorang dokter tamatan Sekolah Kedokteran Stovia Jakarta bernama dokter Raden Mas Pratomo. Beliau masih keturunan ningrat bangsawan kerabat Keraton Yogyakarta.

Mungkin karena masih terpengaruh oleh pergerakan kebangsaan di kalangan mahasiswa kedokteran pada waktu itu yang dipelopori teman sejawatnya dr Sutomo di bawah pembinaan dan bimbingan dr Wahidin Soedirohoesodo, maka membuat dr Pratomo menjadi seorang yang idealis penuh jiwa pengabdian dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya.

Demikianlah pada waktu beliau pertama datang ke kota Bagansiapiapi ini dan melihat keadaan derajat kesehatan masyarakat bagansiapiapi yang masih sangat rendah sekali, maka timbullah dalam hati kecil beliau tekad untuk memperbaiki /meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Bagansiapiapi dan sekitarnya.

Inisiatif dokter pratomo tersebut mendapat dukungan sepenuhnya dari masyarakat, sehingga pada tahun 1910 itu jugalah dokter pratomo dengan bantuan masyarakat mendirikan / membangun sebuah balei pengobatan di sebidang tanah yang sekarang menjadi tempat berdirinya Rumah Sakit Umum Bagansiapiapi.

Bangunan Balai Pengobatan tersebut masih sangat sederhana sekali yang merupakan rumah panggung yang tinggi beratapkan daun nipah, berdinding dan berlaintai papan nibung yang tinggi dan bercat kapur sirih.

Bangunan tersebut merupakan dua bangunan yang dipersambungkan dibangunan bagian depan dipergunakan untuk poliklinik sedang bangunan bangunan bagian belakang sebagai ruang perawatan. Tidak berapa jauh dari bangunan tersebut di atas, dokter Pratomo juga membangun rumah kediamannya secara pribadi.

Bangunan ini pun sangat sederhana berlantai papan dan berdinding serta beratap nipah. Tempatnya adalah di rumah dokter sekarang. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dr Pratomo dibantu oleh beberapa pembantu di antaranya dari keluarga dr.Pratomo sendiri yang datang dari Jogjakarta bersama R.Susanto (ipar dari dr Pratomo), pembantu selebihnya adalah orang-orang Bagan asli diantaranya; Buddin Lahuzar dan Ahmad Dayan.

Di dalam melaksanakan tugasnya selalu memberikan pelayanan pengobatan / Perawatan di Balai pengobatan dr Pratomo pun aktif, meninjau kampung-kampung di sekitar Bagansiapiapi, pulau-pulau dan desa kecil di sepanjang Sungai Rokan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat di pedalaman.

Berkat kesungguhan dokter Pratomo dalam menangani masalah kesehatan masyarakat khususnya pelayanan kesehatan yang diberikan di balai pengobatan menimbulkan rasa kepercayaan yang besar masyarakat terhadap pengabdian dr Pratomo di daerah ini.

Balai pengobatan dr Pratomo sangat terkenal sampai ke pelosok desa. Penduduk desa ini berduyun-duyun datang dengan sampan ke Balai Pengobatan dr Pratomo di Bagansiapiapi.

Jerih payah dr Pratomo dalam membina kesehatan masyarakat di daerah ini sangat menarik perhatian dan dukungan dari pada tokoh-tokoh /pemuka masyarakat sehingga timbullah suatu tekad masyarakat demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik perlu dibangun suatu rumah sakit dan permanen.

Walaupun situasi tanah pada waktu itu belum mengizinkan tetapi kiranya mereka merasa bahwa bangunan rumah sakit yang baik dan permanen yang benar-benar memenuhi persyaratan memang mutlak didirikan. Demikianlah pada tahun 1925 setelah lewat 10 tahun sejak berdirinya bangunan darurat tersebut oleh sebuah perkumpulan dalam masyarakat setempat yang berbentuk semacam yayasan, bernama ”Vereniging” [1] mulailah dikumpulkan dana untuk keperluan itu dari anggotanya dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Pengusaha hasil laut ditentukan iuran sebesar f 2,50 – f 5 ( sesuai dengan besar kecilnya usaha dan banyaknya jermal yang dimilikinya);

2. Pegawai Pemerintah yang menjadi anggota “Vereniging” ditentukan iuran sebesar 1% dari gaji pokok;

3. Hasil penjualan karcis di Balai Pengobatan;

4. Kekurangan uang dana dari yang terkumpul tersebut dibantu atau ditambah Pemerintah Belanda dari uang Pendidikan Sosial yang dipungut dari pemasukan beras di Kota Bagansiapiapi.

Uang yang dikumpulkan oleh Yayasan “Vereniging” tersebut cukup lumayan besarnya sehingga dapat dibangun suatu Rumah Sakit yang permanen dan megah (menurut ukuran pada waktu itu) yang terdiri dari 8 (delapan) bangunan besar;

1. Bangunan induk untuk Kantor administrasi dan poliklinik;

2. Zaal Laki-laki;

3. Zaal Wanita;

4. Zaal khusus untuk penyakit menular;

5. Sebuah bangunan rumah untuk pegawai;

6. Sebuah bangunan dapur;

7. Kamar mayat;

8. Gudang.


Sebahagian bangunan-bangunan itu masih utuh dan dapat dimanfaatkan. Setelah selesai pembangunan komplek tersebut diberi nama Armen Huis, dan sebagai pimpinan ditunjuk dr,Pratomo dengan pegawai-pegawainya antara lain:

1. Abdurrahman;

2. Gemang

3.Syamsudin Rimbau

4.Sagala

5.Dagang


Dengan penambahan sarana-sarana kesehatan tersebut diatas maka pelayanan kesehatan di Bagansiapiapi dapat lebih ditingkatkan.

Selanjutnya pada tahun 1934 pada saat dr Pratomo mengambil cuti ke Negeri Belanda, rumah pribadi dr Pratomo yang bangunannya masih sangat sederhana sekali dibeli oleh “Vereniging” . Kemudian rumah tersebut dibongkar dan disitu dibangun sebuah rumah baru, dimaksudkan untuk tempat tinggal dokter yang bertugas di rumah sakit tersebut.

Rumah dokter tersebut dikenal dengan nama “dr.Woning”.

Sekembali dari Negeri Belanda, dr Pratomo kembali terjun lagi ke tengah masyarakat dengan semangat pengabdiannya yang semakin menyala-nyala tidak kunjung padam.

Namun barangkali demikianlah harusnya akhir hayat seorang dokter yang idealis, dokter Pratomo tewas dalam suatu kecelakaan motor air di pedalaman Sungai Rokan. Dikisahkan pada tahun 1940 (1939-red) pada waktu beliau bersama-sama para pejabat dari Bagansiapiapi dalam perjalanan meninjau kejadian wabah yang timbul di bahagian hulu Sungai Rokan, dr Pratomo terjatuh dari motor FII milik dari Pemerintah Belanda yang dipergunakan rombongan dalam peninjauan itu, di Perairan Ulak Bengkuang sekitar Siarang-arang. Jasadnya ditelan arus dan lumpur Sungai Rokan dan tidak pernah diketemukan lagi.

Dengan tewasnya dr.Pratomo masyarakat Bagansiapiapi benar-benar merasa kehilangan, bagi mereka dr Pratomo tidak saja sebagai dokter yang dapat mengobati penyakit tetapi juga adalah seorang tokoh pembangunan. Mungkin di Bagansiapiapi dr.Pratomo adalah seorang yang pertama kali dapat menggerakkan masyarakat menghimpun dana swadaya masyarakat untuk pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri Untuk jasa-jasa yang besar tersebut diatas itu wajarlah jika kita untuk mengenangnya agak sesaat, semoga kepribadiannya yang sederhana kemauannya berkorban untuk kepentingan masyarakat tanpa pamrih dapat menjadi suri teladan di masyarakat Bagansiapiapi ini….

Sumber kutipan:
sejarahbagansiapiapi.blogspot.com

(Akham Sophian)
Kategori : Potret Riau
wwwwww