Rumah Kapitan di Bagansiapiapi Terbiar dan Membisu

Rumah Kapitan di Bagansiapiapi Terbiar dan Membisu

Inilah rumah kapitan di Bagansiapi-api, Rokan Hilir. Rumah ini memiliki sejarah besar tentang negeri penghasil ikan itu. Sayang, kini kondisinya kian memprihatinkan. (foto: riau pos)

Jum'at, 27 November 2015 09:17 WIB
BAGANSIAPIAPI, POTRETNEWS.com - Rumah itu sebagian besarnya berbahan dasar kayu. Hanya tangga yang terbuat dari batu sampai ke ujung jalan sepanjang lebih kurang 20 meter dan lantai depan dibaluti lempengan marmer warna putih. Sekilas kesan reyot, tua dan tidak terurus tak dapat disembunyikan dari pandangan. Sebuah bangku kayu yang menyediakan lima tempat duduk sekaligus tergeletak di lantai, persis sebelah kanan rumah. Tak jauh dari situ, sebuah tanki kosong, jeruji pagar dan beberapa besi melintang terbiarkan begitu saja, kusam dan berdebu.

Dilihat dari dekat, bangunan arsitekturnya jelas memadukan nuansa Melayu dan tradisional Tionghoa. Kecuali lantai, hampir setiap bagian rumah seperti dinding, pagar beranda, hingga tiang penuh dengan ornamen ukiran dan lukisan bunga atau selembayung sebagaimana lazimnya ditemui di setiap rumah orang Melayu tempo doeloe.

Tambahannya terdapat juga ukiran sosok dewa yang biasa ada di kediaman orang Tionghoa. Sayangnya warna di atas permukaan ukiran itu sudah pupus. Beberapa bahkan terlihat polos, entah karena memang tidak pernah diwarnai sebelumnya atau justru tergerus dimakan waktu.

Nama yang empunya rumah masih dapat dibaca jelas pada sebuah lempengan di dekat pintu utama, Ng Cong Bun, beralamat di RT 04 RW 02 Kelurahan Bagan Timur, Bagansiapi-api, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau.

Bangunan rumah itu sejak dahulunya terkenal dengan sebutan rumah kapitan. Kini keberadaannya tersembunyi, tua dan membisu di tengah berlombanya kemunculan bangunan modern rumah dan toko.

Semak meninggi, menjalar bahkan hampir sejajar dengan tinggi lantai. Hanya dua meter ruang lahan tersisa di sebelah kiri dan kanan rumah, selebihnya bangunan penangkaran walet, yang menghantarkan kicau suara walet tiruan tanpa henti.

Rumah Kapitan tua marga Ng, orang mengenalnya dengan sebutan Kapitan Ng I Tam yang terletak di Jalan Kelenteng itu adalah salah satu di antara bangunan bersejarah yang masih ada, bahkan di Riau bangunan serupa hanya tersisa di Bagansiapi-api.

Sebelumnya ada bangunan rumah milik kapitan yang paling terkenal, Yeo Ming San persis di belakang Kelenteng Ing Hok Kiong namun telah dibongkar dan diganti dengan bangunan rumah modern.

Sedangkan lokasi rumah Kapitan Ng berjarak 25 meter dari klenteng tersebut dan ditempati oleh ahli waris marga Ng sampai Ng Cong Bung saat ini. Bangunan itu sendiri diperkirakan dibuat pada 1870-an, selang beberapa tahun setelah bangunan Kelenteng Ing Hok Kiong pada 1875.

Versi lain menuliskan tahun pendiriannya pada 1900. Pada seabad silam lebih, kala itu, di rumah tersebut dijalankan otoritas penting menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagaimana peran sistem kekuasaan kapitan yang diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk mengendalikan dan mengatur komunitas masyarakat Tionghoa.

Kapitan adalah jabatan prestise, diangkat oleh pemerintah Belanda atas dasar ketokohan, kekayaan serta pengaruh dalam masyarakat Tionghoa sendiri.

Umumnya para kapitan, adalah orang yang sangat kaya dan memiliki pengaruh ketokohan luar biasa. Mampu menjembatani kepentingan ekonomi, politik dan sosial dan kendala bahasa antara Belanda dengan Tionghoa.

Peranannya sentral dan bahkan mutlak dalam bidang budaya, pemerintahan termasuk membuat daftar kelahiran, kematian, pernikahan, kedatangan atau migrasi, penyelesaian pertikaian dan sebagainya.

Ketika pada abad ke-17 Belanda telah mengangkat kapitan di Batavia maka di awal abad 19 jabatan itu sudah terbentuk pula di Bagansiapiapi. Tentu banyak rekaman periode sejarah yang berkaitan dengan fungsi rumah itu, dalam kapasitasnya sebagai simbol jejaring kekuasaan kolonial.

Hal ini ditunjang dengan sumber daya kelautan yang melimpah di Bagansiapi-api saat itu, berbagai bangsa datang untuk membeli ikan terutama karena lokasi strategis perairan Bagansiapi-api yang mudah dijangkau di antara Selat Melat Melaka dan Laut Cina Selatan.

Bahkan ketika nama Negara Indonesia masih mencari bentuk untuk lepas dari belenggu penjajahan Belanda, di saat yang sama pelabuhan Bagansiapiapi malah sudah terkenal sebagai pusat perdagangan dan pelayaran yang sangat pesat di dunia.

Menurut sejarah, kapitan terakhir bernama Lo Chin Po. Dia terbunuh pada peristiwa Bendera di Bagansiapi-api yang terjadi pada 12 Maret 1946. Ketika berita proklamasi sudah sampai ke Bagansiapiapi, sebagian warga Tionghoa mengibarkan bendera Kuo Min Tang pada hari besar tanpa berdampingan dengan merah putih.

Insiden itu sebenarnya dapat diselesaikan dengan mediasi di kewedanaan, dengan inti kesepakatan setiap warga Tionghoa mengibarkan dwi warna berdampingan dengan bendera Kuo Mintang di sebelah kiri.

Namun pasca kesepakatan, Lu Cin Po justeru terkena tebasan parang yang mengenai lehernya dalam sebuah kericuhan susulan yang dipicu oleh tindakan orang tidak dikenal yang bersikeras tetap menurunkan bendera Kuo Mintang di kediaman warga Tionghoa secara paksa. Tebasan itu memicu timbulnya pertikaian, 16 orang dinyatakan tewas. Peristiwa tersebut selanjutnya menjadi titik balik berakhirnya fungsi kapitan di Bagansiapiapi seiring transisi pemerintahan Indonesia yang baru.

Dilihat dari peranan penting yang pernah terjadi, usia bangunan dan keunikan arsitekturnya sangat pantas jika bangunan rumah kapitan saat ini dilestarikan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, sebagai salah satu benda cagar budaya.

Ada faktor kesejarahan yang pantas dihargai, di samping potensi untuk dijadikan sebagai salah satu destinasi wisatawan dari luar. Perlindungan benda cagar budaya dan situs kelak bertujuan untuk melestarikan dan memanfaatkannya bagi kemajuan kebudayaan nasional Indonesia sebagaimana tertuang pada UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya.

Revitalisasi bangunan rumah adalah tindakan tepat yang mesti dilakukan segera. Ini diamini Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Rohil (waktu itu dijabat Ir H Tarmizi). Menurutnya, skala prioritas wajib dibuat untuk menyelamatkan bangunan bersejarah dari kepunahan. ”Namun harus ditentukan dulu apa yang mesti diperbaiki di awal dan apa yang belakangan,” ungkapnya.

Banyak bangunan bersejarah yang perlu penyelamatan, terang Tarmizi, tak hanya rumah kapitan. ”Ada cagar budaya lainnya, termasuk rumah bupati saat ini. Itu bangunan yang lama, lebih dari 50 tahun. Setiap bangunan yang lama tentu punya sejarah tersendiri,” katanya.

Namun saat ditanyakan adakah rencana revitalitasi rumah sang kapitan pada 2012 ini, ia mengaku hal itu belum masuk dalam program dari dinas pada tahun ini.

Hasanto, Sekretaris Multi Marga menyatakan, kalau pemerintah serius berniat membenahi rumah kapitan maka tentu saja dapat dilakukan sejak lama. ”Jangan sampai kondisinya semakin rusak,” ujar Hasanto.

Ia menyayangkan bagaimana bangunan bersejarah di Bagansiapiapi banyak yang rusak, hilang, terbiarkan atau dengan sengaja dimusnahkan. Diganti dengan bangunan baru yang serba berbeda dari bangunan asal. Seperti Kelenteng Ing Hok Kiong, Kantor Kewedanaan, Bank BRI yang dulu populer dengan sebutan Bank Bagan sebagai bank tertua nomor dua se-Indonesia.

Hasanto menambahkan, rumah kapitan saat ini barangkali hanya tinggal bangunan kosong tanpa makna terutama jika tidak diperbaiki.

”Benda bersejarah di dalamnya juga sudah banyak hilang, seperti kursi kayu yang antik, meja giok, kereta angin (sepeda onthel, red) dan berbagai benda bersejarah lainnya,” imbuh Hasanto. Sebagian dari barang-barang itu raib karena aksi pencurian, sebagiannya dijual oleh ahli waris karena keperluan hidup.

Kamis (5/7/2012) silam, Riau Pos ke tempat itu, pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Seorang lelaki paroh baya tengah memikul batang hio berukuran besar. Ia bolak-balik tiga kali dari rumah ke halaman depan untuk menancapkan tiga batang sarana sembahyang yang mengeluarkan asap itu. Hilir-mudik dan kelihatan sibuk.

Ia hanya mengeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat tak bersedia saat disampaikan keinginan dan meminta waktunya untuk wawancara. Berbaju kaus lengan pendek dan celana coklat, sesekali generasi penerus sang kapitan ini menunduk.

Di dalam, pada ruangan sebelah kiri rumah, seorang perempuan berpakaian merah tengah menyiapkan sesajian. Telaten di atas kursi kayu, dia letakkan dua piring berisi daging ayam, minuman kaleng dan kue. Khusyuk dia berdoa sambil mengacung-acungkan hio ke atas kepalanya. Sama, dia juga mengelengkan kepala.

”Kita menumpang saja, tidak bisa banyak cerita. Tak tahu apa-apa,” ujarnya sambil berlalu ke dalam.

Selang dua jam kemudian Riau Pos membawa pendamping yang fasih berbahasa Hokkian, barangkali penolakan itu terjadi karena kesulitan bahasa. Berkali-kali sang pendamping berusaha meyakinkan sang perempuan bahkan memanggilnya dengan sebutan ambu (ibu) namun dia tidak bergeming lantas memilih masuk ke dalam rumah.

Entah apa yang membuatnya mengambil keputusan seperti itu. Tidak diketahui dia generasi ke berapa dari keturunan Lo Chin Po, sang Kapitan terakhir. Mungkin saja peristiwa tragis insiden bendera 1946 itu masih membekas dan turut menjadi cerita yang diwarisi dari generasi ke generasi di samping warisan rumah besar itu. Tak ada yang tahu.

Pemerintah Rohil agaknya harus mampu melakukan pendekatan dengan baik pada sang pemilik rumah agar mereka sukarela membantu, tentunya dengan kompensasi yang memadai demi penyelamatan sebuah cagar budaya yang memprasastikan adanya kegemilangan era di masa silam. ***

(Akham Sophian)
Kategori : Potret Riau
Sumber:Riaupos.co
wwwwww