Home > Berita > Riau

Tagih Utang DBH ke Pusat, Pemprov Riau Tempuh Mekanisme Rekonsiliasi

Jum'at, 13 April 2018 07:21 WIB
tagih-utang-dbh-ke-pusat-pemprov-riau-tempuh-mekanisme-rekonsiliasiSekdaprov Riau Ahmad Hijazi menjadi Keynote Speaker Focus Group Discussion (FGD) Peran Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah Terkait Transparansi Dana bagi Hasil Industri Ekstraktif di Batam, belum lama ini.
PEKANBARU, POTRETNEWS.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau mengklaim total utang pemerintah pusat kepada daerah ini dari sektor dana bagi hasil (DBH) dan objek pajak PBB Minyak dan Gas (Migas) sepanjang 2013-2017, menyentuh angka Rp3,9 triliun. Namun pemerintah pusat memiliki data berbeda atas tunda salur anggaran bersumber APBN tersebut, sehingga dorongan rekonsiliasi data jadi solusi dengan tujuan utang lekas dibayar.

Jumlah Rp3,9 triliun anggaran tersebut merupakan jatah seluruh Kabupaten/Kota dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Terdiri dari selisih DBH Migas tahun 2013-2017 sebesar Rp1,9 Triliun. Ditambah selisih PBB Migas di periode tahun yang sama senilai Rp2,05 Triliun.

Angka ini menurut Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi, berdasarkan perkiraan realisasi perhitungan Dinas ESDM Riau sebesar Rp36,2 Triliun selama lima tahun. Sedangkan realisasi penyaluran DBH Migas setelah ditambah dengan kurang salur dan diverifikasi lebih salur menjadi Rp34,3 trilun.

"Karena pemerintah (Kemenkeu RI) belum menetapkan ketetapan rampung DBH Migas sejak 2013-2017. Jadi angka yang kita itung berikut PBB Migas mencapai Rp3,9 triliun memang ada perbedaan dengan angka pusat," beber sekda.

Diungkapkan sekda, memang selama tiga tahun anggaran berjalan serapan pemerintah dalam menggunakan anggaran terus meningkat. Tingginya angka realisasi mengakibatkan sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) semakin rendah sehingga asumsi penerimaan jadi defisit.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 2017 lalu, dijelaskan sekda, terdapat Rp600 miliar kurang salur dari target yang disiapkan sesuai aturan.

Untuk menuntaskan persoalan itu, Pemprov Riau meminta diberikan akses untuk mengetahui komponen pengurang dan pungutan lainnya dalam perhitungan dana bagi hasil (DBH) migas.

Permintaan itu ia tujukan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan tujuan demi kesejahteraan masyarakat di Riau pada masa yang akan datang.

Ahmad Hijazi mengatakan, permintaan tersebut mereka utarakan berkaitan dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang DBH yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah daerah.

Pada Pasal 28 – PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan, menyatakan; "(1) penghitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah penghasil kecuali untuk DBH SDA Perikanan. (2), dalam realisasi DBH SDA berasal dari penerimaan pertambangan minyak bumi dan/atau gas bumi perhitungannya didasarkan atas realisasi lifting minyak bumi dan/atau gas bumi dari Departemen Teknis."

Adapun tiga tuntutan yang mendasari permintaan ini dikarenakan adanya tuntutan dari kertas kerja rencana aksi Korsubgah KPK Bidang Energi. Yakni, diminta untuk membuka data terkoneksi dari SKK Migas, Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan. Kemudian, Riau yang termasuk sebagai salah satu basis industri transparansi (Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) menuntut supaya bisa mendapatkan akses terhadap sumber daya alam yang keluar dari buminya, serta mendorong untuk mengetahui berapa nilai DBH ril dari pajak bagi hasil kelapa sawit, CPO dan kalau memungkinkan juga terhadap pajak perkebunan.

"Ini merupakan salah satu bentuk untuk koordinasi dan konsultasi mengenai transparansi penghitungan ulang DBH migas," kata Ahmad Hijazi saat memberikan pemaparan dalam Focus Group Discussion (FGD) Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia di Hotel Aston Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Senin (9/4/2018).

Ia menguraikan, dana perimbangan/dana transfer ke daerah berdasarkan jenis-jenis DBH terdiri dari dua yakni DBH Pajak dan DBH SDA. Yang mana. DBH Pajak berupa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Atas Tanah dan bangunan (BPHTB), PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPODN) dan PPh Pasal 21.

"Dana Bagi Hasil Pajak permasalahannya soal penyaluran yang tidak tepat waktu dan terjadi perrbedaan perhitungan penetapan (PBB Migas) sebagai komponen pengurang," urainya.Kemudian, jenis DBH SDA yang berasal dari sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi.

Permasalahan DBH SDA, kata Hijazi juga begitu, penyalurannya tidak tepat waktu, penetapan daerah penghasil migas dan pembagian alokasi DBH Migas maupun pembebanan pajak dan pungutan lain juga tidak konsisten.

Selain itu, penghitungan Penetapan Rampung DBH Migas belum dilakukan, perhitungan Lebih Salur dan Kurang Salur Belum Transparan, Jumlah DBH yang disalurkan dalam Penetapan Dana Alokasi umum sebagai Kapasitas Fiskal, mengurangi penetapan DAU untuk daerah, sementara jumlah DBH yang Disalurkan setiap tahun belum menggambarkan kondisi riil (Lebih Salur/ Kurang Salur).

Bahkan, penetapan DAU Tahun 2018 menggunakan DBH SDA Tahun 2016, sebagai kapasitas fiskal yang Lebih Salur, Sehingga lenurunan DAU menjadi besar.

"Kita menghitung, ada Kurang Salur dari DBH pajak dan sumber daya alam untuk bisa dihitung kembali. Tadi secara Ilmiah sudah dibicarakan, ada juga yang disinggah. Pasal 28 PP 55 Tahun 2005, rekonsiliasi itu juga soal bagi hasil. Terkait usulan rekonsiliasi, mudah-mudahan kalau pemerintah pusat menyetujui kita bisa diundang untuk konsultasi. Maka kita akan mendapat tambahan hasil," tandasnya. (rls)

Kategori : Riau, Umum, Pemerintahan
wwwwww