Home > Berita > Riau

Tahukah Anda, Inilah Dampak Mengerikan dari Merebaknya Fenomena Isu Penculikan Anak

Tahukah Anda, Inilah Dampak Mengerikan dari Merebaknya Fenomena Isu Penculikan Anak

Ilustrasi.

Kamis, 23 Maret 2017 10:49 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Masyarakat dalam beberapa hari ini diresahkan dengan munculnya informasi di akun jejaring sosial terkait penculikan anak, yang konon disebut-sebut untuk diambil organ tubuhnya dan diperjual belikan. Isu itu juga merebak di Provinsi Riau. Santernya isu itu tak ayal membuat para orang tua yang memiliki anak khawatir. Disebutkan, bahwa pelaku katanya kerap menyamar seperti orang kurang waras, pemulung dan beberapa lainnya. Benar atau tidak, yang jelas desas-desus ini berdampak terhadap beberapa hal.

Pengamat kriminologi pun angkat bicara terkait fenomena tersebut. Dalam kajian keilmuan, situasi ini memiliki beberapa efek yang ditimbulkan, mulai dari korban/sasaran, pelaku yang tertuduh hingga reaksi sosial akibat pengaruh dari ketakukan yang teramat besar.

Dalam laman GoRiau.com yang dilansir potretnews.com, pengamat Kriminologi yang juga mantan Ketua Jurusan Kriminologi UIR, Kasmanto Rinaldi SH MSi Kamis (23/3/2017) mengatakan, dalam kajian kriminologi, anak-anak merupakan kelompok korban yang sangat potensial dijadikan sasaran kejahatan. Sebab, begitu banyaknya hal-hal yang bisa ”dieksplore” dari mereka.

Dengan ketidakberdayaannya ini, ungkap Kasmanto, membuat anak kerap jadi sasaran kejahatan, mulai dari KDRT, pelecahan seksual hingga isu yang lebih sadisnya yaitu diculik, lalu organ tubuhnya diambil untuk diperjual belikan. Ya, semuanya mungkin saja terjadi, dengan tiga alasan.

"Pertama, pelaku kejahatan memiliki motivasi tertentu. Kedua adanya korban yang potensial dan ketiga yakni lemahnya pengawasan dari pihak terkait. Dalam telaah teori ini, terlihat bahwa begitu banyak kemungkinan terhadap anak, jika kita semua tidak mengawasinya, termasuk keluarga," ucapnya.

Kita ciutkan fokusnya dengan fenomena soal isu penculikan anak. Dampak buruknya bukan saja dirasakan korban (anak, red), namun juga pihak-pihak yang 'tertuduh' sesuai ciri-ciri yang belakangan berkembang luas di media sosial. Ternyata hal tersebut membawa dampak jauh lebih buruk dari yang dibayangkan.

Self Fullfiling Propecy alias Dicap sebagai Pelaku Kejahatan
Siapa yang mau dicap sebagai pelaku kejahatan, apalagi itu tidak dilakukan sama sekali. Namun secara tidak langsung, pengemis, orang berciri-ciri kurang waras dan sejenisnya disebut-sebut adalah pelaku penculikan, meski belum tentu benar. Jika pun benar, tentu tidak semuanya adalah penjahat. Benar?

"Label atau cap bahwa kelompok ini adalah 'pelaku' menimbulkan peluang mereka menjadi 'penjahat sesungguhnya'. Dalam kriminologi diistilahkan dengan self fullfiling propecy. Artinya seorang yang dicap sebagai pelaku kejahatan padahal tidak berbuat," ungkapnya.

Ini bisa berakibat buruk. Menjadikan kelompok tersebut membenarkan dugaan dan tuduhan tersebut, sehingga mereka akhirnya dengan benar-benar melakukan seusuai yang dilabelkan oleh masyarakat atau siapa saja. Bahasa awamnya, kerap dituduh, akhirnya menjadi penjahat betulan. Begitu kira-kira.

"Rasa fear of crime atau ketakutan akan mengalami atau menjadi korban kejahatan bisa saja menimbulkan ketakukan dan kecemasan di tengah-tengah masyarakat. Ini bisa saja menimbulkan persangkaan atau tuduhan yang tidak mendasar tanpa bukti kepada kelompok atau golongan masyarakat," kata dia.

Mengantisipasi dampak-dampak tersebut, polisi sangat dibutuhkan kehadirannya, memberikan penjelasan secara luas kepada masyarakat mengenai perihal kejadian yang sesungguhnya. Hal ini penting untuk memberikan rasa aman dan nyaman, dan menjaga agar situasi tetap kondusif.
Lalu, bagaimana dengan informasi yang terlanjur beredar di media sosial soal fenomena tersebut? Kasmanto mengatakan, hal ini perlu kesahihan dan diuji kebenarannya. Untuk itu perlu sesegera mungkin pihak kepolisian mencari tahu dan mentela'ah kebenaran informasinya.

"Jika benar informasinya, ungkapkan kasusnya supaya masyarakat juga tahu apa yang sesungguhnya terjadi alias tidak simpang siur sehingga merugikan banyak pihak. Jika pemberitaan atau informasi ini tidak benar, polisi punya kewenangan penuh untuk menjerat pelaku dari aspek UU ITE," tegas Kasmanto.
Sebab, isu yang tidak benar pastinya menimbulkan keresahan, ketakutan atau bahkan memunculkan polemik sosial diantara kelompok masyarakat, sehingga timbulnya kebencian terhadap profesi tertentu, yang pastinya sangat rentan terhadap kondusifitas di masyarakat.

Merujuk beberapa kasus, akibat santernya isu fenomena penculikan anak, bahkan ada seseorang yang nyaris dihakimi massa karena kedapatan sedang menggendong keponakan/keluarganya di jalan. Beruntung saja dapat segera diberi penjelasan.

Belum lagi nasib para pemulung dan orang yang berperawakan kurang waras, bisa-bisa mereka jadi sasaran ketakutan masyarakat, jika sewaktu-waktu ditemukan sedang bersama anak-anak, padahal bukanlah bertujuan buruk. ***

Editor:
Fanny R Sanusi

wwwwww