Home > Berita > Umum

Konflik Masyarakat dengan Perusahaan Meningkat di Riau

Konflik Masyarakat dengan Perusahaan Meningkat di Riau

Ilustrasi.

Senin, 09 Januari 2017 19:53 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Konflik antara masyarakat dengan perusahaan ternyata masih menjadi aktor utama dalam terjadinya konflik dalam sektor kehutanan, bahkan angka konflik di Provinsi Riau pada tahun 2016 meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 28 persen dengan total 73 konflik. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kemitraan Sosial Scale Up Harry Oktavian di Pekanbaru, Senin (9/1/2017). Dikutip potretnews.com dari tribunpekanbaru.com, konflik yang paling tinggi terletak pada perkebunan lalu disusul pada kehutanan dan tapal batas.

"Sedikitnya ada 43 konflik dengan aktor yang berhadapan langsung antara masyarakat dengan perusahaan," ujar Harry seraya menjelaskan bahwa salah satu pemicunya adalah ketimpangan jumlah pengelolaan lahan antara perusahaan dan masyarakat, dalam catatannya, sebanyak 531 perusahaan menguasai 35 juta hektare lebih hak pengelolaan hutan, sedangkan 33 ribu desa yang dikelilingi hutan hanya dapat mengelola 0.32 juta hektar.

Ditambahkannya, tumpang tindih lahan, penyerobotan atau secara regulatif adanya perbedaan alas hukum yang kemudian saling klaim atas keabsahan pemilikan lahan, merupakan penyebab terjadinya konflik, ketika satu pihak mengeluarkan berbagai argumentasi untuk mengklaim lahan sedangkan pihak lain dianggap tidak memiliki cukup argumentasi untuk menyatakan suatu klaim, hal serupa sering ditemukan dalam peladangan masyarakat, kebun dan tanah ulayat yang secara tiba-tiba masuk dalam kawasan konsesi kehutanan atau perkebunan.

Lahan gambut yang dulu dianggap sebagai lahan marjinal, kini menjadi sebuah sasaran ekspansi perusahaan skala besar, baik di sektor kehutanan maupun perkebunan. Gambut seolah menjadi arena kontestasi dengan motif ekonomi di tengah ketersediaan lahan mineral yang kian sempit dan terbatas.

"Dahulu gambut tidak diminati karena biaya ekonomi tinggi dan tidak produktif, namun kali ini tidak, sejak tahun 2000an gambut menjadi primadona untuk berinfestasi," kata Harry. Pengkonversian lahan gambut menjalar terhadap akibat-akibat lain, salah satunya kebakaran yang menjadikan gambut kian kritis. Kebakaran besar pada tahun tiga tahun sebelumnya melahirkan sebuah respon penjagaan gambut dengan menuangkan dalam bentuk kebijakan larangan membakar lahan untuk kepentingan apapun dan oleh siapapun.

"Ada dua hal besar yang kini menguasai dan memiliki otoritas terhadap gambut. Pertama, lahan gambut dikuasai oleh perusahaan skala besar dengan mengantongi izin konsesi. Kedua, lahan gambut tidak cukup sekedar dijaga, namun juga diawasi oleh aparat keamanan yang siap menciduk orang yang berani membakar lahan. Lalu dimanakah dan bagaimana posisi masyarakat yang hidup di wilayah gambut dengan posisi terkurung oleh konsesi dan aktivitas berladang yang dijegal oleh kebijakan larangan membakar?" Jelas Harry.

Atas dasar tersebut Scale Up sebagai lembaga yang fokus pada isu penyelesaian konflik sumber daya alam, menyimpulkan bahwa perlunya memastikan ruang akses kelola sumber daya alam bagi masyarakat adat atau masyarakat lokal serta mengefektifkan kembali nilai kearifan lokal atau adat dalam proses penyelesaian konflik. Selain itu perlunya mempercepat pengesahan RTRW sebagai kejelasan pengelolaan tata ruang dan akses kelola masyarakat dan mendorong pengefektifan fungsi serta peran pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik hingga membentuk lembaga penyelesaian konflik di tingkat daerah. ***

Editor:
Farid Mansyur

Kategori : Umum, Riau
wwwwww