Bahu-membahu Membangun Pekanbaru Menjadi Pusat Perekonomian Sumatera

Bahu-membahu Membangun Pekanbaru Menjadi Pusat Perekonomian Sumatera

SMA Negeri 1 Pekanbaru

Sabtu, 05 September 2015 02:44 WIB
PEKANBARU mempunyai sejarah yang mesra dengan pelaku ekonomi. Letaknya yang strategis telah mengundang para pedagang menggali peruntungan di negeri yang dulunya bernama Senapelan ini. Tak salah kalau sejarah mencatat bahwa negeri ini dibangun pengusaha pasar hingga investor besar.
Sebagai pusat perdagangan, Pekanbaru telah menjadi hub alias penghubung terpenting antara daratan Sumatera dengan Selat Melaka. Dari tepian Sungai Siak inilah, sejak dulu, negeri-negeri di daratan Riau membuka cakrawala ke mata dunia. Hasil bumi daratan Sumatera, mulai Minangkabau, Kampar, Rokan, Kuantan, dan kawasan lainnya dikumpulkan di Pekanbaru untuk kemudian diekspor melalui Selat Melaka.


Sejatinya, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan. Dusun ini terletak di kuala Sungai Pelan, terletak di sekitar Jembatan Siak 1 saat ini. Awalnya kawasan ini hanya dihuni dua atau tiga buah rumah saja. Koloni kecil seperti ini merupakan ciri penduduk tepian sungai dan menyebar rata mulai dari Kuala Tapung sampai ke Kuala Sungai Siak di Sungai Apit.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/2jpg-2703.jpg
Jembatan pontoon dan Jembatan Siak I

Dusun Senapelan dipimpin seorang Batin alias Kepala Dusun. Sebutan Batin sering dipakai dalam strata kepemimpinan di Kerajaan Siak. Memang, perkembangan Dusun Senapelan ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Milestone terpenting ditandai saat Raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M) menetap di Senapelan. Beliau kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan, yaitu di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang. Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar). Dia juga membangun jalan penghubung Senapelan dengan Teratak Buluh. Namun belum sempat usaha ini berkembang, Sultan Abdul Djalil Alamuddin Syah wafat pada tahun 1765 dengan gelar Marhum Bukit. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali dan dibantu kemenakannya Said Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang.


Pusat perniagaan baru itu kemudian diberi nama Pekan Baharoe. Dari hari ke hari komplek ini terus berkembang. Perdagangan semakin ramai. Dan, pada Selasa 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni 1784 M, berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan resmi diganti namanya menjadi Pekan Baharoe. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru yang pada tahun 2015 ini menggenapkan usianya yang ke-231 tahun. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharoe. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharoe lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah tanggal musyawarah para datuk itu ditetapkan sebagai hari jadi Pekanbaru.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/3jpg-2702.jpg
Jembatan Pontoon Pekanbaru

Kalau dirunut jauh ke belakang, sekali lagi, kota ini memang memiliki keterkaitan sejarah yang kuat dengan nilai investasi. Buktinya, founding father kota ini membangun pekan alias pasar. Lalu pasar dikembangkan pedagang menjadi bandar alias kota dan pelabuhan. Seterusnya, nilai investasi yang luar biasa terus mengalir ke kawasan ini. Dari satu pasar yang kecil, kini Pekanbaru telah menjelma menjadi raksasa ekonomi yang menarik minat investor menanamkan modal di sini. Tidak hanya aktivitas jual-beli, tapi juga bisnis jasa juga berkembang pesat. Transportasi, hotel, ruang pertemuan, rumah makan, dan lainnya menjadikan kota ini sebagai kota metropolitan. Bahkan, beberapa tahun terakhir, Pekanbaru selalu diberi penghargaan sebagai kota dengan tujuan investasi terbaik di Indonesia.


Kota ini, seperti kembali ditegaskan Wali Kota Pekanbaru H Firdaus ST MT, digerakkan oleh roda ekonomi secara mulus, bahkan sangat cepat, oleh investor. Dari dulu, para investor terus berbondong menanamkan investasinya di Pekanbaru. Bukan hanya investor lokal, bahkan banyak yang dari dunia luar. Bahkan, nilai investasi dari modal asing dan modal dalam negeri sangat jauh di atas dana pemerintah yang dibelanjakan.


Sesuai dengan target terbaru Pekanbaru sebagai kota MICE (meeting, incentive, convenion, and expo), maka kota ini semakin menarik bagi banyak orang. Bahkan, di tahun 2015 ini, nilai investasi baru dari dalam dan luar negeri diperkirakan akan menembus angka Rp20 triliun. Padahal dana APBD Kota Pekanbaru saat ini hanya berada di kisaran 1/8 dari dana investor saja.


''Sejak mulai dibangun dua abad lalu, Pekanbaru sudah menjadi magnet ekonomi yang kuat, sudah menjadi sunting manis yang diperebutkan investor. Saya melihat bahwa kota ini memang terlahir untuk investasi,’’ kata Firdaus.


Kehadiran investor tidak saja menjadikan kota ini menjadi metropolitan, tapi juga memberi multiplier effect yang luar biasa bagi masyarakatnya. Tenaga kerja banyak terserap, perdagangan jadi bergairah, perusahaan jasa jadi berkembang. Ini karena setiap pedagang akan memerlukan pedagang lain. Setiap barang berkaitan dengan barang lainnya. Semua orang dan barang juga butuh jasa. Karena berkait-kelindan ini pula, perkembangan Pekanbaru mengalami percepatan yang luar biasa.


Pada resonansi kelindan seperti inilah PT Chevron Pacific Indonesia (Chevron) mengambil peran penting. Berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) PT Chevron Pacific Indonesia merupakan salah satu kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS) di bawah pengawasan dan pengendalian SKK Migas.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/4jpg-2705.jpg
Rumah Pemotongan Hewan.

Perusahaan eksplorasi dan produksi minyak terbesar di Indonesia ini, telah menunjukkan bahwa mereka adalah salah satu perusahaan utama dan pertama yang memberi warna perkembangan Pekanbaru menjadi kota metropolitan. Mereka memulainya jauh ketika kota ini belum kedatangan perusahaan besar transnasional. Kontribusinya sudah mengalir jauh sebelum yang lain bercerita soal bantuan dan pemberdayaan.


Chevron, yang dulu lebih dikenal dengan Caltex, selalu menjadi lokomotif roda perkembangan Pekanbaru. Kehadirannya, seperti yang diungkapkan Wali Kota Firdaus, telah memberikan multiplier effect yang luar biasa bagi perkembangan kota. Chevron sudah mampu menggerakkan roda ekonomi Pekanbaru sejak hampir seabad lalu.


Banyak hal-hal monumental yang sudah mereka bangun untuk negeri ini. Salah satu roda utama yang dibangun Chevron tentu saja membuka akses jalan dan jembatan, yang menghubungkan daratan bagian barat dengan timur Sumatera. Dulu, tak ada akses jalan memadai dari Padang ke Dumai. Namun kemudian Chevron membuka jalan yang lebih moderen. Dulu transportasi terhambat di Sungai Siak dan harus mengandalkan feri penyeberangan. Namun kemudian Chevron membangun Jembatan Siak 1 alias Leighton sehingga arus transportasi jadi lancar. Jembatan yang mulai dibangun tahun 1973 dan diresmikan Presiden RI Soeharto pada 19 April 1977 itu, sampai kini masih menjadi nadi dan landmark utama perkembangan Kota Pekanbaru.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/6jpg-2710.jpg
Kolam Renang Kalinjuang

Dulu, masyarakat yang ingin belajar di kelas menengah harus ke Padang, lalu Chevron membangun SMA 1 Pekanbaru yang merupakan SMA pertama di Riau. Dulu Riau belum memiliki gelanggang olahraga, lalu Chevron membangun GOR Tribuana dan juga kolam renang Kalinjuhang serta merenovasi total Stadion Hang Tuah. Dulu Riau belum memiliki perguruan tinggi teknik, lalu Chevron membangun Politeknik Caltex Riau (PCR).


Chevron atau Caltex memang banyak membangun hal-hal pertama di Pekanbaru. Dulu, warga Pekanbaru kalau ingin berenang pilihannya hanya dua tempat. Kalau tidak di Sungai Siak, ya, Kalinjuhang. Dan, Kalinjuhang itu pertama kali dibangun Caltex. Dulu, pemotongan hewan dilakukan tanpa tempat yang sehat dan steril. Lalu Chevron membangun rumah potong hewan (RPH) pertama di Pekanbaru.


Tapi, efek yang luar biasa dan ‘tidak sengaja’ dan kemudian menjadi multiplier effect tentu saja kemampuan Chevron menggerakkan roda ekonomi dan mengembangkan kawasan-kawasan utama di Pekanbaru. Sebagai gambaran, sebelum Chevron membangun dermaga air dalam di Dumai, kota ini hanyalah kampung nelayan yang dihuni sekitar 200 penduduk dan dikenal sebagai Kerajaan Bunga Wangi, tempat bersemayamnya ratu cantik dalam mitologi. Namun setelah Caltex membuka dermaganya, Dumai sudah menjadi salah satu naga Indonesia dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk wilayah Timur Sumatera.


Begitu juga dengan Pekanbaru. Di tahun 1950, kota ini hanya berpenduduk sekitar 16.000 jiwa. Namun kehadiran Chevron yang memang berkantor pusat di Rumbai, telah mengubah wajah kota ini menjadi kota metropolitan. Penduduknya kini sudah 1 juta jiwa. Pusat perdagangan dibuka. Pasar jadi ramai. Lowongan kerja, baik sebagai pegawai Chevron maupun karyawan kontraktor Chevron, terbuka lebar.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/7jpg-2709.jpg
Stadion Hang Tuah Pekanbaru

Dan, Chevron memang kekuatan besar, bukan hanya di bidang ekonomi, tapi juga jumlah pegawai dan karyawan kontraktornya. Saat ini, sekitar 50 persen pegawainya memilih tinggal dan berasimilasi di tengah masyarakat luas. Apalagi jumlah karyawan kontraktornya yang berjumlah sekitar dua puluh tiga ribu orang, tentu saja jumlah besar ini ikut menggeliatkan ekonomi yang sedang berkembang.


Seperti lebah, Chevron selalu memberi manfaat kepada lingkungan sekitarnya. Seperti ditulis mantan Presiden Direktur PT CPI Julius Tahija dalam bukunya Melintas Cakrawala, pada tahun 1958 Caltex membuat kebijakan mendorong keluarga pegawai untuk membangun rumah mereka sendiri. Tidak di dalam komplek, tapi di tengah masyarakat luas. Apa multiplier effect-nya? Pegawai yang membangun rumah tersebut ternyata menjadi episentrum perkembangan lingkungan di kawasan itu. Harga tanah jadi lebih baik, pasar mulai tumbuh, transportasi jadi lancer. Bahkan, ada sebuah kebijakan yang menarik soal kepemilikan rumah ini. Bagi kawasan yang memiliki minimal empat rumah HOP Chevron, maka mereka diberi dana untuk mengembangkan kawasan. Salah satu kegunaan dana itu adalah untuk membangun jalan semen dan sarana lain. Jadi boleh dikata, semenisasi komplek pertama di Pekanbaru ternyata dilakukan oleh pegawai Chevron berpuluh tahun lalu.


Maka saat itu tumbuhlah kawasan-kawasan baru yang lebih moderen dan dipelopori pegawai Chevron. Sebut saja kawasan Jalan Harapan Raya di Tangkerang, Jalan Riau di Tampan, di sekitar Jalan Balam dan Murai di Sukajadi, dan tentu saja yang paling monumental adalah kawasan Umban Sari Atas di Rumbai. Di kawasan yang lebih dikenal dengan nama USA ini, hampir 85 persen penduduknya adalah pegawai Chevron.


Kota ini memang ramah terhadap investor. Karena, pemimpin kota ini juga tahu bahwa investasi adalah nadi ekonomi. Bila investasi ditanamkan, roda ekonomi akan berputar. Bila roda ekonomi berputar, maka kota akan bertambah maju dan masyarakatnya akan sejahtera.


Julius Tahija; Melintas Cakrawala, Komitmen Tinggi di Wilayah Operasi


Julius Tahija adalah orang penting di PT Chevron Pacific Indonesia. Dia adalah mantan Presiden Direktur yang ditunjuk pemerintah untuk memimpin perusahaan transnasional itu. Berawal dari seorang kapten di medan tempur, Julius Tahija kemudian menjadi salah seorang pengusaha yang disegani di Indonesia, bahkan dunia.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/5jpg-2704.jpg
Julius Tahija

Selain sebagai mantan Presiden Direktur, Julius Tahija adalah saksi sejarah perkembangan Riau, terutama Pekanbaru. Dalam buku ‘’Melintas Cakrawala’’, Julius banyak bercerita tentang Chevron dan perkembangan daerah sekitarnya. Dia mengungkap banyak hal yang mungkin tidak pernah diketahui generasi sekarang. Beberapa isi buku yang bisa disadur menjelaskan kepada kita bagaimana sebuah perusahaan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap wilayah operasinya.


Julius menulis, pada awal tahun 1950-an, banyak kota di Provinsi Riau hanya terhubung melalui jalan tapak atau sungai. Jalan utama yang menghubungkan Pekanbaru dengan Padang masih jalan tanah. Begitupun arah ke Dumai. Jika ada pegawai Caltex bepergian dari Pekanbaru ke Padang, harus menggunakan bus. Di dalam bus, mereka membawa makanan, minuman, dan kayu api membuat api unggun. Kayu sangat penting, karena kalau bus rusak, penumpang harus tidur di tepi jalan.


''Mereka akan menyalakan api unggun untuk tetap hangat dan tidak diganggu harimau,’’ tulis Julius.


Caltex kemudian membangun jaringan jalan raya yang merupakan bagian infrastuktur dalam pengangkutan minyak. Infrastruktur ini mencakup penyelesaian pembuatan jalan raya yang menghubungkan Padang – Dumai untuk pertama kalinya dalam sejarah.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/8jpg-2708.jpg
Pembangunan jalan Duri – Dumai.

Pembangunan jalan-jalan dimulai pada tahun 1950 dan masih berlanjut hingga sekarang. Investasinya pembangunan dan perawatannya sangat tinggi karena jalan-jalan ini dibangun di atas campuran akar, daun, dan lumpur yang oleh teknisi disebut ‘’memiliki konsistensi seperti es krim hangat’’. Jalan-jalan ini kemudian membuka wajah Riau karena memang terbuka untuk semua orang.


Namun, jalan belum memecahkan masalah transportasi di Pekanbaru, karena orang harus menyeberangi Sungai Siak. Sebelum Caltex membangun jembatan gantung pada tahun 1955, orang harus mengandalkan jasa feri. Pada tahun 1970, jembatan gantung yang semula dapat mengatasi masalah, justru menimbulkan kemacetan karena semakin padatnya arus lalu lintas. Untuk dapat menyeberang, sebuah mobil kadang harus antre hingga seharian yang mengakibatkan barang bawaan menjadi busuk.


Untuk mengatasi masalah ini, Caltex membangun jembatan dua jalur sepanjang 300-an meter. Jalan bebas macet ini menghubungkan Barat dan Selatan Sumatera. Truk yang selama ini tidak bisa lewat di jembatan gantung, kini jadi leluasa.


Metamorfosis Pekanbaru


* SK Kerajaan Besluit van Her Inlanche Zelf Bestuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru bagian dari Kerajaan Siak yang disebut District.

* Tahun 1931 Pekanbaru masuk wilayah Kampar Kiri dikepalai oleh seorang Controleur berkedudukan di Pekanbaru.

* Tanggal 8 Maret 1942 Pekanbaru dikepalai oleh seorang Gubernur Militer disebut Gokung, Distrik menjadi Gun dikepalai oleh Gunco.

* Ketetapan Gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No.103 Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut Haminte atau Kota B.

* UU No.22 tahun 1948 Kabupaten Pekanbaru diganti dengan Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru diberi status Kota Kecil.

* UU No.8 tahun 1956 menyempurnakan status Kota Pekanbaru sebagai kota kecil.

* UU No.1 tahun 1957 status Pekanbaru menjadi Kota Praja.

* Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959 Pekanbaru menjadi ibukota Propinsi Riau.

* UU No.18 tahun 1965 resmi pemakaian sebutan Kotamadya.

* UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebutan Kotamadya berubah menjadi Kota.


Sugiri Noto, Veteran Perang

Perkembangan Pekanbaru Terdongkrak oleh Caltex


Dari namanya, Sugiri Noto tentulah orang Jawa. Tapi, dia masuk dan mulai tinggal di Pekanbaru pada 1965, ketika ABRI mengamankan Indonesia dari rongrongan komunisme. Dia adalah tentara yang juga ikut berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari penjajah.


Anak dan cucu sang veteran lahir di sini, di Pekanbaru. Dia adalah satu dari sedikit pelaku sejarah yang hidup dan bisa bercerita tentang Pekanbaru masa lalu. Dia juga satu dari sedikit orang yang bersentuhan langsung dengan Caltex di masa itu. Maklum, dia memang ABRI yang salah satu tugasnya menjaga aset bangsa.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/9jpg-2707.jpg
Politeknik Caltex Riau

Saat memasuki Pekanbaru, kota ini tentulah jauh dari gambaran sekarang. ’’Ya, sekelas kecamatan-lah,’’ katanya memulai kisah.


Saat itu mereka susah mencari orang-orang yang mau jadi pejuang. Yang mau jadi tentara. Jangankan jadi tentara, yang mau bekerja secara professional saja susah. Bahkan, dulu sistem rekrutmen beberapa perusahaan di Riau, termasuk Chevron dan kontraktornya lebih berdasarkan pada siapa yang mau, bukan siapa yang mampu. Itupun, masih sangat sulit mendapatkan tenaga kerja yang siap bekerja.


Tapi Pekanbaru tetap menjadi episentrum perkembangan Riau dari dulu hingga kini. Apalagi setelah Chevron membuka kantornya di Rumbai, perkembangan Pekanbaru bergerak cepat. Di sekitar Bom Baru tepian Sungai Siak, sudah menjadi pusat keramaian yang luar biasa. Jembatan gantung yang dibangun Chevron menjadi satu-satunya akses untuk menyeberang, kecuali sampan kecil tentunya.


Kemajuan makin terasa saat Caltex mulai membangun Jembatan Siak 1 atau juga dikenal dengan Jembatan Leighton, Pekanbaru semakin ramai dan menjadi nadi penting yang menghubungkan daratan Sumatera di bagian barat dengan bagian timur.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/06072015/10jpg-2706.jpg
Jembatan Siak I

''Perkembangan Rumbai dan wilayah lainnya di Pekanbaru terdongkrak dengan kehadiran perusahaan Caltex itu,’’ kata Sugiri.


Pejuang yang lama mengabdi di Batalyon Salo-Bangkinang ini, juga menyatakan di awal Orde Baru, Caltex sangat banyak membantu tentara dalam menjalankan tugasnya. Mulai menyediakan kendaraan operasional sampai bantuan-bantuan lain untuk mempertahankan NKRI.


''Sejarah dan perkembangan Pekanbaru dan Riau pada umumnya memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Caltex itu. Bedanya, mungkin sekarang agak kurang terasa karena sudah banyak juga perusahaan lain dan memang produksi dan harga minyak yang turun,’’ katanya. ***

(Mario A Khair)
Sumber:GoRiau.com
wwwwww