Kisah Kapolri Badrodin Haiti Dipukul Gesper Bapaknya, Sempat Daftar Akabri dan Cuma Berharap Jadi Jenderal Bintang Satu

Kisah Kapolri Badrodin Haiti Dipukul Gesper Bapaknya, Sempat Daftar Akabri dan Cuma Berharap Jadi Jenderal Bintang Satu

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.

Senin, 12 Oktober 2015 08:28 WIB
JEMBER, POTRETNEWS.com - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti berkunjung ke Pondok Pesantren Baitul Arqom, Desa Tutul, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, Sabtu 10 Oktober 2015. Di hadapan ribuan wali santri, santri, guru, ustad serta pengasuh pesantren, Badrodin berkisah tentang sekelumit kehidupan masa kecilnya. "Bercerita perjalanan hidup saya, saya bukan berasal dari keluarga yang hebat," kata Badrodin. Dia berasal dari keluarga dengan latar belakang petani. "Saya dari keluarga petani," katanya. Ibunya setiap hari mengurusi sawah dan bapaknya setiap hari mengurusi anak-anak kampung yang mengaji di langgar sebelah rumahnya. Belajar mengaji sejak setelah Salat Subuh. "Kalau (saya) terlambat bangun dipukul dengan gesper. Mungkin sekarang tidak ada yang seperti itu," kata Badrodin.

"Dan tidak pernah mendapatkan satu pilihan, mungkin karena waktu itu wawasan terbatas," katanya. Wawasan yang berkembang saat itu, sekolah itu untuk menjadi guru. "Paling banter itu," katanya. Ketika sudah waktunya bayar sekolah atau SPP, mengambil kelapa di kebun.

Setiap bulan ambil kelapa dan dijual. "Untuk bayar SPP, alhamdulillah bisa tercukupi," kata dia. Ketika berangkat ke sekolah, dari Paleran ke Balung jaraknya sekitar 8 kilometer dan ditempuh dengan naik sepeda pancal.

"Kadang sarapan kadang tidak. Dan saya tidak pernah diarahkan oleh orang tua mau ke mana ke depannya," kata dia. Yang penting, kata dia, orang mengharuskan dirinya untuk sekolah. "Kalau toh mau masuk perguruan tinggi, ya di Institut Agama Islam Negeri dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan," kata dia.

Tamat sekolah dari Baitul Arqom, Badrodin kemudian sekolah di SMA di Rambipuji. "Setahun, di SMA Mercusuar, tidak betah di situ. Pindah ke SMA VIP di Tanggul. Itu juga cari sendiri dan tiada yang mengarahkan," katanya.

Tapi, Badrodin mengatakan, ia memang termasuk yang jalan sendiri dan cari pengetahuan sendiri. "Bahkan saat mendaftar Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), bapak saya tidak tahu, saya bawa beliau ke Koramil dan tanda tangan di situ. Kemudian mengurus akte kelahiran, saya bawa juga beliau," katanya.

Sebenarnya tujuan masuk ke Akabri, kata Badrodin, karena dia melihat saudaranya banyak, tetapi orang tua tidak mampu membiayai sampai ke perguruan tinggi. "Tujuannya supaya dapat pendidikan gratis, itu saja," katanya.

Begitu tamat SMA, berangkat dengan hanya membawa sejumlah baju. "Walau masuknya itu tidak mudah, perlu perjuangan dan upaya sungguh-sungguh. Itulah saya katakan untuk sukses itu harus diupayakan sungguh-sungguh," katanya.

Ketika menjadi jenderal, kata dia, sudah merupakan kejutan. "Harapan saya dulu bintang satu sudah cukup, karena saya anak dari kampung. Rupanya naik bintang dua. Saya kira cukup, ternyata naik lagi bintang tiga, akhirnya bintang empat," katanya. Posisi Kapolri ini, kata dia, adalah puncak karir bukan untuk kaya. "Tetapi paling tidak mencapai karir puncak," katanya.

Jabatan bintang satu hingga bintang empat, kata dia, juga diraihnya dengan tidak mudah. Ketika akan menjabat bintang satu, dia ditugasi untuk menyelesaikan konflik di Poso. "Konflik muslim dan nonmuslim. Ada juga soal teroris," kata dia. Kemudian ketika bintang dua, ditugaskan menyelesaikan kasus yang berpotensi SARA di Sumatera Utara ketika ada aksi demonstrasi dan menimbulkan korban, Ketua DPRD Sumatera Utara Azis Angkat meninggal. ***

(Farid Mansyur)
Kategori : Profil
Sumber:Tempo.co
wwwwww