Pelintir Berita, Kompetensi Wartawan Bisa Dicabut

Pelintir Berita, Kompetensi Wartawan Bisa Dicabut

Dari kiri: Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka, Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan, Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan, dan wartawan senior yang juga mantan Pemred Liputan6 SCTV Noerjaman Mochtar. (foto: sorotnews.com)

Selasa, 08 September 2015 21:31 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat H Kamsul Hasan menegaskan pemelintiran berita dan jika terbukti melakukan itu berarti itu berita bohong. Sehingga siapa yang melanggar kode etik dengan kualifikasi berat, maka standar kompetensinya bisa dicabut. ”Kalau ringan sanksinya ringan, dibatalkan sertifikat kompetensinya dan 2 tahun kemudian bisa mendapatkan izin lagi. Sayangnya, banyak perusahaan pers belum uji kompetensi, dari sekitar 100 ribuan wartawan seluruh Indonesia, hanya 7 ribuan wartawan yang lulus kompetensi,” kata Kamsul dalam diskusi ”Menegakkan Kode Etik Jurnalistik-Pemelintiran Berita Politik” bersama Ketua Dewan Pers Bagir Manan, anggota Komisi IX DPR RI FPDIP Rieke Diah Pitaloka, dan wartawan senior yang juga mantan Pemred Liputan6 SCTV Noerjaman Mochtar di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (7/9/2015).

Apalagi dengan berkembangnya media online yang sangat pesat saat ini menurut Kamsul, dan banyak yang tidak patuh terhadap kode etik jurnalistik itu sendiri. Sudah ada surat edaran Dewan Pers tanggal 16 Januari 2014 No.01/2014.

”Jadi, UU Pers No.40/1999 Pasal 28 UUD 1945 sebelum amandemen, tapi ditafsir berbeda dalam pasal 28 A,B,C, dan D. Kalau kode etik yang disepakati bersama terdiri dari 11 pasal, 12 Maret 2006. Jadi alat ukurnya kode etik yang 11 pasal itu. Kalau terbukti memelintir, tanpa check and recheck, klarifikasi (berita bersayap), itu berita bohong,” ujar Kamsul yang juga Ketua Dewan KehormatanProvinsi (DKP) PWI DKI Jaya.

Noerjaman Mochtar, mengatakan bahwa jurnalisme itu pada dasarnya memilih, yakni memilih informasi, narasumber, dan gambar untuk televisi. “Pemilihan ini bisa dilandasi niat baik atau niat jelek. Kita sebenarnya tahu apakah kita berusaha merugikan suatu pihak atau tidak. Bila ini dilakukan, kita bisa bertanya, betulkah kita masih wartawan?”ungkapnya mempertanyakan.

Anggota Komisi IX DPR RI FPDIP Rieke Diah Pitaloka mengatakan kasus pemelintiran berita Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, mungkin dianggap masalah remeh, sepele, dan cukup dengan meminta maaf. Padahal keputusan politik nasional terkait pembubaran lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pasti masalah serius. Namun, hal itu lumrah, karena kini banyak faktor yang menjadikan media dan wartawan memelintir berita. Misalnya ada yang kejar setoran, terlalu capek, dan ada yang berkepentingan politik.

“Saat ini tanggung jawab dan tuntutan media sangat berat. Ada media dan wartawan yang mengejar setoran karena tidak makan kalau tidak memelintir berita.

Kualitas liputan media yang sering dikeluhkan berbagai kalangan, seperti berita yang tidak akurat atau tidak seimbang menurut Rieke, disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah tuntutan kerja jurnalis yang semakin berat. Untuk itu, negara juga perlu memiliki undang-undang untuk memastikan perlindungan dan kesejahteraan wartawan. “DPR sedang memperjuangkan RUU Perlindungan Pekerja Media masuk ke dalam Prolegnas 2016. Saat menyusun Prolegnas 2015, kami tidak mendapat dukungan yang cukup untuk ini,sehingga belum berhasil,” pungkas Rieke. (Sjafri Ali/A-108)

(Mario A Khair)
Kategori : Nasional
Sumber:Pikiran-rakyat.com
wwwwww