Sebelum Haramkan Deforestasi, Komisi Fatwa MUI Sempat Bertemu Aktivis Lingkungan Riau Diskusi Terkait Tata Kelola

Sebelum Haramkan Deforestasi, Komisi Fatwa MUI Sempat Bertemu Aktivis Lingkungan Riau Diskusi Terkait Tata Kelola

Pemandangan udara terlihat dari kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, 6 Juli 2010. REUTERS/Crack Palinggi/File Foto

Jum'at, 01 Maret 2024 22:18 WIB

JAKARTA, POTRETNEWS.com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggundulan hutan (deforestasi) serta pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim. Fatwa mengharamkan segala bentuk tindakan yang berdampak pada krisis iklim, karenanya fatwa diberi nama tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global.

Telah dibuat sejak November lalu, Fatwa Nomor 86 Tahun 2023 itu diluncurkan Komisi Fatwa MUI bersama Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Manka, ECONUSA, dan Ummah For Earth pada Jumat, 23 Februari 2024. Kelompok Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memuji langkah dibuatnya fatwa ini, meski memberikan pula beberapa catatannya.

”Setelah ini semoga krisis iklim akan semakin luas dibahas dan dikaji oleh lembaga-lembaga keagamaan yang berwenang di Indonesia," kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eknas Walhi, Parid Ridwanuddin.

Lalu, bagaimana MUI bisa sampai mengambil keputusan membuat fatwa yang dimaksud? Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo, membagikan keterangan tertulis untuk menjawab pertanyaan itu. Dia menjelaskan bahwa fatwa lingkungan terbaru yang dibuat MUI tersebut mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

”Mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan," kata Hayu melansir dari tempo.co.

Hayu menuturkan, penyebab perubahan iklim dan pemanasan global terdiri dari berbagai faktor. Untuk mengendalikannya, kata dia, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat secara umum.

MUI, katanya, mengetahui banyak pertanyaan bermunculan dari masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup tentang upaya tersebut. Hayu merujuk kepada pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan penggunaan energi fosil, pengelolaan hutan tropis, dan pengurangan limbah.

Atas dasar itu, menurut Hayu, MUI mengeluarkan fatwa terbarunya tersebut. Dia mengaku kalau dalam proses penyusunan fatwa itu, Komisi Fatwa bersama lembaga pengusul melakukan kunjungan lapangan untuk mengumpulkan bukti-bukti empiris mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim.

Kunjungan dilakukan antara lain bersama Perkumpulan Manka dan Borneo Nature Foundation ke kawasan gambut bekas terbakar di Kalimantan Tengah. Selain itu, bersama Manka dan Perkumpulan Elang berkunjung ke Riau untuk berdiskusi mengenai tata kelola hutan dan lahan.

”Selain itu dalam proses pembahasan fatwa, telah dilakukan diskusi kelompok terfokus dengan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, akademisi, dunia usaha dan masyarakat yang secara aktif memberikan masukan dan referensi ilmiah,” ucap Hayu.

Dalam keterangan tertulis yang sama, Direktur Perkumpulan Manka, Juliarta Bramansa Ottay, mengatakan perubahan iklim merupakan isu yang sangat besar dan kompleks. Dia setuju, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak agar kesadaran dan pengetahuan mengenai isu perubahan iklim semakin meningkat di tengah masyarakat.

Harapannya, Fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global MUI dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia.***

Editor:
Abdul Roni

Kategori : Lingkungan
wwwwww