Aktivis LSM Ini Sebut 17 Perusahaan Sawit Penyebab Kebakaran Hutan di Riau, Angka Pemulihan Rp2,9 Triliun

Aktivis LSM Ini Sebut 17 Perusahaan Sawit Penyebab Kebakaran Hutan di Riau, Angka Pemulihan Rp2,9 Triliun

Foto kebakaran hutan di salah satu kabupaten di Riau, beberapa tahun lalu. (F-KABAR24.com)

Sabtu, 15 April 2023 11:26 WIB

JAKARTA, POTRETNEWS.com — Persoalan perubahan iklim menjadi masalah besar yang sedang dihadapi oleh penduduk dunia saat ini, tidak terkecuali Indonesia. Oleh sebab itu Perkumpulan Elang melakukan Focus Group Discussion untuk perlindungan kawasan Semenanjung Kampar dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca di Riau.

Deputi Perlindungan Perkumpulan Elang, Jasmi mengatakan kegiatan ini merupakan advokasi yang melibatkan seluruh stakeholder pemerhati lingkungan terkait penekanan emisi gas rumah kaca di Riau. Advokasi tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan ekosistem Semenanjung Kampar melalui FoLU atau Forest and Other Land uses Net Sink.

”Sejak dikeluarkannya, FoLU Net Sink menjadi terobosan kita untuk memperjuangan Semenanjung Kampar dan Kerumutan,” kata Jasmi, dilansir tempo.co.

Advokasi perlindungan ekosistem ini juga mempertahankan dan mengembalikan keadaan lahan gambut untuk lebih banyak menyerap karbon daripada mengeluarkannya. Hal ini disebabkan dampak perubahan iklim yang sangat berbahaya bagi ekosistem, ekologis dan ekonomi.

Sementara itu, Ketua LPLH SDA MUI, Hayu Pranowo memaparkan perubahan iklim menimbulkan kerusakan hidrologi sehingga membuat air laut naik sebesar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun. Kerusakan berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi lantaran 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir.

Tak hanya itu, Hayu juga menyampaikan kerugian ekonomi akibat emisi rumah kaca mencapai 0,66 persen sampai 3,45 persen pada 2030. Risiko perubahan iklim juga berdampak kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan dan lautan, penurunan kualitas kesehatan sehingga berkurangnya kelengkapan pangan.

MUI mengeluarkan 6 Fatwa tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam, salah satunya hukum Pembakaran hutan dan lahan. Berdasarkan fatwa itu MUI akan memobilisasi Ormas keagamaan mengenai perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam.

”Upaya ini mendorong ulama dalam memadukan kontekstual ajaran agama dan aspek konseptual ilmiah untuk mengedukasi masyarakat tentang perlindungan hutan dan lahan serta pengelolaan sumber daya alam,” ujar Hayu.

Koordinator Jikalahari Riau, Made Ali menjelaskan konsen terhadap isu emisi rumah kaca di riau sangat penting. Pasalnya potret kerusakan hutan Riau tidak pernah selesai hingga sekarang. Selain itu Made menilai konteks pencegahan sebelum terjadinya karhutla di Riau masih stagnan.

Pada 2024 perjuangan perlindungan ekosistem lahan gambut akan di mulai dari nol, lantaran isu sumber daya alam menjadi objek pada pemilu mendatang. Kemudian agenda keadilan iklim turut menjadi prioritas oleh para kontestan calon kandidat mulai dari legislatif hingga eksekutif. ”Mulai dari nol memperjuangkan hak dan untuk sehat atas lingkungan hidup,” kata Made.

Berdasarkan data PIAPS hotspot konfiden 70 persen, penyebab kebakaran hutan di Riau lebih banyak terjadi di perusahaan korporasi dibandingkan dengan perhutanan sosial. Hal ini disebabkan perhutanan sosial masyarakat dijaga dan dikelola dengan baik, di mana perusahaan melakukan pembakaran hutan ketika membuka lahan. ”Kerusakan dan kebakaran hutan dilakukan 17 perusahaan sawit dengan angka pemulihan lingkungan sebesar Rp 2,9 triliun,” ujar Made.

Sebelumnya, Indonesia telah mengembangkan Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 yang akan meningkatkan ambisi pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) melalui net-sink sektor hutan dan tata guna lahan. Khusus untuk target 2030, sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), Indonesia perlu mengurangi emisi dari sektor energi secara signifikan hingga mendekati nol dan meningkatkan serapan di kehutanan dan penggunaan lahan.***

Editor:
Akam Sophian

Kategori : Lingkungan
wwwwww