Kisah Guru Bertaruh Nyawa demi Mengajar di Pelosok Kepulauan Meranti; Ada yang Nekat Terjun ke Laut Saat Pompong Dihantam Gelombang

Kisah Guru Bertaruh Nyawa demi Mengajar di Pelosok Kepulauan Meranti; Ada yang Nekat Terjun ke Laut Saat Pompong Dihantam Gelombang

Guru yang terjun ke tepi hutan bakau saat menyelamatkan pompongnya. (GORIAU.com)

Rabu, 22 Januari 2020 16:48 WIB

SELATPANJANG, POTRETNEWS.com — Kisah perjuangan beberapa guru di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang perahunya dihantam gelombang viral di media sosial belum lama ini.

Para pahlawan tanpa tanda jasa itu diketahui mengajar di sebuah sekolah yang berada di daerah terisolir tepatnya di SDN 10 Lukun, Dusun Keridi Desa Batinsuir, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kepulauan Meranti.

Dengan menaiki perahu kecil yang disebut pompong dengan lama perjalanan hampir satu jam untuk mencapai lokasi tersebut, dan hanya ada satu jalur, yakni Sungai Suir.

Dalam video yang berdurasi selama 39 detik itu tampak perahu yang ditumpangi para guru ini dihantam gelombang besar pada Selasa (21/1/2020) siang, akibatnya kapal yang dikemudikan oleh kepala sekolah yang bernama Suardi ini terpaksa harus menepi ke tepian hutan bakau.

Bahkan seorang guru berstatus PNS nekat melompat ke laut. Guru yang diketahui bernama Syamsul Bahri itu berniat mengamankan perahu agar tidak oleng dan tenggelam.

Sementara itu guru-guru perempuan terlihat berteriak histeris karena ketakutan. Sampai saat ini video itu ditonton lebih dari 5.000 tayangan dan sebanyak 200 kali dibagikan.

Perahu kecil itu memang diketahui menjadi alat transportasi satu-satunya bagi para guru ini yang mengajar di daerah terisolir, karena jika harus melalui jalur darat, maka membutuhkan waktu hampir tiga jam lamanya karena harus memutar.

Perahu ini dibeli oleh kepala sekolah sendiri. Dia bersama 4 orang guru lainnya setiap hari berangkat dari pelabuhan Desa Banglas Barat. Perahu itu dibelinya dengan menggunakan uang pribadinya seharga Rp8 juta, selama mengabdi sudah lima perahu dia gunakan.

Tak jarang mereka membuka perbekalan dan makan bersama, karena tidak ada kesempatan bagi mereka untuk sarapan di rumah. Setiap hari mereka berangkat menggunakan perahu kecil ini, tak kira menentang badai, gelombang maupun kabut, hal itu mengingat puluhan murid sudah menunggu di sana, kepala sekolah bersama empat guru lainnya terpaksa menyeberangi Sungai Suir walaupun harus ada risiko yang akan dihadapi. Dikatakan Suardi, kapal pompong miliknya itu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju ke tempat mengajar.

”Kalau pompong ini rusak, kami bersama para guru dipastikan tidak bisa pergi mengajar, karena ini merupakan satu satunya transportasi menuju ke sana,” kata Suardi.

Selama mengabdi sudah banyak suka duka pria yang menjadi guru sejak tahun 1988 ini, mulai dari perahunya tenggelam, mesin rusak di tengah perjalanan, sampai dengan kipas perahu tersangkut sampah yang berada di dasar sungai.

”Kalau kipas perahu tersangkut, terpaksa saya sendiri yang menyelam ke bawah dasar sungai,” kata Suardi. Hambatan perjalanan menuju sekolah tempat mendidik anak-anak suku Akit tidak sampai di situ, setelah menyusuri sungai yang ditempuh selama 1 jam, perjalanan panjang sudah menanti dengan kondisi jalan berlumpur yang membenamkan hingga diatas mata kaki. Agar bisa melewati jalan tersebut, mereka juga harus melepas sepatu dan menyingsingkan celana mereka hingga ke lutut.

”Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur,” ujarnya. Tak jarang mereka saling bercanda untuk menghilangkan lelah, sesekali mereka berpegangan tangan satu sama lain agar tidak tergelincir akibat jalan licin dan tidak tercebur kedalam sungai ketika melalui jembatan yang rapuh dan berlobang.

”Di dalam perjalanan, kami bersama guru lainnya selalu bercanda, ini sengaja dilakukan untuk mengusir rasa penat kami,” cerita Suwardi.

Perjuangan kepala sekolah yang sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3240 m2 tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam.

Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur. Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak suku Akit.

”Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah, agar anak-anak di sini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal pada zaman Bengkalis tahun 2002, kalau tidak ada kami disini siapa lagi, tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini,” pungkasnya. ***

Berita ini telah terbit di goriau.com dengan judul ”Pompongnya Dihantam Gelombang Hingga Menepi ke Hutan Bakau, Guru di Kepulauan Meranti Ini Nekat Terjun ke Laut”

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Meranti, Peristiwa
wwwwww