Home > Berita > Riau

Jadi Saksi di Persidangan Anaknya di PN Siak, Pemilik PT DSI Akui Tak Bisa Membaca, Lho Kok!

Jadi Saksi di Persidangan Anaknya di PN Siak, Pemilik PT DSI Akui Tak Bisa Membaca, Lho Kok!

Terdakwa Suratno Konadi dan Teten Effendi saat sidang di PN Siak. (POTRETNEWS)

Selasa, 07 Mei 2019 19:43 WIB
Sahril Ramadana
SIAK, POTRETNEWS.com  - Sidang perkara pemalsuan SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 tentang Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Siak, Selasa (7/5/2019). Dalam sidang kali ini giliran owner PT DSI Merryani dihadirkan jadi saksi. Pemilik Izin Lokasi (Inlok) perkebunan seluas 8.000 Ha di Kabupaten Siak ini ternyata tidak bisa membaca huruf latin.

Hal tersebut terungkap saat sidang keempat perkara pemalsuan SK Mentri Kehutanan (Menhut) dengan tersangka Direktur PT DSI Suratno Konadi dan eks Kadishutbun Siak Teten Effendi.

Awalnya Merryani menyatakan mundur sebagai saksi dari terdakwa Suratno Konadi. Sebab terdakwa adalah anak kandungnya. Sementara untuk terdakwaTeten Effendi bos PT DSI tersebut bersedia jadi saksi.

Meryani mendapat giliran kedua diperiksa. Awalnya dia dicecar berbagai pertanyaan oleh majlis dan JPU. Merry tampak kebingungan setiap menjawab pertanyaan majlis hakim maupun JPU.

Bahkan, Penasehat Hukum (PH) terdakwa sempat menginterupsi JPU melalui majlis untuk tidak menekan pertanyaan tentang data, karena saksi Merry tidak bisa membaca. JPU pun kaget mendengar keterangan PH, dan hal ini juga diakui Merry. "Ya, saya kurang pandai membaca yang mulia," kata Merry.

Dalam perkara ini, Merry menyebut ia dipanggil menjadi saksi terkait laporan pemalsuan surat izin lokasi (Inlok) yang dikeluarkan Teten Effendi dan Bupati Siak Arwin AS. Pengajuan pengurusan permohonan ke Pemkab Siak diurus Said Ali Bakar, direktur utama PT DSI saat itu.

Tidak hanya itu, Merry yang tampak cengar-cengir pada sidang tersebut mengaku tak pernah melihat Inlok dan dan IUP setelah terbit. Sebab, pihaknya hanya menyediakan modal, sementara Said Ali Bakar yang mengeksekusi.

"Saya sediakan semua biaya dan saya berikan ke Said Ali Bakar untuk mengurus smuanya," kata dia.

Merry juga mengaku struktur PT DSI memang sering berubah. Direktur perusahaan perkebunan itu kerap diganti dalam tempo yang tidak jelas. Bahkan awalnya Merry tidak mengaku kalau anaknya (Suratno Konadi) Direktur PT DSI tahun 2006.

Merry mengaku memang pernah melihat SK Menhut nomor 17/Kpts.II/1998 tentang Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) pada 2003. Ia diberitahu Said Ali Bakar perolehan Ilok seluas 8.000 hektar. Namun yang siap tanam hanya sekira 3.000 hektar hingga saat ini.

"Sampai sekarang lahan 3.000 ha dan izin lokasi sekitar 8.000 Ha. Saya tidak tahu syarat-syarat mendapatkan SK menteri itu," kata dia.

Merry juga mengakui pihaknya pernah memberikan kuasa kepada terdakwa Suratno Konadi pada 3 Maret 2006.

Sebelumnya, Humas PT DSI Asun memberikan keterangan terlebih dahulu di persidangan itu. Asun mengakui pada 2009 pihak PT DSI baru menguasai lahan selaras 700 Hektar. Dan tahun 2011 meningkat menjadi 3.150 Ha lebih.

Berdasarkan BAP-nya, Asun menjelaskan Izin Lokasi yang diperoleh PT DSI memang sudah mati karena pihanya tidak bisa menguasai minimum 50 persen dari luasan izin lokasi. Namun ia menyebut mencabut sebagian keterangannya dalam BAP tersebut.

"Saya juga pernah menangani konflik dengan warga. Karena ada yang mempunyai surat tanah di dalam kawasan kita," kata dia.

Saat ditanya JPU apakah ia pernah menunjukan izin PT DSI ke warga, Asun menjawab tidak pernah. Tidak hanya itu, Asun juga mengakui Hak Guna Usaha (HGU) PT DSI juga belum ada. Pihaknya hanya memiliki peta bidang. "Saya tidak ingat tahun keluarnya peta bidang itu. Tapi HGU memang tak ada," kata dia.

Dalam menjawab pertanyaan PH, Asun mengakui melihat SK Menhut 17/kpts.II/1998, Inlok 2006, IUP 2009 dan surat planologi 2010. Namun Asun mengatakan tidak tahu surat-surat tersebut dipalsukan atau ada putusan perkara lain yang menyatakan surat -surat itu palsu.

"Setahu saya tidak ada pencabutan IPKH itu. Sebanyak 13.000 lebih diberikan IPKH oleh Menhut. Saya bekerja menyelesaikan konflik tahun 2009 setelah IUP keluar seluas 8.000 Ha," kata dia.

Anehnya, Asun mengaku tidak tahu hak dan kewajiban untuk Inlok tersebut dan tidak tahu berapa lama izin lokasi digunakan serta tidak tahu cara memperpanjang izin lokasi tersebut.

Pada sidang keempat ini majelis hakim dipimpin Roza El Afrina didampingi hakim anggota Risca Fajarwati dan Selo Tantular. Sementara JPU dipimpin Herlina Samosir dan PH terdakwa dipimpin Yusril. Kedua terdakwa, Suratno dan Teten mengakui tidak keberatan keterangan saksi dari Merry dan Asun. Sidang perkara ini bakal dilanjutkan pada Kamis mendatang. "Kami akan menghadirkan 5 saksi ahli," kata JPU Herlina Samosir.

Terpisah, penasehat hukum (PH) pelapor Jimmy, Firdaus Ajis mengatakan, yang terpenting dalam kesaksian Asun, PT DSI telah mengakui lahan pada tahun 2009 dan baru dikuasai baru 700 Hektar.

"Artinya yang dimasukkan kedalam IUP adalah keterangan yang isinya palsu, izin diberikan 8000 padahal yang dikuasaikan cuma 700 hektar dari Inlok yang diberikan 8000 hektar," kata dia di luar persidangan.

Menurut Firdaus, sangat aneh Inlok seluas 8.000 Ha tetapi yang dikuasai hanya 700 hektar. Sedangkan hasil inventarisasi sesuai yang disampaikan Asun kenapa IUP bisa mencapai 8.000 hektar. "Berarti ada yang tidak benar keterangan dimasukkan ke dalam IUP," kata dia. ***

Kategori : Riau, Siak, Umum, Peristiwa
wwwwww