Kisah Mulyadi yang Mengajar Anak Suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh demi Mimpi Diangkat Jadi PNS

Kisah Mulyadi yang Mengajar Anak Suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh demi Mimpi Diangkat Jadi PNS

Mulyadi, guru di Dusun Sahdan, Desa Rantaulangsat, Kecamatan Batanggansal, Kabupaten Inhu dan anak-anak Suku Talang Mamak yang tinggal di pedalaman TNBT.

Rabu, 02 Mei 2018 10:49 WIB
RENGAT, POTRETNEWS.com - Salah satu sosok yang menjadi kebanggaan dan menjadi buah bibir anak- anak Talang Mamak yang tinggal di dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) adalah Mulyadi. Betapa tidak, pria yang kini sudah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Dusun Sahdan, Desa Rantaulangsat, Kecamatan Batanggansal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, itu bukan saja memiliki dedikasi yang tinggi, tapi juga hati yang tulus serta kemauan yang tinggi.

Kenyataan itu yang membuat anak-anak suku Talang Mamak yang dulu hampir tidak terperhatikan pendidikannya, kini sudah bisa merasakan nikmatnya ilmu pengetahuan. Dan bahkan merantau mencari ilmu hingga ke Pulau Jawa.

Sekolah tempat Mulyadi mengajar merupakan sekolah yang didirikan oleh Pusat Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) di dalam areal TNBT. Mulyadi sudah mengajar di sekolah itu semenjak tahun 2007 lalu.

Awal berdiri, Mulyadi memiliki 30 orang lebih anak murid. Kini ia memiliki 84 orang siswa yang dibagi ke dalam enam rombongan belajar. Mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Sekolah tempat Mulyadi mengajar hanya memiliki dua ruang. "Satu ruang dipakai untuk tiga kelas," kata Mulyadi, dilansir potretnews.com dari tribunnews.com.

Mulyadi mengajar siswa di kelas empat, kelas lima dan kelas enam. Sementara anak kelas satu sampai kelas tiga diajar oleh rekannya, Desi, yang juga mantan anak muridnya.

Desi adalah orang tempatan yang menamatkan pendidikannya dari salah satu madrasah aliyah yang ada di Kabupaten Inhu.

Sebenarnya tidak hanya Desi saja mantan anak murid Mulyadi yang bisa menamatkan pendidikan sampai ke tingkat sekolah menengah atas dan bahkan sudah bekerja.

Sebagian anak muridnya menempuh pendidikan sampai ke Pulau Jawa atau bahkan mengajar di salah satu pesantren di sana. "Mungkin karena mereka nyaman dengan suasana di luar, jadi mereka tidak mau kembali (pulang kampung)," tuturnya, Selasa (1/5/2018).

Tidak banyak orang yang mau seperti Mulyadi yang harus meninggalkan keluarganya untuk mengabdikan diri menjadi pengajar bagi anak-anak pedalaman TNBT.

Tantangan lainnya adalah akses menuju lokasi sekolah, dimana hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau melewati sungai.

Bila ditempuh dengan jalan kaki, maka butuh waktu beberapa hari untuk bisa sampai ke lokasi sekolah. Sementara bila naik perahu maka harus mengeluarkan uang Rp 900 ribu untuk sekali perjalanan.

Mulyadi, guru di dusun Sahdan, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Inhu dan anak-anak Suku Talang Mamak yang tinggal di pedalaman TNBT. Beruntung PKHS masih bersedia membayar biaya perjalanan Mulyadi ke sekolah tersebut.

Selain mendapat bantuan transportasi dari PKHS, Mulyadi juga mendapat uang makan sebesar Rp 500 ribu dan gaji sebesar Rp 1 juta dari PKHS. Selain itu, Mulyadi juga menerima gaji sebagai guru bantu daerah (GBD) provinsi sebesar Rp 1,9 juta.

Maka bila ditotal dalam sebulan Mulyadi bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 3 sampai Rp 3,5 juta per bulan.

Namun menurutnya jumlah itu masih kurang, karena dirinya harus mencukupkan kebutuhan pendidikan tiga orang anaknya. "Dua dapur (karena ia tinggal terpisah dari keluarga) juga membutuhkan biaya yang besar," kata dia.

Mulyadi berkata istrinya tak jarang mengeluh dengan pekerjaannya sebagai guru honorer di pedalaman itu. "Ngeluh sih ngeluh, namun rejekinya manusia memang begitu mau bagaimana lagi," katanya. Meski begitu, Mulyadi tetap bermimpi bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Hanya saja, aktifitasnya di pedalaman selama ini membuatnya sering tidak mendapat informasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) soal pengangkatan guru honorer.

Sisi positifnya, sifat idealis dan kegigihannya itu justru membuat Mulyadi mampu meraih predikat guru berdedikasi tingkat provinsi sebanyak dua kali dan bahkan mewakili Provinsi Riau untuk berlomba sebagai guru berdedikasi tingkat nasional.

Pada tahun 2012 lalu, Mulyadi meriah predikat guru berdedikasi tingkat kabupaten, namun dirinya belum berhasil di tingkat provinsi.

Kemudian pada tahun 2013 lalu, Mulyadi terpilih kembali sebagai guru berdedikasi tingkat kabupaten, dan berlanjut ke tingkat provinsi hingga akhirnya ia berangkat ke Jakarta untuk berlomba menjadi guru berdedikasi tingkat nasional.

Pada tahun 2017 lalu, Mulyadi kembali terpilih sebagai guru berdedikasi tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Sekali lagi ia berangkat ke Jakarta untuk mewakili Riau. "Pada tahun 2017 lalu, ada lima orang guru dari Inhu yang berangkat mewakili Riau," katanya.

Kesempatan yang sangat jarang bagi Mulyadi, pengajar bagi anak pedalaman berangkat ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Republik Indonesia. Dua kali mewakili Provinsi Riau ke Jakarta dalam lomba guru berdedikasi, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Mulyadi.

Terkhususnya ia pernah bersalaman dengan dua orang presiden berbeda periode. Pertama dengan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2013 dan Presiden Joko Widodo pada tahun 2017 lalu.

Meski sudah dua kali bersalaman dengan Presiden RI, Mulyadi tetaplah seorang guru dengan status guru bantu daerah (GBD). Ia yang sudah sepuluh tahun lewat tiga bulan mengajar di Dusun Sahdan, sejak masih berstatus lajang hingga punya anak tiga.

Mulyadi tetap pengajar bagi anak-anak Talang Mamak. Masa depan cerah anak-anak Talang Mamak berada di tangan pengabdi seperti sosok Mulyadi yang merupakan lulusan Ilmu Pemerintahan Universitas Riau. ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Peristiwa, Umum, Inhu
wwwwww