Wakil Bupati Tolitoli Sulteng Mengamuk di Acara Pelantikan Pejabat, Kursi yang Diduduki Bupati Ditendang, SK Dirobek
Bahkan, ada wakil kepala daerah sudah menyusun kekuatan untuk melawan kepala daerah di pilkada selanjutnya. Contohnya, duet Bupati dan Wakil Bupati Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, Mursini-Halim. Di awal pemerintahannya, pasangan cukup ideal. Namun hanya berselang setahun, riak perbedaan keduanya mulai terbaca.Persoalannya sama. Berawal dari tidak dilibatkan sebanyak tiga kali dalam proses mutasi pejabat, Halim pun menyatakan siap pergi bila tak dibutuhkan lagi oleh Mursini. Itu juga yang terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, saat duet Bupati Garut Aceng HM Fikri dan Wakil Bupati Diki Chandra.Pada September 2011, Diki Chandra memilih mengundurkan diri dari jabatannya. Diki mengaku sering tidak sejalan dan beda prinsip dengan Aceng. Peristiwa yang sama juga terjadi antara Bupati Soppeng, Sulawesi Selatan, Andi Kaswadi Razak dan Wakil Bupati Soppeng Supriansyah.Demikian juga antara Bupati Jeneponto Iksan Iskandar dan Wakil Bupati Mulyadi Mustamu, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto dan Wakil Wali Kota Syamsu Rizal, atau Wali Kota Parepare Taufan Pawe dan Wakil Wali Kota Andi Faizal Sapada. Bulan madu mereka hanya sebentar.Yang membuat hubungan keduanya memburuk karena perebutan proyek dan terkait pengangkatan atau penunjukan pejabat Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kepala daerah dan wakilnya bekerja demi kepentingan masing-masing. Akibatnya terjadilah konflik kepentingan keduanya.Potensi konflik makin besar jika tiap-tiap tokoh didukung partai yang berbeda. Apalagi jika mereka bernafsu untuk maju dalam pilkada berikutnya. Tak jarang konflik itu meluas dan menimbulkan perpecahan kepada pejabat di bawahnya. Maka lahirlah istilah orang gubernur dan orang wakil gubernur.Orang bupati dan orang wakil bupati. Orang wali kota dan orang wakil wali kota. Kalau sudah begini, pemerintahan pun tidak berjalan baik. Bagaimana mungkin urusan pembangunan dan kemasyarakatan bisa berjalan baik jika kepala daerah dan wakilnya gontok-gontokan. Keduanya saling berhadapan dan memupuk rivalitas.Kondisi itu diperparah karena ketidakjelasan fungsi, peran, dan wewenang masing-masing antara kepada daerah dan wakilnya. Akibatnya, pembagian peran dan tanggung jawab tergantung pada kesepakatan, bukan berdasarkan payung hukum. Tak jarang, kesepakatan itu tidak ada. Inilah salah satu sumber disharmonisasi kepala daerah dan wakilnya. Akhirnya berubah menjadi pecah kongsi. ***Editor:
Akham Sophian