Perseteruan Bupati Kuantan Singingi dan Wakilnya Terkait Utang Pilkada 2015 yang Dipinjam dari ”Toke” Sudah Diketahui Kemendagri

Perseteruan Bupati Kuantan Singingi dan Wakilnya Terkait Utang Pilkada 2015 yang Dipinjam dari ”Toke” Sudah Diketahui Kemendagri

Ilustrasi/Mursini (kiri) dan Halim yang dikabarkan sudah "rujuk".

Sabtu, 03 Februari 2018 08:23 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Pemilihan kepala daerah (pilkada) harus menjadi instrumen untuk menghasilkan pemimpin yang amanah, punya kapasitas, dan integritas. Sayang, harapan ideal itu masih jauh panggang dari api. ”Harapan saya, pilkada ini bisa menghasilkan pemimpin yang amanah. Pemimpin yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Jumat (2/2/2018) Namun harapan sepertinya tercederai di beberapa daerah. Maraknya kasus korupsi yang menyeret para kepala daerah dan wakilnya, adalah bukti, pemimpin yang dihasilkan masih jauh dari amanah.

Meski, tak semuanya. Karena masih ada kepala daerah yang juga berprestasi. Sayang, jumlahnya hanya segelintir. Tidak hanya pemimpin yang kurang amanah. Ternyata hasil Pilkada juga memperlihatkan dagelan-dagelan politik.

Direktur Politik Dalam Negeri Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar baru-baru ini melapor kasus perseteruan Bupati Kuansing, Mursini dan wakilnya H Halim. Kuansing sendiri merupakan salah satu kabupaten di provinsi Riau. Duet Mursini dan H Halim, merupakan pasangan calon yang terpilih pada Pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015.

Menurut Bahtiarseperti dilansir potretnews.com dari koran-jakarta.com, perseteruan bupati dan wakilnya dipicu oleh soal utang piutang saat Pilkada kemarin. Utang yang sekarang diributkan, merupakan utang yang dipakai modal membiayai Bupati dan Wakil Bupati Kuansing saat bertarung di pilkada. Mirisnya lagi, utang itu berasal dari pinjaman pihak ketiga.

Utang seperti kata Bahtiar, yang kerap menyandera para pemenang pesta demokrasi di daerah, hingga mereka terjebak pada utang budi politik. Ini yang kemudian acapkali melahirkan kongkalingkong. Penyalahgunaan kekuasaan pun jadi pilihan untuk membayar utang budi politik tersebut. Lewat proyek-proyek, atau kompensasi dan konsesi lainnya, mereka yang terjerat praktek politik transaksional mencicil utang politiknya.

Di Kuansing, lanjut Bahtiar, wakil bupati terang-terangan kepada media mengungkapkan, bahwa ketika pilkada, ia dan pasangannya, mengandalkan modal dari pinjaman pihak ketiga (popler disebut toke, red). Belasan miliar, mereka mengutang uang untuk membiayai pencalonannya. Si Wakil Bupati, merasa hanya dia yang harus menanggung utang itu.

Menurut pengakuan Wakil Bupati Kuansing, tiap bulan dirinya harus membayar bunga utang yang jumlahnya mencapai 100 juta per bulan. Merasa Bupati Kuansing yang jadi pasangannya tak ikut andil membayar, sang wakil memutuskan membongkar utang politik itu. “ Saya tidak tahu, apakah ini masuk kategori politik uang atau tidak. Bawaslu mungkin bisa memberi tanggapan,” demikian Bahtiar. ***

Editor:
Akham Sophian

wwwwww