Home > Berita > Riau

Kebun Sawit dan Pondokan Warga di Kecamatan Rakitkulim Indragiri Hulu Dirusak

Kebun Sawit dan Pondokan Warga di Kecamatan Rakitkulim Indragiri Hulu Dirusak

Rumah pondokan warga di perkebunan Indragiri Hulu dirusak. (foto: merdeka.com)

Rabu, 27 Desember 2017 07:29 WIB
INDRAGIRI HULU, POTRETNEWS.com - Masyarakat yang bekerja sebagai petani kelapa sawit di Desa Talangtujuhbuahtangga Kecamatan Rakitkulim Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) Provinsi Riau, geram. Persoalannya, kebun sawit dan rumah pondokan mereka dirusak. Warga menuding perusakan ini buntut dari konflik lahan dengan PT Bukit Betabuh Sei Indah (BBSI). Setelah warga membeli dan membayar semua kewajiban kepada pemerintahan desa, belakangan diketahui sekira 4.000 hektar kebun kelapa sawit tersebut malah diklaim PT BBSI sebagai lahan milik perusahaan. Sejak Agustus 2017, lebih dari 10 alat berat milik perusahaan PT BBSI juga menghancurkan sebagian kebun kelapa sawit masyarakat itu.

"Sudah lebih dari 100 hektar kebun kelapa sawit itu rusak berat. Ada juga 2 rumah warga dihancurkan, 4 orang dianiaya dan semua akses jalan ke kebun warga diputus oleh perusahaan," kata Abdul Aziz, perwakilan masyarakat Desa Talangtujuhbuahtangga, Selasa (26/12/2017), dilansir potretnews.com dari merdeka.com.

Aziz melanjutkan, lahan masyarakat yang paling banyak dirusak yakni di dusun IV. Di desa ini ada 4 dusun. Bahkan kebun sawit warga di dusun lainnya juga mengalami hal sama. Para petani tidak mau terlibat adu fisik, meski awalnya sempat terjadi 4 kali bentrokan antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik pecah lantaran petani mengaku mempertahankan kebunnya.

"Tadinya kami berharap pemerintah peduli dengan situasi ini. Perusahaan mengaku punya izin, petani juga punya surat keterangan ganti rugi (SKGR). Kalau kedua-duanya saling ngotot, enggak akan ada penyelesaian. Yang ada justru, petani akan semakin menderita dan bisa jadi ada yang tewas," katanya.

Para petani lebih memilih jalan perdamaian, mereka meminta pertanggungjawaban pemerintah desa dan kecamatan atas legalitas yang sudah dikeluarkan untuk petani.

"Kalau legalitas itu benar, otomatis pemerintah turun tangan mengusir perusahaan yang mengklaim lahan itu. Tapi kalau tidak, pemerintah desa dan kecamatan sudah melakukan penipuan. Mengeluarkan surat di atas hak orang lain," paparnya.

Aziz menambahkan, selama ini tiap warga yang membeli lahan harus memberikan fee untuk perangkat desa sebesar Rp 1,5 juta setiap satu lembar SKGR. Itu di luar biaya pengukuran dan tandatangan sempadan dari lahan mereka. Lalu, setiap transaksi jual beli lahan, pemerintah desa meminta fee 10 persen.

"Kalau harga 2000 surat saja yang dikeluarkan oleh desa, sudah berapa duit yang terkumpul. Belum lagi fee dari setiap transaksi yang rata-rata harga 1 hektar lahan Rp20 juta," kata Aziz.

Aziz juga curiga, Kepala Desa Talangtujuhbuahtangga, Sierlina, yang kini menjabat untuk kedua kalinya sudah punya mobil mewah, Mitsubishi Pajero Sport. "Di mana sih kepala desa punya pajero sport?" katanya.

Petani meminta aparat penegak hukum, termasuk inspektorat Kabupaten Inhu untuk menelusuri aliran duit pembuatan SKGR dan fee transaksi itu. Lalu pemerintah Kabupaten Inhu diminta untuk membentuk tim investigasi menelusuri asal muasal surat yang dimiliki oleh PT BBSI.

Merdeka.com mencoba mengkonfirmasi Humas PT BBSI, Asri. Namun sambungan telepon maupun pesan singkat tidak direspons. Begitu juga dengan Kepala Desa Talangtujuhbuahtangga Sierlina yang tidak merespons ketika hendak dikonfirmasi. ***

Editor:
Sahril Ramadana

Kategori : Riau, Inhu, Umum, Peristiwa, Hukrim
wwwwww