Home > Berita > Riau

Diskominfo Kota Pekanbaru Dinilai Gagal Paham soal UU Pers, UU Keuangan Negara, dan Peraturan Dewan Pers

Diskominfo Kota Pekanbaru Dinilai Gagal Paham soal UU Pers, UU Keuangan Negara, dan Peraturan Dewan Pers

Ilustrasi.

Jum'at, 16 Juni 2017 11:37 WIB
Maulana/Mario
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Implementasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan di Provinsi Riau, salah satunya di Kota Pekanbaru. Betapa tidak. Meski Dewan Pers intens melakukan sosialisasi dengan beragam cara agar lembaga pemerintah juga menjadi garda terdepan penerapan seperti ini, namun sepertinya hal itu tidak diindahkan Dinas Komunikasi, Informasi, Statistik, dan Persandian Kota Pekanbaru.

Di organisasi perangkat daerah (OPD) ini, misalnya. Semangat verifikasi media dan uji kompetensi wartawan atau jurnalis yang bertujuan untuk menyehatkan kualitas kualitas produk jurnalistik di Indonesia, tidak tergambar dari pola kerja sama pemerintah kota dengan media massa yang secara teknis dijalankan oleh OPD tersebut.

Penyebarluasan informasi kegiatan Pemerintah Kota Pekanbaru di media massa yang dikemas dalam bentuk advertising editorial (advertorial) terkesan dimaknai oleh oknum di OPD itu bahwa jumlah atau volume advertorial setiap media massa haruslah sama.

”Sekiranya informasi bahwa pola kerja sama dengan media dalam bentuk advertorial volumenya (jumlahnya, red) memang benar disamaratakan, itu tindakan ngawur. Harusnya Diskominfo (Dinas Komunikasi, Informasi, red) punya dasar, dan alat ukur untuk menetapkannya. Jangan mereka melakukan verifikasi ala mereka. Kita saja yang sudah bertungkus lumus dan setiap hari menerapkan Undang-Undang Pers, masih juga memerlukan konsultasi dengan Dewan Pers,” tandas wartawan senior, Harmen Milano, 59, menjawab potretnews.com, baru-baru ini.

Pria yang sudah di atas 30 tahun menjadi wartawan ini menyebut, jika memang benar Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, Statistik, dan Persandian Kota Pekanbaru beserta jajarannya membuat kebijakan ”ala kami”, itu artinya ASN OPD di instansi tersebut perlu diberi pembekalan khusus oleh Dewan Pers dan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

Alasan Harmen menyarankan ASN di sana diberi pembekalan sangat beralasan. Dia khawatir oknum di Dinas Kominfo Kota Pekanbaru suatu saat bisa tersandung masalah kasus hukum. Karena dalam pandangan dia, pola kerja sama media dengan lembaga pemerintah tidak hanya terkait UU Pers, melainkan UU Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

”Ketika kita bicara konten berita, yang berlaku adalah Undang-Undang Pers. Nah, ketika berita sponsor atau advertorial yang dibayar dengan dana APBN/APBD, maka yang berlaku adalah Undang-Undang Keuangan dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam kasus ini saya menilai oknum di Diskominfo Kota Pekanbaru gagal paham soal UU Pers, UU Keuangan Negara, dan Peraturan Dewan Pers,” paparnya.

Melihat ”kenekatan” oknum Diskominfo membuat verifikasi dan kebijakan yang terkesan ”semau gue” tanpa minta pendampingan dari Anggota Dewan Pers, Wartawan Majalah Garda itu meragukan niat ASN yang membidangi kerja sama dengan media massa, untuk menjalankan UU Pers, UU Keuangan Negara, Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Peraturan Dewan Pers, secara benar.

Sebelum diwawancarai potretnews.com, Harmen mengaku mendengar kabar bahwa Diskominfo membuat semacam ”peringkat” bagi media-media yang mengajukan penawaran kerja sama. Namun yang menurut dia aneh, media-media arus utama yang para pemimpin redaksi/penanggung jawabnya telah memegang sertifikat kompetensi Wartawan Utama Dewan Pers dan pembacanya mencapai ratusan ribu per hari, malah ditempatkan di bawah media yang pembacanya sangat minim.

”Di era digital seperti sekarang kita bisa dengan mudah mengetahui apakah media siber tersebut memiliki pembaca banyak atau sedikit. Misalnya saja, kita bisa jadikan Google Analytics sebagai rujukan untuk memantau statistik website. Bisa juga menggunakan alexa.com untuk mengetahui peringkat atau rating suatu media. Kalau Diskominfo tidak memakai alat ukur itu, misalnya pemred/penjab harus UKW Utama dan pembaca serta ratingnya dicantumkan, lalu tolok ukurnya apa? Nanti semua pimpinan media siber bisa mengklaim medianya nomor satu,” beber Harmen, sembari mengingatkan para pihak di Diskominfo Kota Pekanbaru khususnya yang terkait dengan kerja sama media massa, agar berhati-hati dan tidak ceroboh apalagi seakan-akan ”bebas” tanpa aturan dalam menggunakan anggaran APBN/APBD karena sanksinya sudah jelas di dalam beberapa undang-undang..

Meski begitu, sekiranya oknum Diskominfo Kota Pekanbaru yakin dengan keputusan atau pola yang dijalankan, dia tidak mempermasalahkan asal semua pihak siap dengan risikonya.

”Tapi potensi bakal jadi masalah tetap ada. Misalnya ada perusahaan pers yang dirugikan karena mungkin mereka merasa lebih layak daripada media yang di dalam daftar itu. Nah, lantas mereka minta semua media yang mengajukan kerja sama ke Diskominfo dinilai oleh Dewan Pers baik secara administratif dan faktual. Apa Dinas Komunikasi, Informasi, Statistik, dan Persandian Kota Pekanbaru sudah siap? Jangan sampai, misalnya, media yang pemred/penjabnya belum UKW Utama, medianya sudah tidak terbit lagi atau pimpinannya bekerja di beberapa media, malah disamaratakan dengan yang sudah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud di dalam Peraturan Dewan Pers,” urai Harmen.

Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Dinas (Kadis) Komunikasi, Informasi, Statistik, dan Persandian Kota Pekanbaru Firmansyan Eka Putra belum berhasil dikonfirmasi karena nomor telepon seluler sang kadis yang diperoleh potretnews.com dari Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Khairul atau yang akrab disapa Ocu, adalah nomor yang ternyata sudah tidak aktif (nomor kartu Telkomsel yang telah mati, red).

Ini Isi Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Pasal 3

(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.

Ini Isi Pasal 1 Ayat 62
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

62. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. ***

wwwwww