Diduga Libatkan Oknum Aparat, Ribuan Hektar Lahan Negara di Desa Segati Pelalawan Berubah Jadi Perkebunan Sawit

Diduga Libatkan Oknum Aparat, Ribuan Hektar Lahan Negara di Desa Segati Pelalawan Berubah Jadi Perkebunan Sawit

Hamparan perkebunan sawit di kawasan eks PT SRT Desa Segati Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan.

Minggu, 11 Juni 2017 10:11 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Pohon sawit setinggi lebih kurang dua meter berdiri kokoh diatas lahan yang masuk kawasan eks PT Siak Raya Timber (SRT). Tepatnya di Km 81 Desa Segati Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau. Tahun 2013 lalu izin Hak Pengelolahan Hutan (HPH) milik PT Siak Raya Timber dengan luas lebih kurang 38.015 Hektare dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Berdasarkan aturan yang berlaku, lahan tersebut seharusnya diambil alih oleh Negara.

Namun kenyatanya, lahan bekas PT SRT ini justru dikuasai oleh sekelompok orang yang diduga kuat sebagai mafia lahan. Kawasan ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tesso Nillo (TNTN). Saat ini, di lahan bekas PT SRT ini sudah berubah menjadi hamparan perkebunan sawit.

Jika dilihat sepintas, tidak ada yang menyangka jika lahan ribuan hektare yang diatasnya ditanami sawit tersebut milik negara. Sulit kita bisa menemukan pohon kayu hutan di wilayah ini. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya deretan hamparan pohon kelapa sawit. Lahan yang seharusnya di kembalikan untuk negara ini, hutanya sudah habis dibabat dan saat ini sudah disulap menjadi perkebunan sawit.

Perkebunan kelapa sawit yang tumbuh diatas lahan bekas PT SRT ini terlihat tumbuh dengan subur. Kontur tanah yang berbukit menyajikan penamdangan yang gersang. Tidak ada pepohonan yang menjulang tinggi. Yang ada hanya hamparan perkebunan sawit yang luasnya ribuan hektare.

Untuk bisa melihat perkebunan sawit yang ada didesa Segati ini memang terbilang sulit. Pasalnya akses jalan menuju lokasi perkebunan sangat terjal dan curam. Sehingga cukup sulit jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan sepeda motor atau mobil biasa. Jalan masuk menuju kebun sawit ini berada di km 66, km 71, km 74, km 79, km 80, km 81 serta di km 83.

Untuk sampai ke lokasi ini, demikian diberitakan tribunnews.com yang dilansir potretnews.com, media bersama Jikalahari terpaksa menggunakan sepeda motor jenis trail. Kebuh sawit yang ditanam di atas lahan yang masuk dalam kawasan eks PT SRT ini tidak terlihat dari jala poros (warga setempat menyebutnya Jalan Koridor RAPP).

Di sisi kiri dan kanan jalan poros ini ditanami deretan pohon akasia milik PT RAPP. Namun siapa yang menyangka ternyata di belakang perkebunan akasia tersebut terdapat ribuan hektar perkebunan sawit.

Setelah melewati jalan tanah dengan lebar lebih kurang 3 meter yang diapit rimbunan pohon akasia sejauh lebih kurang 500 meter, barulah terlihat hamparan perkebunan sawit tersebut. Perkembunan sawit yang masuk kawasan eks PT SRT ini ukuranya bervariasi.

Mulai dari yang baru ditanam setinggi satu meter hingga yang sudah panen setinggi lebih lurang 6 meter. Namun sebagian besar pohon sawit yang ada dikawasan ini berukuran lebih kurang 2 meter. Beberapa kayu bekas hutan lindung yang ditebang juga masih ada terisasa. Namun hanya dibagian pangkalnya saja. Ukuranya pun bervariasi, mulai dari yang berdiameter 1 centimeter hingga 1,5 meter.

Di tengah hamparan perkebunan sawit tersebut sulit menemukan peruumahan warga. Sejauh-jauh mata memandang yang ada hanya hamparan pepohonan kelapa sawit saja. Kalau pun ada rumah, hanya berupa gubuk kayu beratap daun rumbia. Gubuk ini pun hanya dihuni oleh pekerja kebun.

Seperti yang ditemui di hamparan kebuh sawit yang berada di kilometer 79 Tasik Indah Desa Segati. Ada sebuah gubuk berdinding kayu beratap daun rumbia dilokasi ini. Saat Tribun singgah ke gubuk tersebut terlihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk santai di teras depan gubuknya.

Di halaman rumah terlihat dua orang bocah berumur lebih kurang 10 tahun sedang memberi makan ayam. Kepada media pria berkulit hitam ini mengaku hanya sebagai buruh kebun. Dia hanya diupah untuk menjaga dan membersihkan kebuh sawit tersebut.

Pria ini tidak menapik jika kawasan yang ditanami sawit dan ditunggunya tersebut merupakan kawasan eks PT SRT. Namun dia mengaku tidak ambil pusing, sebab lahan tersebut bukan milik pribadinya.

"Saya di sini kan cuma makan gaji aja," kata pria hanya hanya mengenakan celana jins selutut ini.

Kepada media pria ini mengaku mendapat upah Rp 10 ribu per pohon untuk membersihkan dan menjaga kebun sawit tersebut. Ia menerima gaji setiap bulan. Hasil dari menjaga dan membersihkan kebuh tersebut kemudian dia gunakan untuk modal membiayai kebun sawit miliknya sendiri yang ada di lokasi lain. Tidak dilokasi kawasan bekas PT SRT.

"Saya punya kebun sawit sendiri, tapi nggak disini, jauh di sana,"kata sambil menujukkan jari telunjuknya ke arah utara.

Pria ini mengungkapkan, pemilik kebuh tersebut bukan warga setempat. Pemilik kebun yang dijaganya adalah warga dari Medan. Pemilik kebun tersebut hanya sekali sebulan turun ke lokasi untuk melibat kebunya.

"Paling kalau kesini cuma ngecek kondisi sawit sama ngantarkan gaji aja,"katanya.

Hasil penelusuran di lokasi lahan bekas PT SRT hampir seluruhnya sudah berubah menjadi kebun sawit. Padahal seharusnya setelah izin HPH PT SRT tersebut dicabut, lahan tersebut dikembalikan ke negera. Namun nyatanya pasca izin PT SRT tersebut dicabut, para mafia tanah dari berbagai wilayah sudah lebih dahulu mengincarnya. Para mafia tanah ini kemudian dengan rakusnya menggarap lahan tersebut menjadi perkebunan sawit.

Informasi yang dikumpulkan dari wawancara dengan sejumlah warga di Desa Segati ternyata lahan eks PT SLR tersebut sebagian besar dikuasai oleh mafia tanah dari luar desa setempat. Bahkan mereka ada yang berasal dari luar Riau. Mereka ada yang dari Rohil, Medan bahkan dari Jakarta.

Umumnya mereka adalah "pemain besar" dalam bisnis lahan perkebunan sawit. Tidak heran jika satu pemilik lahan bisa menguasai lahan hingga 1000 sampai 2000 haktar. Ada juga yang memiliki lahan antara 200 hingga 500 hektar.

Penelusuran di lapangan, para mafia tanah ini masuk ke lokasi ini dengan memanfaatkan warga tempatan. Agar tidak bermasalah, mafia tanah ini langsung meminta izin dengan kepala suku setempat. Warga setempat biasa menyebutnya, ninik mamak, datuk atau batin. Berbekal surat dari datuk atau batim tersebutlah para mafia tanah ini kemudian mengurus suratnya ke kantor desa setempat.

Sumber mengungkapkan fakta yang mengejutkan dalam bisnis jual beli lahan diwilayah ini. Dari pengakuan warga setempat, bahkan salah seorang warga asal Medan membeli lahan di kawasan ini hingga seluas 2 ribu hektar.

Mafia tanah asal Medan ini membuka lahan sawit di lahan bekas PT SRT sekitar empat tahun yang lalu. Saat itu, pemilik lahan mengeluarkan uang Rp 2 milliar untuk membeli lahan seluar 2 ribu hektar. Artinya satu hektar lahan saat itu hanya dihargari Rp 1 juta.

Dana sebesar Rp 2 milliar tersebut kemudian di serahkan ke Desa Segati melalui datuk atau batin setempat. Uang tersebut kemudian dibagi dua peruntukan, masing-masing Rp 1 milliar. Peruntukan pertama untuk pembangunan masjid Rp 1 milliar dan sisanya Rp 1 milliar lagi dibagi ke seluruh warga setempat.

"Kami waktu itu satu KK masing-masing mendapat bagian sekitar Rp 3 jutaan," tutur alah seorang warga Desa Segati.

Meski harga lahan dihargai cukup murah dan lahan tersebut dibeli oleh orang dari luar desa setempat, namun sistem jual beli lahan ini ternyata disambut baik masyarakat sekitar. Alasanya, selain bisa digunakan untuk membangun fasilitas umum, dana dari hasil penjulan lahan tersebut dibagi rata ke warga tempatan.

Namun sayang, program tersebut hanya berjalan sekali itu saja. Selanjutnya proses jual beli lahan dikawasan eks PT SLR tidak jelas lagi. Warga tidak pernah lagi mendapatkan "jatah" dari penjualan lahan yang luasnya sampai puluhan ribu hekater. Begitu juga pembangunan fasilitas umun di desa tersebut juga tidak pernah ada lagi.

"Setelah itu kami tidak tau lagi seperti apa sistemnya. Yang jelas lahan yang dijual itu banyak. Di luar 2 ribu yang dijual pertama itu masih banyak lagi. Karena luas lahan bekas PT SLR itu kan lebih kurang 38 ribu hektare," paparnya.

Penasaran dengan apa yang disampaikan oleh warga setempat, Tribun langsung mendatangi lokasi lahan bekas kawasan PT SRT. Salah satunya ada di KM 71 Desa Segati. Pantuan Tribun di kawasan bekas PT SRT terlihat perkebunan sawit yang terbentang luas. Pohon sawit dilokasi ini, masih berumur sekitar 1 sampai 2 tahun. Tingginya sekitar 2 meter. Ada dua pohon jenis sialang dibiarkan berdiri kokoh dan menjulang tinggi ke langit. Tingginya bahkan sampai 30 meter. Namun daunya hanya tersisa dibagian ujung pohon saja. Inilah kayu sisa-sisa hutan bekas eks PT SLR yang saat ini sudah disulap menjadi perkebunan sawit.

Keterangan masyarakat di desa Segati, pemilik lahan dikawasan tersebut merupakan mafia tanah. Mereka pada umumnya adalah cukong tanah yang memiliki lahan hingga ribuan hektare dibeberapa daerah di Riau. Tidak hanya di Desa Segati, Pelalawan namun ada juga yag di kabupaten lain di Riau.

"Setahu saya yang punya ribuan hektare itu orang bagan (Rohil). Tanahnya nggak disini saja, dimana-mana ada. Di bagan itu juga banyak tanahnya," katanya.

Tidak hanya hanya dari kalangan pengusaha, sumber ini juga mengungkapkan sejumlah nama oknum aparat yang punya lahan dikawasan Eks PT SRT.

"Tapi pemiliknya jarang ke sini, surat-surat tanah itu pun bukan atas nama dia. Biasa atas nama keluarganya, entah anaknya, entah istrinya, adiknya. Pokoknya nggak pakai nama dia (pemilik)-lah," kata pria ini.

Salah seorang pemilik kebih sawit yang lahanya berada di kawasan eks PT SRT mengunkapkan fakta menarik soal surat-menyurat tanah serta tatacara pembelian tanah. Pria berbadan gempat berkulit hitam ini mengaku membali tanah kepada ketua adat dikawasan tersebut. Mereka menyebutnya ninik mamak, atau batin.

"Ini kan kawasan bekas lahan Siak Raya (PT SRT). Dulukan meraka cuma ambil kayunya saja. Kami punya suratnya ninik mamak,"katanya.

Pemilik lahan ini mengaku membayar Rp 1 juta kepada ninik mamak untuk mengurus satu surat. Satu surat biasanya untuk lahan seluas lebih kurang dua hektare. Setelah mendapatkan surat dari ninik mamak, pemilik lahan ini kemudian mengurus surat kepemilikan lahanya ke kantor desa.

"Di sini rata-rata sudah ada surat dari desa semua," ujar seorang petani sawit yang tribun di gubuknya di Km 71 Desa Segati kecamatan Langgam, Pelalawan.

Media sempat berbincang dengan salah seorang datuk batin di wilayah tersebut. Namun sayang, tidak banyak informasi yang bisa digali dari yang bersangkutan. Faktor usia datuk batin yang sudah lanjut. Datuk batin yang berusia sekitar 88 tahun ini pendengaranya sudah kurang dan komunikasinya juga tidak lancar. Dari hasil perbincangan singkat Tribun dengan datuk batin tersebut terkonfimasi kebenaran terkait jual bali lahan dikawasan bekas PT SRT.

"Iya dulu banyak yang datang minta dibuatkan surat, banyak lah, sekarang mana ada lagi," katanya membenarkan jika dirinya sudah banyak mengeluarkan surat dari orang yang tidak dikenalnya.

Surat dari datuk batin ini kemudian digunakan oleh para pemilik lahan untuk mengurus surat tanahnya di desa. Setelah surat dari desa keluar, maka pemilik lahan sudah bisa menggarap lahanya menjadi perkebunan sawit.

"Ada juga yang sistem bagi. Jadi orang luar datang membuka lahan, menyiapkan bibit sawitnya, setelah selesai baru dibagi dengan kami, sekian persenya,"katanya namun tidak dirinci berapa persen pembagianya.

Begitu juga dengan berapa sebenarnya biaya yang diharus dikeluarkan untuk mengeluarkan surat dari ninik mamak, datuk batin ini juga enggan berkomentar.

Datuk batin ini tidak menapik, belakangan ini ada beberapa pemilik lahan yang mengadu ke dirinya karena tumpah tidih izin dan kepemilikan lahan dikawasan tersebut. Namun datuk batin ini mengaku jika persoalan tersebut bisa diselesaikan secara adat.

"Ada juga yang mengadu, tapi bisa diselesaikan, tidak ada masalah," katanya.

Sekretaris Desa Segati Burhan membantah surat kepemilikan tanah di kawasan HPH eks PT SRT dikeluarkan oleh kantor desa setempat. Pihaknya mengaku tidak pernah mengeluar surat tanah untuk kawasan tersebut.

"Itu surat hibah dari ninik mamak saja. Kalau surat resmi dari desa tidak ada. Paling pak kepala desa membuat surat keterangan biasa saja, buka dilegalisir didesa, cuma diteken saja," katanya.

Seluruh lahan perkebunan sawit yang masuk di kawasan eks PT SRT tidak memiliki surat resmi dari pemerintah. Termasuk dari desa setempat. Begitu juga dengan pemilik lahan yang luasnya mencapai ratusan hingga ribuan hektare. Mereka hanya mengantongi surat dari mimik yang diketahui oleh kepala desa setempat.

"Legalitasnya baru surat dari ninik mamak kalau dari pemerintah belum ada lagi. Kalau seribu hetrare itu urusan dia lah, kalau desa tidak ada mengeluarkan suratnya. Paling kepala desa hanya mengetahui surat dari ninik mamak saja," imbuhnya.

Burhan membenarkan para cukong yang memiliki lahan ratusan hingga ribuan hektare dikawasan eks PT SRT merupakan warga pendatang.

"Yang punya lahan luas itu pembelinya dari luar semua, ada dari Medan, etnis Tionghoa, Batak, Jawa. Macam-macamlah," bebernya. (Bagian 1) ***

Editor:
Farid Mansyur

wwwwww