Home > Berita > Umum

Kisah Karomah Seorang Syekh di Pulau Pedamaran Rohil yang Berhasil Menjinakkan Buaya-buaya Ganas Sungai Rokan

Kisah <i>Karomah</i> Seorang Syekh di Pulau Pedamaran Rohil yang Berhasil Menjinakkan Buaya-buaya Ganas Sungai Rokan

Ilustrasi/Buaya.

Senin, 22 Mei 2017 21:31 WIB
BAGANSIAPIAPI, POTRETNEWS.com - Pulau Pedamaran adalah nama sebuah pulau yang terletak di Kecamatan Pekaitan, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau. Pulau yang juga dikenal dengan nama Pulau Sutan ini memiliki luas sekitar 3.000 hektar, merupakan sebuah pulau asli (alam, bukan bentukan). Pulau Pedamaran yang terletak tepat di muara Sungai Rokan ini dilintasi oleh dua jembatan, yakni Jembatan Pedamaran I dan Jembatan Pedamaran II, yang membuka isolasi dan menghubungkan beberapa kecamatan yakni Kecamatan Bangko, Pekaitan, Bangko Pusako, Pasir Limau Kapas, dan Kubu.

Pulau Pedamaran merupakan salah satu kawasan yang akan dijadikan objek wisata alam di Kabupaten Rokan Hilir, meliputi wisata pertanian, wisata pendidikan, wisata permainan, wisata alam, serta pengembangan sarana prasarana pusat perbelanjaan (seperti mal, pasar, serta industri kreatif). Padahal dulu pulau yang dulunya disebut orang sebagai ”Pulau Tuan Syekh” hanyalah sebuah pulau kecil dan sepi.

Disebut sebagai ”Pulau Pedamaran”, konon pada masa lampau banyak orang yang mencari/mengambil getah dari pohon ”damar” yang tumbuh di pulau tersebut. Sementara disebut ”Pulau Tuan Syekh” karena dulunya ketika masih merupakan pulau kecil, ada seseorang yang disebut sebagai ”Tuan Syekh/Syaikh” membuat kolam ikan dan sekaligus menjadikan pulau tersebut sebagai tempat memelihara dan menjinakkan ”buaya” sungai Rokan yang terkenal ganas, agar tidak mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar perairan Sungai Rokan. Sehingga pada akhirnya selain pulau itu sendiri disebut sebagai ”Pulau Tuan Syekh”, maka buaya-buaya yang ada di sekitar pulau tersebut disebut juga sebagai ”Buaya Tuan Syekh”.

Pada awalnya Pulau ”Pedamaran” atau Pulau ”Tuan Syekh” tersebut adalah sebuah delta atau pulau kecil yang terletak di antara Desa Suakairhitam dan Sungai Sialang. Kemudian lantaran terjadinya reklamasi alamiah, pulau tersebut semakin membesar dan memanjang ke arah muara Sungai Rokan sebagaimana yang kita jumpai sekarang ini.

Banyak orang yang menduga, bahwa yang disebut sebagai tuan syekh tersebut adalah Almarhum Tuan Syekh Zainuddin salah seorang ulama yang banyak memiliki ”karomah” di masa hidupnya. Beliau berasal dari Tanahputih (Tanjungmelawan), yang secara geografis memang terletak di Sungai Rokan. Dan konon ketika masih bolak-balik berlayar dari Tanahputih ke Bagansiapiapi, pulau kecil itulah tempat persinggahan beliau.

Dalam masa-masa persinggahan itulah beliau memelihara ikan (membuat kolam ikan) dan juga memelihara beberapa ekor buaya untuk menjaga kolam yang dibuatnya.

Menurut salah seorang ulama Rohil, KH Bachtiar Ahmad dalam tulisannya di laman Risalah Dakwah (https://halamandakwah.blogspot.co.id), ketika ia belajar kepada Syekh Maulana Ubaidillah Sholihin”, dia meminta Syekh Maulana menelusuri dan mencari tahu siapa tuan sykeh tersebut dengan jalan ”barzakh” melalui ”dzikrullah”. Maka Syekh Maulana menyebutkan bahwa yang disebut sebagai tuan syekh tersebut bukanlah Syekh Zainuddin, akan tetapi seorang ulama yang beliau sebut bernama/bergelar Syekh Marhum Koto Tujuh.

Syekh Marhum Koto Tujuh adalah ulama yang berasal dari Kerajaan Siak yang telah mendapat restu Sultan Syarif Hasyim (ayah Sultan Syarif Kasim II) untuk berdakwah mensyiarkan Islam di (bagian hilir) Sungai Rokan.

Pada awalnya beliau adalah salah seorang pengasuh/guru mengaji dari Sultan Syarif Kasim II (lahir tahun 1893) ketika masih kanak-kanak. Lalu ketika Sultan Syarif Kasim II beranjak dewasa dan berangkat belajar ke Mekkah, Syaikh Marhum Koto Tujuh mohon izin kepada Sultan Syarif Hasyim untuk berdakwah/mensyiarkan Islam di (wilayah hilir) Sungai Rokan, yang konon ketika itu banyak penduduknya yang masih mencampur adukkan ajaran Islam dengan paham animisme.

Diperkirakan di seputar tahun 1905-1907, setelah mendapat izin dan restu dari Sultan Syarif Hasyim, maka bersama isteri dan ketiga anaknya (2 perempuan dan 1 laki-laki), Syekh Marhum Koto Tujuh berangkat ke Sungai Rokan dan memilih untuk menetap di Suak Airhitam, yang konon pada masa itu adalah sebuah bandar atau pelabuhan” yang cukup ramai dan tempat penimbunan hasil hutan yang akan dibawa/dijual oleh para pedagang; baik ke Bagansiapiapi maupun ke daerah lainnya.

Syekh Marhum Koto Tujuh tinggal dan menetap di Suakairhitam kurang lebih 3-5 tahun, dan pada masa-masa itulah beliau membuat kolam ikan dan menjinakkan buaya Sungai Rokan di pulau kecil yang terletak di tengah-tengah Sungai Rokan antara Suak Airhitam dan Sungai Sialang tersebut, yang pada akhirnya pulau tersebut disebut sebagai ”Pulau Tuan Syekh” dan buaya-buaya yang beliau jinakkan disebut-sebut sebagai ”Buaya Tuan Syekh”. Sebab buaya-buaya tersebut dengan izin Allah menjadi jinak di tangan beliau.

Setelah beberapa tahun di Suak Airhitam dan karena anak-anak perempuannya sudah menikah, Syekh Marhum Koto Tujuh meyeberang dan pindah ke Sungai Sialang dan wafat serta dimakamkan di Sungai Sialang.

Menurut K.H. Bachtiar Ahmad ia sempat menceritakan kepada beberapa orang temannya di Bagansiapiapi, di antara mereka mengaku pernah mendengar riwayat ini dari beberapa orang tua di kampungnya. Mereka merasa bahwa riwayat tentang Syekh Marhum Koto Tujuh ada benarnya, walaupun tak bisa membuktikan kebenarannya. ***

Editor:
Farid Mansyur

Kategori : Umum, Riau, Siak
wwwwww