Setelah Tamatkan Sekolah di Riau, Pahlawan Nasional Haji Agus Salim Nyaris Dapatkan Beasiswa ke Belanda atas Perjuangan RA Kartini, tapi...

Setelah Tamatkan Sekolah di Riau, Pahlawan Nasional Haji Agus Salim Nyaris Dapatkan Beasiswa ke Belanda atas Perjuangan RA Kartini, tapi...

Foto bersumber dari koran-jakarta.com.

Sabtu, 22 April 2017 11:01 WIB

JAKARTA, POTRETNEWS.com - Peringatan Hari Kartini 2017 ini ditandai peluncuran film layar lebar Kartini arahan Hanung Bramantyo yang dipuji banyak kalangan. Banyak bintang bertabur di film ini, seperti Dian Sastro yang memerankan Kartini, Christine Hakim yang menjadi ibu kandung Kartini, Reza Rahadian, Dedi Soetomo dan banyak lagi. Membincangkan Kartini ibarat time tunnel ke abad silam. Maklum, pelopor emansipasi perempuan dari Jepara, Jawa Tengah ini, hidup dalam kurun waktu 21 April 1879 – 17 September 1904.

Masa kehidupan Kartini, dipengaruhi perubahan kebijakan politik Kolonial Hindia Belanda, yang baru saja menerapkan kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) sebagai pengganti kebijakan sebelumnya, Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).

Menjelang akhir abad ke-19, demikian dilansir potretnews.com dari laman koran-jakarta.com, Pemerintah Belanda merasa memiliki tanggung jawab moral atas wilayah jajahannya, termasuk Hindia Belanda. Bentuk tanggung jawab moral oleh Ratu Wilhelmina dituangkan dalam kebijakan Politik Etis, yang terangkum dalam program Trias van de Venter yang meliputi irigasi, emigrasi dan edukasi.

Meski dalam kerangka kepentingan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Tanah Air, Politik Etis secara langsung memberikan kesempatan bagi warga pribumi untuk menempuh pendidikan, sebab pada era ini, bidang pendidikan dan pengajaran terus diperluas.

Salah seorang yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr JH Abendanon (1852- 1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (1900- 1905). Sejak 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Di samping itu, buku dan media massa juga mulai berkembang dan menjadi alternatif bagi kaum cerdik pandai yang masih sedikit jumlahnya, untuk menyuarakan berbagai kehidupan di Tanah Hindia. Belakangan media massa menjadi wahana efektif bagi penyebarluasan berbagai gagasan, termasuk gagasan memerdekakan bangsa.

Raden Ajeng Kartini dan Agus Salim, meski terpaut usia lima tahun (Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879 dan Agus Salim lahir di Kotagadang, Kabupaten Agam, Sumbar, pada 8 Oktober 1884) hidup dalam suasana baru tersebut. Kedua tokoh yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional ini sama-sama suka membaca, menulis, dan berfikir kritis. Kartini dan Salim meski tidak saling kenal, punya cita-cita tinggi. Keduanya ingin melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda yang dinilainya sangat maju. Tapi dengan sebab yang berbeda, harapan itu kandas.

Kartini batal ke Belanda karena diharuskan menikah, padahal upaya untuk mendapat beasiswa begitu berliku dan akhirnya disetujui. Sedangkan permohonan Salim untuk melanjutkan pendidikan dokter dengan dana beasiswa juga kandas, ditolak. Lewat surat-surat yang ditulisnya, dan kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap terbitlah Terang) Kartini memperlihatkan kualitas sebagai pemimpin perempuan.

Sedangkan Agus Salim, belakangan dikenal sebagai tokoh yang menguasai banyak bahasa, tajam dalam menulis, menjadi pemimpin Partai Sarekat Islam (PSI) terkemuka bersama HOS Tjokroaminoto, dan kemudian menjadi Menteri Luar Negeri di zaman Indonesia merdeka.

Kalau Kartini dikenal lewat suratsuratnya yang kritis, Salim dikenal karena otaknya yang encer dan jago berdebat, menguasai ilmu agama, dan pemimpin politik yang piawai. Kecerdasan Salim bahkan terlihat sejak dia bersekolah mulai dari Europeese Lagere School ELS) di Riau, kemudian di Hogere Burger School atau HBS di Batavia.

Kedua sekolah ini biasanya diperuntukan bagi warga keturunan Belanda atau Eropa, namun Salim bisa masuk karena ayahnya Jaksa Kepala di Pengadilan Riau, jadi punya hak untuk masuk ke sekolah tersebut.

Di sekolah itu, Salim bukan saja mampu menguasai semua pelajaran, tetapi mengalahkan semua siswa Belanda dan keturunan Eropa. Kepandaian dan kecerdasan Salim ini tersebar ke seantero negeri, maklum, di samping sekolah yang hanya sedikit, HBS hanya ada tiga, dan setiap lulusan diumumkan di media massa. Berita tentang kepandaian Salim ini pun terdengar ke Rembang, Kartini mengetahui soal ini, bahkan mengikuti perkembangan Salim yang mengajukan beasiswa ke Belanda.

Beasiswa untuk Agus Salim
Lepas dari banyak kontroversi tentang posisi dan perjuangan Kartini, ia sadar betul bahwa pendidikan menjadi kunci kemajuan bukan saja bagi kaumnya, tetapi juga seluruh rakyat Hindia Belanda. Karena itu bukan saja dalam surat, tapi hasrat untuk sekolah pun sangat tinggi.

Kartini-Roekmini ingin melanjutkan sekolah ke Batavia pada 1901, atas bantuan Mr. Abendanon, proposal Kartini dan Roekmini untuk pergi belajar ke Batavia disetujui Pemerintah Belanda. Meski semula disetujui orang tuanya, tapi kemudian sang ortu membatalkan izin. Tapi, upaya untuk mendapat beasiswa tetap diurus.

Ir Van Kol, anggota DPR Belanda berhasil meyakinkan Ayah-Ibu Kartini untuk memberikan restu bagi anaknya untuk pergi belajar ke Netherland. Setelah itu pada 21 Juni 1902, atas saran Van Kol Kartini menulis proposal kepada Ir. Van Kol dan Van Kol menyetujui permohonan tersebut hingga berhasil disetujui parlemen Belanda, Tweede Kamer. Pada3 Januari 1903 Van Kol mengirim kabar gembira pada Kartini.

“Bagaimana saya dapat menyatakan terima kasih saya pada Tuan serta laporan sidang Parlemen pada 26 Nopember 1902 yang Tuan kirimkan kepada saya. Kami tak akan habis-habisnya berterima kasih untuk segala yang telah Tuan lakukan untuk kami. Hutang kami kepada Tuan tak akan dapat terbayar kembali. Hutang itu akan kami bawa ke dunia lain,” ungkap Kartini penuh gembira.

Namun, kekhawatiran pun timbul di kalangan pejabat Belanda di sini, bahkan JH Abendanon, Kepala Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan pemerintah Hindia-Belanda meninggalkan Batavia dan datang ke Jepara, 24 Januari 1903 khusus membahas tidak perlunya Kartini ke Belanda. Dalam pemikiran Abendanon, nama dan pemikiran Kartini yang sudah dikenal justru akan lebih berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam suatu analisis soal ini, maka pernikahan menjadi solusi untuk menutup kekecewaan Kartini, sebab pada pertengahan Juli 1903, datang lamaran dari Adipati Djojodinigrat.

Kartini yang tak bisa berbuat banyak soal ini lalu mengirimkan surat pada 24 Juli 1903 kepada Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini di Belanda, dan memohon agar beasiswa itu diberikan kepada Agus Salim. Agus Salim saat itu sedang berusaha mendapatkan beasiswa ke Belanda.

Berikut kutipan surat Kartini:
“Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya? Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS.

Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 -sebulan.”

Namun, Agus Salim menolak pengalihan beasiswa tersebut. Dia menilai, pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Dia menilai ada diskriminasi di dalamnya.

Agus Salim kemudian pada 1906 berangkat ke Arab, kerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda, sembari berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram, guru Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asyari (pendiri NU). Sepulang dari sana, Agus Salim mendirikan sekolah, bekerja pada pemerintah, lalu keluar dan aktif sebagai politisi di PSI. ***

Editor:
Muh Amin

Kategori : Peristiwa, Umum, Riau
wwwwww