RSPO Temukan Wilmar Terindikasi Caplok Tanah Adat secara Ilegal

RSPO Temukan Wilmar Terindikasi Caplok Tanah Adat secara Ilegal

Ilustrasi.

Senin, 27 Februari 2017 07:50 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) menemukan Wilmar International Limited diduga melanggar hukum terkait dengan konflik lahan dengan masyarakat adat Nagari Kapa di Sumatera Barat yang digunakan perkebunan sawit. Surat resmi RSPO tertanggal 1 Februari 2017 itu menyatakan transfer lahan antara masyarakat adat untuk perusahaan yakni PT Permata Hijau Pasaman (PHP) 1, anak usaha Wilmar International, pada 1997 lalu tak melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Saat itu, perpindahan lahan itu hanya melibatkan pemerintah kabupaten Pasaman Barat.

Berdasarkan laman CNNIndonesia.com yang dilansir potretnews.com, surat itu ditujukan kepada Simon Siburat, General Manager Group Sustainability Wilmar International Limited. Perusahaan itu sendiri beralamat di 56 Neil Road, Singapura 088830.

RSPO merupakan organisasi yang didirikan sejak 2004, yang terdiri dari pemangku kepentingan industri sawit untuk menjadikan industri itu sebagai bisnis yang berkelanjutan. RSPO terdiri dari perusahaan perkebunan sawit, perbankan, peritel, investor hingga organisasi masyarakat.

Wilmar adalah perusahaan agribisnis yang berdiri sejak 1991 dan berbasis di Singapura. Perusahaan itu memiliki perkebunan sawit yang telah ditanami seluas 167.000 hektar di Indonesia dan 58.000 hektar di Malaysia. Jaringan distribusi produk sawit perusahaan itu mencakup China, India dan 50 negara lainnya.

Dalam kasus PT PHP 1, pemerintah lokal diketahui menerbitkan surat pernyataan kesepakatan tentang penyerahan tanah ulayat untuk keperluan perkebunan kelapa sawit pada 1997.

Lahan sekitar 1.600 hektar itu sedianya menggunakan mekanisme inti plasma dengan pembagian hasil antara perusahaan dengan masyarakat adat. Namun, PT PHP 1 justru menganggap lahan itu sudah dijual kepada perusahaan.

RSPO menyatakan ketentuan mekanisme transfer lahan dengan melibatkan BPN dan PPAT, sebenarnya sudah tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Lahan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal. Hasil penelitian independen oleh RSPO itu menegaskan perpindahan lahan tersebut tak sesuai dengan hukum formal dan substansial di Indonesia.

“PT PHP 1 harus memperoleh persetujuan dari masyarakat Nagari Kapa sebagai salah satu persyaratan untuk mengajukan Hak Guna Usaha,” kata Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang dalam surat yang dikutip CNNIndonesia.com pada Sabtu (4/2/2017).

Tak Bersikap Transparan
RSPO mencatat PT PHP 1 menanam sawit sejak 1998 di lahan masyarakat adat setelah memperoleh izin prinsip pada 1992. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ketika perjanjian itu berakhir pada 2004, PT PHP justru mengajukan izin Hak Guna Usaha (HGU) ke Badan Pertanahan Nasional. Perusahaan itu memiliki izin HGU pada 2014.

Surat RSPO menyatakan manajemen PT PHP 1 tak konsisten dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip transparansi dan kehati-hatian dalam pengelolaan perkebunan sawit. Hal itu kemudian memicu gugatan hukum dengan nomor perkara No.15/Pdt.G/2005/PN/LBS oleh Koperasi Kapa pada 2005.

Pengadilan saat itu memutuskan ada pelanggaran perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak pada 1998 dan PT PHP harus membayar ”uang tunggu” untuk masyarakat. Ini merupakan kompensasi atas lahan adat yang sudah dipakai.

RSPO melalui Panel Keluhan memutuskan agar pemetaan partisipatif segera dilakukan secara bersama oleh masyarakat adat Nagari Kapa dengan pemerintah lokal. Sedangkan PT PHP 1, juga harus menugaskan ahli independen untuk melakukan hal itu secara bersama.

“Hasil dari pemetaan partisipatif itu harus dibawa oleh pihak-pihak yang terlibat ke BPN,” kata Tiur dalam surat resminya. “Pihak terkait dapat melakukan renegosiasi mengenai kemitraan, misalnya dengan penyewaan lahan atau pembagian saham, berdasarkan dari hasil pemetaan, keputusan atau rekomendasi BPN yang menghormati peraturan tentang masyarakat adat.”

Menghormati Keputusan RSPO
Pada 2014, masyarakat Nagari Kapa mengajukan pengaduan resmi ke RSPO terkait dengan dugaan pengambilalihan sebagian lahan adat mereka untuk membangun perkebunan sawit. Salah satu pemimpin masyarakat adat, Gampo Alam, menyatakan pihaknya mengharapkan Wilmar International dapat menghormati keputusan RSPO tersebut.

Dia menuturkan pihaknya sudah melakukan proses itu selama 10 tahun terakhir guna mendapatkan kembali hak atas tanah adat tersebut.

“Kami berharap Wilmar International akan menghormati keputusan RSPO tersebut, dan dengan segera memulihkan hak kami atas tanah yang mereka ambil tanpa persetujuan kami itu,” kata Gampo dalam pernyataan tertulis pada Kamis (2/2/2017).

Zulkifli, Koordinator Komunitas Masyarakat Nagari Kapa menyatakan pihaknya meminta perusahaan tak menggunakan lahan itu lebih dahulu sebelum ada kesepakatan lebih lanjut dengan masyarakat adat. Dia menuturkan warga pun sudah siap untuk melakukan pemetaan partisipatif.

“Ini untuk menjawab soal berapa luas lahan sebenarnya yang digunakan oleh perusahaan, sehingga pemetaan partisipatif sangat penting. Masyarakat adat siap melakukan itu,” kata dia, Minggu (5/2/2017).

Respons Wilmar
CNNIndonesia.com mengirimkan surat elektronik kepada Simon Siburat, General Manager Group Sustainability Wilmar International Limited pada Sabtu (4/2) terkait dengan keputusan RSPO tersebut. Namun hingga Senin (6/2/2017) pagi, belum mendapatkan respons dari perusahaan sawit itu.

Keterangan resmi Wilmar International pada Juli 2015, menyatakan pihaknya bersikap kooperatif dalam membantu penyelidikan yang dilakukan lembaga independen dalam kasus tersebut. “Wilmar berkomitmen menyelesaikan kasus itu dan bersikap kooperatif dalam proses pengaduan RSPO,” demikian perusahaan tersebut.

Wilmar juga menyatakan perusahaan berusaha untuk hidup harmonis dengan masyarakat lokal dengan panduan dari organisasi mitra dan warga sendiri. Hal itu berkaitan dengan pendekatan Free, Prior, Informed Consent (FPIC)--persetujuan masyarakat tanpa tekanan--dalam operasi bisnis.

“Kami beroperasi di negara-negara yang hak masyarakat adatnya ditegakkan secara lemah,” kata Wilmar dalam Laporan Keberlanjutan 2015. “Hal itu menjadi kurva yang terjal untuk mengembangkan proses yang kokoh untuk menyelesaikan konflik historis dan mencegahnya di masa mendatang.”

Iris Chan, Corporate Communications Wilmar International, mengatakan pihaknya menghormati keputusan RSPO dan mematuhinya. Dia menuturkan perusahaan itu selalu mengikuti proses RSPO serta bersikap kooperatif dalam investigasi terkait dengan PT PHP 1.

“Ini termasuk pertemuan, konsultasi dan keterlibatan dengan pihak pengadu dan Forest Peoples Program sejak kasus itu muncul pada 2014,” kata Chan dalam keterangan resminya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/2/2017).

Wilmar juga berkomitmen penuh untuk bekerja sama dengan RSPO maupun pihak-pihak terkait guna menyelesaikan permasalah tersebut secara transparan.

Penasihat Kebijakan Forest People Programme (FPP) Patrick Anderson mengatakan Wilmar International harus mematuhi aturan yang diputuskan oleh RSPO. Dia juga meminta agar RSPO pun memastikan aturan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh perusahaan. FPP merupakan organisasi yang mendampingi masyarakat Nagari Kapa.

“RSPO harus memastikan aturan mereka dipatuhi oleh perusahaan,” kata Anderson, kemarin. “RSPO juga harus meninjau ulang terkait dengan izin yang berkaitan dengan persetujuan masyarakat.” ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Lingkungan, Umum, Dumai, Riau
wwwwww